Mohon tunggu...
Diemas Rizky Krishna Bayu
Diemas Rizky Krishna Bayu Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Untirta 2019

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama, Senjata Politik dalam Pemilihan

10 Desember 2019   18:56 Diperbarui: 11 Desember 2019   14:45 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agama sering kali dijadikan sebagai sebuah Senjata dalam suatu Kontestasi Politik para penguasa untuk mendapatkan kekuasaan. Agama yang dianggap sakral dimanfaatkan oleh para penguasa untuk meraup suara dalam pemilihan. Agama memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, agama adalah sebuah pedoman bagi kehidupan. 

Tidak terkecuali dalam berpolitik, dalam berpolitik juga harus tetap berpedoman pada agama. Namun sekarang ini para pasangan calon dalam pemilihan seperti menjadikan agama ini sebuah senjata utama dalam kontestasi politik.

Pada penyelenggaraan Pilpres 2019 kemarin, banyak hal-hal unik yang terjadi dalam prosesnya. Tak disangka dari kubu petahana yaitu Joko Widodo memilih Kyai Haji Ma'ruf Amin sebagai wakilnya dalam Pilpres 2019. 

Sedangkan lawannya dari kubu oposisi yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapatkan dukungan dari para Ulama terutama Alumni 212. Dari sini kita bisa melihat bahwa faktor Indonesia yang mayoritasnya muslim, sangat berpengaruh terhadap perolehan suara. 

Pasangan Prabowo-Sandi yang mendapatkan dukungan dari banyak Ulama dan juga Alumni 212 merasa sangat diunggulkan dan dijagokan untuk menjadi pemenang pada penyelenggaraan Pilpres 2019 kemarin. Kubu petahana yang memilih Kyai Haji Ma'ruf Amin sebagai wakil dari Presiden Joko Widodo, justru mendapat banyak kritikan dari masyarakat karena Kyai Haji Ma'ruf Amin yang dianggap sudah lanjut usia tidak seharusnya memikul beban Negara. 

Pemilihan Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden dikarenakan Jokowi yang dianggap kekurangan suara dari para Ulama, dimana kebanyakan para Ulama lebih memilih untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandi. 

Berdasarkan studi kasus diatas, agama begitu sangat dianggap berpengaruh dalam suatu kontestasi politik. Agama seakan dijadikan sebagai senjata untuk menang dalam suatu pemilihan dengan cara menarik suara dari mayoritas agama yang dianut oleh penduduk di suatu Negara atau suatu daerah.

Di Indonesia sendiri sudah bukan hal biasa lagi bila dalam sebuah pemilihan, agama selalu dijadikan sebagai sebuah senjata untuk menang. 

Banyak calon dalam sebuah pilkada yang memberikan sebuah ceramah di Masjid sambil mempromosikan dirinya sendiri dan mengajak masyarakat untuk memilihnya, tak hanya itu mereka juga memberikan beberapa barang ke Masjid dengan harapan mendapatkan dukungan. 

Seperti terjadi di Maluku Utara, bagaimana seorang caleg memberikan karpet ke sebuah masjid dengan harapan mendapatkan dukungan dan suara supaya bisa menang dalam pemilihan. Hal ini menggambarkan bahwa betapa agama sangat dijadikan sebagai sebuah alat atau bahkan senjata untuk menang dalam sebuah pemilihan. 

Tidak hanya sekali kejadian ini terjadi, hampir setiap pemilihan selalu saja ada peserta pemilihan yang masuk kedalam Masjid ataupun Majelis-majelis untuk mencari suara dan dukungan terutama dari tokoh masyarakat maupun tokoh agama setempat.

            Agama suatu hal yang sakral seharusnya tidak dijadikan sebagai senjata untuk meraih kemenangan dalam sebuah pemilihan. Seharusnya agama dijadikan sebagai pedoman dalam sebuah Kontestasi Politik, bukan justru malah memanfaatkan agama untuk memperoleh suara dan dukungan. 

Masyarakat Indonesia yang masih belum membuka mata terhadap politik selalu saja terpengaruh oleh Kutipan-kutipan yang berbau agama dari para calon penguasa. 

Isu-isu agama yang berkembang juga terkadang membuat perpecahan di masyarakat. Seperti pada Pilgub Jakarta lalu, bagaimana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap menistakan ayat Al=Qur'an kehilangan dukungan dari masyarakat. Disini terlihat lagi bagaimana faktor agama sangatlah berpengaruh terhadap suatu Kontestasi Politik.

            Kontestasi Politik dengan memanfaatkan agama sebagai senjata merupakan sebuah tindakan yang sangat-sangat tidak patut untuk dicontoh dan sangatlah kurang baik. Bagaimana suatu yang sakral dijadikan sebagai alat untuk kepentingannya sendiri dan golongannya. 

Politik memang kejam namun tidak seharusnya memanfaatkan agama apalagi menggunakannya untuk meraih dukungan dan suara. Perilaku  politik yang menggunakan payung agama tentunya menurunkan derajat agama sebagai keyakinan suci, karena berkaitan dengan keyakinan akan wujud Tuhan. 

Kesensitifan masyarakat Indonesia terhadap agama bisa 'dimanfaatkan' untuk suatu kepentingan politik. Hal ini bisa memicu kegaduhan di masyarakat, seperti terjadi pada Pilpres 2019 kemarin. 

Para pendukung dari pasangan Prabowo-Sandi yang kebanyakan merupakan Alumni 212 dan mayoritas beragama Islam, itu turun ke jalan dan merasa tidak terima dengan keputusan hasil Pilpres tersebut. 

Kerusuhan pun pecah pada malam hari, banyak yang menduga itu merupakan ulah dari para oknum yang ikut masuk ke dalam kerumunan massa. Dari sini kita bisa lihat jika saja agama dijadikan sebagai senjata dalam suatu pemilihan maka sangatlah sensitif.

Agama dalam hal politik telah dipolitisasi sedemikian rupa oleh para elit politik hanya untuk memenangkan sebuah partai politik tertentu dalam suatu kontestasi politik. 

Hal ini menyebabkan keberadaan agama menjadi profane dan seolah-olah tidak suci, wahyu tuhan hanya dianggap dan digunakan sebagai topeng semata. Perilaku dan tindakan seperti ini tentu saja mengindikasikan bahwa ada semacam gerakan profanisasi agama yang tanpa disadari telah melecehkan agama. 

Bahkan tidak sedikit partai-partai politik yang berani berjualan ayat-ayat untuk menarik dukungan masyarakat terhadap partai dengan ideologi agama tertentu. Sering terjadi pula para pemuka agama terjun ke dalam dunia politik dan berdalil tentang benar dan salah, berpahala dan berdosa, serta halal dan haram dengan menggunakan agama sebagai sebuah intrik politik. 

Hal itu karena para pemuka agama selalu dipandang oleh masyarakat umum sebagai figure dan teladan, sehingga mereka memiliki pengaruh terhadap masyarakat. 

Apa yang dikatakan dan dilakukan pasti diamini oleh masyarakat, sehingga bila keabsahan suatu politik telah dibenarkan oleh para pemuka agama maka masyarakat pun mengikutinya.

Mungkin beginilah gambaran akhir zaman, dimana agama sudah tidak dijadikan sebagai suatu pedoman dalam kehidupan manusia. Dalam dunia politik saja agama terlihat seperti disalahgunakan dan dipermainkan dengan dijadikan sebagai sebuah senjata untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Perilaku ini jelas sekali melecehkan agama dan menjadikan agama sebagai suatu permainan para elit politik. 

Agama bukanlah senjata untuk meraih kekuasaan bagi para penguasa, tapi agama seharusnya adalah pedoman bagi para penguasa dalam berpolitik supaya tercipta kehidupan politik yang damai. Kehidupan berpolitik memang harus selaras dengan agama, namun bukan berarti menggunakan agama sebagai senjata dalam berpolitik.

*Ditulis oleh mahasiswa semester I mata kuliah Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun