Sedangkan di belakang istana Batutulis terdapat rel kereta api, yang lokasinya termasuk tinggi. Dugaan ini makin menguat ketika kami menyusuri dan menuruni “tebing” dari sisi rel kereta api hingga ke Sungai Cisadane yang membatasinya. Dari sisi Sungai Cisadane yang berseberangan dengan kawasan Lolongok hingga Batutulis, kita bisa melihat dan membayangkan bahwa ini adalah rangkaian tebing yang cukup curam di beberapa titiknya.
Pertanyaannya, tanpa peta atau teknologi yang ada seperti saat ini, bagaimana bisa Pakuan Pajajaran dengan piawainya menentukan batas-batas parit untuk melindungi kotanya saat itu?. Luar biasa!.
Babad Pajajaran menyebutkan bahwa wilayah Pakuan ini terbagi atas dua yaitu kota dalam (dalem kitha) dan kota luar (jawi kitha).Meskipun kota-nya tidak dilindungi oleh benteng dari tembok seperti kerajaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, kota Pakuan Pajajaran saat itu pun sudah dikelilingi “benteng alam” yang tak kalah tangguh (hal 8).
Selain itu, musuh juga perlu “berjibaku” melewati sungai yang lebar, hutan lebat yang saat itu masih dihuni oleh harimau dan binatang buas lainnya serta tebing tinggi yang diduga merupakan bagian dari parit perlindungan, baik alam ataupun buatan.
Sayangnya dalam perjalanan kali ini, kami tidak dapat membayangkan bagian mana yang merupakan "buatan" manusia dan bagaimana mengetahui sisa jejaknya. Apakah bagian parit buatan itu berupa hasil pemaprasan atau pengurukan? atau jangan-jangan di salah satu bagiannya juga mengalami perkerasan?.
Keberadaan maung (harimau )yang sangat erat kaitannya dengan legenda Prabu Siliwangi, ternyata lebih dari sekedar legenda.
Scipio pada ekspedisi tahun 1687 (23/12/1687) menyebutkan adanya laporan penduduk Parung Angsana tentang kawannya yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Laporan penduduk juga mengatakan bahwa di lokasi yang sekarang adalah di seputaran Prasasti Batutulis, tempat ini juga konon disebutkan “dijaga” harimau.