Agama suatu hal yang sakral seharusnya tidak dijadikan sebagai senjata untuk meraih kemenangan dalam sebuah pemilihan. Seharusnya agama dijadikan sebagai pedoman dalam sebuah Kontestasi Politik, bukan justru malah memanfaatkan agama untuk memperoleh suara dan dukungan.Â
Masyarakat Indonesia yang masih belum membuka mata terhadap politik selalu saja terpengaruh oleh Kutipan-kutipan yang berbau agama dari para calon penguasa.Â
Isu-isu agama yang berkembang juga terkadang membuat perpecahan di masyarakat. Seperti pada Pilgub Jakarta lalu, bagaimana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap menistakan ayat Al=Qur'an kehilangan dukungan dari masyarakat. Disini terlihat lagi bagaimana faktor agama sangatlah berpengaruh terhadap suatu Kontestasi Politik.
      Kontestasi Politik dengan memanfaatkan agama sebagai senjata merupakan sebuah tindakan yang sangat-sangat tidak patut untuk dicontoh dan sangatlah kurang baik. Bagaimana suatu yang sakral dijadikan sebagai alat untuk kepentingannya sendiri dan golongannya.Â
Politik memang kejam namun tidak seharusnya memanfaatkan agama apalagi menggunakannya untuk meraih dukungan dan suara. Perilaku  politik yang menggunakan payung agama tentunya menurunkan derajat agama sebagai keyakinan suci, karena berkaitan dengan keyakinan akan wujud Tuhan.Â
Kesensitifan masyarakat Indonesia terhadap agama bisa 'dimanfaatkan' untuk suatu kepentingan politik. Hal ini bisa memicu kegaduhan di masyarakat, seperti terjadi pada Pilpres 2019 kemarin.Â
Para pendukung dari pasangan Prabowo-Sandi yang kebanyakan merupakan Alumni 212 dan mayoritas beragama Islam, itu turun ke jalan dan merasa tidak terima dengan keputusan hasil Pilpres tersebut.Â
Kerusuhan pun pecah pada malam hari, banyak yang menduga itu merupakan ulah dari para oknum yang ikut masuk ke dalam kerumunan massa. Dari sini kita bisa lihat jika saja agama dijadikan sebagai senjata dalam suatu pemilihan maka sangatlah sensitif.
Agama dalam hal politik telah dipolitisasi sedemikian rupa oleh para elit politik hanya untuk memenangkan sebuah partai politik tertentu dalam suatu kontestasi politik.Â
Hal ini menyebabkan keberadaan agama menjadi profane dan seolah-olah tidak suci, wahyu tuhan hanya dianggap dan digunakan sebagai topeng semata. Perilaku dan tindakan seperti ini tentu saja mengindikasikan bahwa ada semacam gerakan profanisasi agama yang tanpa disadari telah melecehkan agama.Â
Bahkan tidak sedikit partai-partai politik yang berani berjualan ayat-ayat untuk menarik dukungan masyarakat terhadap partai dengan ideologi agama tertentu. Sering terjadi pula para pemuka agama terjun ke dalam dunia politik dan berdalil tentang benar dan salah, berpahala dan berdosa, serta halal dan haram dengan menggunakan agama sebagai sebuah intrik politik.Â