Di dalam gua terdapat tikar dan sisa bakaran dupa serta kemenyan. “Tempat ini ramainya kalau malam” kata Mang Jaja. “Orang senang di sini karena di dalam gua bisa terlindung dari hujan”. Di seputar gua terdapat serakan batu-batuan pipih dengan aneka bentuk.
Dari Mang Jaja kami mendapat cerita penjaga situs ini adalah kakek buyutnya sudah turun temurun. Berbeda dengan para pendahulunya yang dibayar seikhlasnya dari donasi warga, Mang Jaja kini resmi menjadi juru pelihara di Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang (BPCB) yang berlokasi di Serang, Banten.
Secara tak sengaja, beberapa perjalanan mengunjungi situs yang tersebar di Gunung Salak ini membawa kami ke sebuah perjalanan mengenali jati diri lebih dalam dari sebuah peradaban tua Sunda Kuno. Sampai sejauh ini masih cukup sulit mencari informasi dan literatur ilmiah yang gamblang, runtut dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kerajaan-kerajaan di tatar Sunda. Informasinya masih banyak bercampur dengan mitos, legenda atau dari sudut pandang ritual dan kebatinan. Tapi justru disinilah tantangannya. Ayo, siapa yang mau ikut membongkar ulang dan menyusun narasi salah satu budaya terkaya di negeri kita tercinta ini?.
Tulisan dan foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H