“Dua ojek masing-masing 100 rebu, gak bisa kurang” kata tukang ojek yang kami temui di perempatan Ciapus, Bogor. Alasannya jalan menuju Gua Langkop jauh dan banyak “tanjakan maut”.
Kami memutuskan jalan kaki hingga bertemu dengan pangkalan ojek berikutnya. Ojek yang ini mau dibayar 50 ribu untuk 2 ojek. Ternyata jalannya memang cukup jauh dan menanjak. Tapi tanjakannya tidak “se-maut” yang dikhawatirkan tukang ojek pertama.
Begitu kami diturunkan, ternyata….
“Gua Langkop masih jauuh Teh, kalau di sini adanya Batu Kursi dan Batu Aseupan” kata seorang perempuan yang kami temui di ujung kampung.
Gubrak. Di saat itulah kami mulai merindukan ojek online yang bisa lebih presisi untuk lokasi dan tentu saja harga!.
Di situlah kami tahu kalau kami salah jalan. Harusnya kami naik 03 jurusan Terminal Boogie atau Pondok Bitung dari Bogor Trade Mal (BTM) atau Pancasan, untuk menuju ke Gua Langkop dengan angkot. Dari Pondok Bitung di Desa Sukaharja bisa naik ojek ke Gua Langkop. Sedangkan kalau mau ke Batu Kursi dan Batu Aseupan, bisa pakai rute yang sama. Tapi bisa turun di terminal Pasar Danas. Di pinggir jalan pangkalan ojek ada plang situsnya “Batu Kursi dan Batu Aseupan”. (Pantesan ojek pertama mahal, karena mesti memutar).
Ketiga lokasi situs ini semuanya masih dalam administrasi Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Ketiganya pun notabene masih berada dalam kawasan kaki Gunung Salak.
Pagi itu (11/3/17), Kampung Pasiran Tengah ( Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) tampak sepi. Hanya ada dua tiga perempuan yang kami temui berada di depan rumahnya. Kampung ini cantik, karena terletak di dasar lembah yang dikelilingi rerimbunan pohon. Kami diarahkan mengikuti jalan setapak kampung yang diperkeras oleh beton melewati rumah-rumah (yang anehnya) tampak rapat untuk daerah yang tampak kosong itu. Dari ujung jalan setapak beton itu, kami melewati kandang kambing untuk menuju situs Batu Kursi.
Situs Batu Kursi. Yang paling menonjol dari tempat ini adalah sebongkah batu besar yang terletak di bawah plang. Panjangnya mungkin sekitar 2 – 4 meter. Sekilas, tampak seperti batu biasa. Tetapi begitu didekati, di bagian ujung batu, memang membentuk datar seperti kursi dan sandarannya. Tidak ada keterangan lain di lokasi ini kecuali papan ancaman bagi siapapun yang merusak situs ini.
Setelah puas menikmati batu, kami memutuskan untuk menengok Batu Aseupan. Oya, kalau ke sini jangan iseng duduk-duduk di bentukan kursi batu untuk eksis di sosial media ya. Soalnya, keberadaan situs ini masih dalam tanda tanya besar, alias belum selesai penelitiannya.
Dari kampung pertama, jarak ke Batu Aseupan paling jauh sekitar 500 meter melewati jembatan yang baru dibangun di tahun 2014 di atas sungai kecil berair jernih. Dari jembatan, jalan mulai menanjak menyajikan pemandangan indah di belakang punggung.
Batu Aseupan saat kunjungan sudah berada di lahan yang sudah dirapikan dan dibuatkan taman, saung serta empang dengan air mancur. Di bagian atasnya lancip dan membentuk segitiga, mengingatkan kita dengan bentukan piramida. Persis di dekat puncak batu terdapat gambar mata. Jelas gambar ini adalah hasil karya murahan pengunjung yang sangat tidak kreatif.
Di bagian belakang batu yang ternyata di sisi aliran air, ternyata tinggi juga. Sekitar 4 meter. Sekilas mengingatkan kita pada kata-kata “batu segede rumah”. Kali ini batu tersebut muncul di hadapan. Kalau diperhatikan, bagian belakang batu ini tampak juga seperti bangku kursi dan sandarannya. Meskipun tidak sedatar “bangku kursi” di Batu Kursi.
Menurut Bapak yang menjaga tanah milik pribadi persis di depan situs tersebut, batu ini mulai dibersihkan secara serius sekitar tahun 2013. Lalu tanahnya dibeli oleh sebuah perusahaan dan dihibahkan menjadi kawasan situs.
Gua Langkop atau Lengkob?
Setelah menyelesaikan tanjakan satu bukit, menyusuri jalan setapak yang menuju ke jalan raya, kami menemui simpangan. Ada tulisan “Situs Gua Langkop” dari papan triplek yang sudah terbelah seperti puzzle. Dari situ kami meneruskan jalan kaki menuju situs. Ternyata memang tanjakannya cukup maut, saudara-saudara!. Mungkin cukup licin juga untuk motor (pantes ojek mahal).
Setelah menitipkan cucunya, Mang Jaja memandu langkah kami menuju situs. Lokasinya mulai gelap karena berada di bawah kanopi pohon-pohon. Ada sebuah batu besar dengan celah seperti terbelah di sisi pinggirnya. Celahnya muat untuk tubuh satu orang dalam posisi miring. Kata Mang Jaja, batu tersebut disebut sebagai “Batu Adzan”. Meskipun dari bahan batuan tersebut, kami sangat melihat kemiripan dengan batu yang berada di komplek situs Cibalay (Lihat: Arca Domas dan 6 Situs di Kompleks Cibalay Kaki Gunung Salak).
Di dalam gua terdapat tikar dan sisa bakaran dupa serta kemenyan. “Tempat ini ramainya kalau malam” kata Mang Jaja. “Orang senang di sini karena di dalam gua bisa terlindung dari hujan”. Di seputar gua terdapat serakan batu-batuan pipih dengan aneka bentuk.
Dari Mang Jaja kami mendapat cerita penjaga situs ini adalah kakek buyutnya sudah turun temurun. Berbeda dengan para pendahulunya yang dibayar seikhlasnya dari donasi warga, Mang Jaja kini resmi menjadi juru pelihara di Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang (BPCB) yang berlokasi di Serang, Banten.
Secara tak sengaja, beberapa perjalanan mengunjungi situs yang tersebar di Gunung Salak ini membawa kami ke sebuah perjalanan mengenali jati diri lebih dalam dari sebuah peradaban tua Sunda Kuno. Sampai sejauh ini masih cukup sulit mencari informasi dan literatur ilmiah yang gamblang, runtut dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kerajaan-kerajaan di tatar Sunda. Informasinya masih banyak bercampur dengan mitos, legenda atau dari sudut pandang ritual dan kebatinan. Tapi justru disinilah tantangannya. Ayo, siapa yang mau ikut membongkar ulang dan menyusun narasi salah satu budaya terkaya di negeri kita tercinta ini?.
Tulisan dan foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H