Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mencari Batu dan Gua Langkop di Kaki Gunung Salak

22 Maret 2017   15:22 Diperbarui: 23 Maret 2017   02:00 4755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situ Batu Aseupan di Desa Sukaharja (Foto: Diella Dachlan)

“Dua ojek masing-masing 100 rebu, gak bisa kurang” kata tukang ojek yang kami temui di perempatan Ciapus, Bogor. Alasannya jalan menuju Gua Langkop jauh dan banyak “tanjakan maut”.

Kami memutuskan jalan kaki hingga bertemu dengan pangkalan ojek berikutnya. Ojek yang ini mau dibayar 50 ribu untuk 2 ojek. Ternyata jalannya memang cukup jauh dan menanjak. Tapi tanjakannya tidak “se-maut” yang dikhawatirkan tukang ojek pertama.

Begitu kami diturunkan, ternyata….
 “Gua Langkop masih jauuh Teh, kalau di sini adanya Batu Kursi dan Batu Aseupan” kata seorang perempuan yang kami temui di ujung kampung.

Gubrak. Di saat itulah kami mulai merindukan ojek online yang bisa lebih presisi untuk lokasi dan tentu saja harga!.

Di situlah kami tahu kalau kami salah jalan. Harusnya kami naik 03 jurusan  Terminal Boogie atau Pondok Bitung dari Bogor Trade Mal (BTM) atau Pancasan, untuk menuju ke Gua Langkop dengan angkot. Dari Pondok Bitung di Desa Sukaharja bisa naik ojek ke Gua Langkop. Sedangkan kalau mau ke Batu Kursi dan Batu Aseupan, bisa pakai rute yang sama. Tapi bisa turun di terminal Pasar Danas. Di pinggir jalan pangkalan ojek ada plang situsnya “Batu Kursi dan Batu Aseupan”.  (Pantesan ojek pertama mahal, karena mesti memutar).

Ketiga lokasi situs ini semuanya masih dalam administrasi Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Ketiganya pun notabene masih berada dalam kawasan kaki Gunung Salak.

Bimo di depan situs Batu Kursi di Kampung Pasiran Tengah, Desa Sukaharja (Foto: Diella Dachlan)
Bimo di depan situs Batu Kursi di Kampung Pasiran Tengah, Desa Sukaharja (Foto: Diella Dachlan)
Situs Batu Kursi yang dari sisi ini tampak seperti kursi. Foto: Diella Dachlan
Situs Batu Kursi yang dari sisi ini tampak seperti kursi. Foto: Diella Dachlan
Batu Kursi

Pagi itu (11/3/17), Kampung Pasiran Tengah ( Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) tampak sepi. Hanya ada dua tiga perempuan yang kami temui berada di depan rumahnya. Kampung ini cantik, karena terletak di dasar lembah yang dikelilingi rerimbunan pohon. Kami diarahkan mengikuti jalan setapak kampung yang diperkeras oleh beton melewati rumah-rumah (yang anehnya) tampak rapat untuk daerah yang tampak kosong itu.  Dari ujung jalan setapak beton itu, kami melewati kandang kambing untuk menuju situs Batu Kursi.

Situs Batu Kursi. Yang paling menonjol dari tempat ini adalah sebongkah batu besar yang terletak di bawah plang. Panjangnya mungkin sekitar 2 – 4 meter. Sekilas, tampak seperti batu biasa. Tetapi begitu didekati, di bagian ujung batu, memang membentuk datar seperti kursi dan sandarannya. Tidak ada keterangan lain di lokasi ini kecuali papan ancaman bagi siapapun yang merusak situs ini.

Mirip dengan kursi ya dari sisi ini. Foto: Diella Dachlan
Mirip dengan kursi ya dari sisi ini. Foto: Diella Dachlan
Kawasannya tidak terlalu besar, sekitar 300 meter mungkin. Dikelilingi oleh kebun-kebun warga. Anehnya, ada beberapa batu berbentuk kursi di sekitar lokasi, tetapi dengan ukuran lebih kecil. Kami mencoba mencari tahu tentang kapan dan bagaimana batu ini ditemukan. Sayangnya, tidak ada kuncen atau juru pelihara di lokasi tersebut.  

Batu Aseupan tampak samping belakang. Foto: Diella Dachlan
Batu Aseupan tampak samping belakang. Foto: Diella Dachlan
Batu Aseupan tampak belakang. Foto: Diella Dachlan
Batu Aseupan tampak belakang. Foto: Diella Dachlan
Batu Aseupan

Setelah puas menikmati batu, kami memutuskan untuk menengok Batu Aseupan. Oya, kalau ke sini jangan iseng duduk-duduk di bentukan kursi batu untuk  eksis di sosial media ya. Soalnya, keberadaan situs ini masih dalam tanda tanya besar, alias belum selesai penelitiannya.

Dari kampung pertama, jarak ke Batu Aseupan paling jauh sekitar 500 meter melewati jembatan yang baru dibangun di tahun 2014 di atas sungai kecil berair jernih. Dari jembatan, jalan mulai menanjak menyajikan pemandangan indah di belakang punggung.

Batu Aseupan saat kunjungan sudah berada di lahan yang sudah dirapikan dan dibuatkan taman, saung serta empang dengan air mancur.  Di bagian atasnya lancip dan membentuk segitiga, mengingatkan kita dengan bentukan piramida.  Persis di dekat puncak batu terdapat gambar mata. Jelas gambar ini adalah hasil karya murahan pengunjung yang sangat tidak kreatif.

Di bagian belakang batu yang ternyata di sisi aliran air, ternyata tinggi juga. Sekitar 4 meter. Sekilas mengingatkan kita pada kata-kata “batu segede rumah”. Kali ini batu tersebut muncul di hadapan. Kalau diperhatikan, bagian belakang batu ini tampak juga seperti bangku kursi dan sandarannya. Meskipun tidak sedatar “bangku kursi” di Batu Kursi.

Menurut Bapak yang menjaga tanah milik pribadi persis di depan situs tersebut, batu ini mulai dibersihkan secara serius sekitar tahun 2013. Lalu tanahnya dibeli oleh sebuah perusahaan dan dihibahkan menjadi kawasan situs.

Pemandangan dari Batu Kursi menuju Batu Aseupan. Foto: Diella Dachlan
Pemandangan dari Batu Kursi menuju Batu Aseupan. Foto: Diella Dachlan
Setelah puas foto-foto dan melihat-lihat kawasan, kami bersiap meninggalkan lokasi. Tidak disangka-sangka, Bapak tersebut menawarkan kami potong jalan ke Gua Langkop melalui tanah pribadi. Tanah pribadi yang luasnya lebih dari satu hektar ini menempati lahan lereng tebing. Hebatnya, pemiliknya tidak membangun villa. Hanya tangga dari perkerasan beton dan taman dengan tanaman-tanaman perdu di undak-undakan tebing. Menurut sang Bapak, jalan kaki ke Gua Langkop dari sini paling sekitar 15 – 30 menit, meski harus menanjak.

Foto: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan
Di tengah perjalanan masih di kawasan tanah pribadi tersebut, kami bertemu dengan susunan batuan pipih yang tak jauh dari mata air. Sayang sekali, keilmuan kami yang terbatas, tidak bisa menjustifikasi berapa umur batu tersebut dan apakah susunan batu tersebut masih dalam kerangkan peninggalan budaya masa lalu?. (kata sang Bapak, dari sejak tanah itu dibeli, susunan batunya sudah seperti ini)

Gua Langkop atau Lengkob?

Setelah menyelesaikan tanjakan satu bukit, menyusuri jalan setapak yang menuju ke jalan raya, kami menemui simpangan. Ada tulisan “Situs Gua Langkop” dari papan triplek yang sudah terbelah seperti puzzle. Dari situ kami meneruskan jalan kaki menuju situs. Ternyata memang tanjakannya cukup maut, saudara-saudara!.  Mungkin cukup licin juga untuk motor (pantes ojek mahal).

Foto: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan
Lokasi gua ini masih berada di Desa Sukaharja, tepatnya di Kampung Tapos.  Kami ingin menemui Abah atau Mang Jaja, yang disebut-sebut sebagai juru pelihara lokasi tersebut. Beruntung, kami malah amprokan dengan beliau yang sedang menarik sepeda cucunya. Lantas, kami mengikuti beliau untuk ke rumahnya yang terletak paling ujung jalan kampung, sebelum jalan berubah menjadi jalan tanah dan menanjak untuk mencapai situs.

Setelah menitipkan cucunya, Mang Jaja memandu langkah kami menuju situs. Lokasinya mulai gelap karena berada di bawah kanopi pohon-pohon. Ada sebuah batu besar dengan celah seperti terbelah di sisi pinggirnya. Celahnya muat untuk tubuh satu orang dalam posisi miring. Kata Mang Jaja, batu tersebut disebut sebagai “Batu Adzan”. Meskipun dari bahan batuan tersebut, kami sangat melihat kemiripan dengan batu yang berada di komplek situs Cibalay (Lihat: Arca Domas dan 6 Situs di Kompleks Cibalay Kaki Gunung Salak).

Batu Adzan, di jalur menuju Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Batu Adzan, di jalur menuju Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Petilasan Raden Prabu Saklimah Jaga Raksa di dekat Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Petilasan Raden Prabu Saklimah Jaga Raksa di dekat Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Persis sebelum Gua Langkop, terdapat sebuah petilasan lain yang bernama“Petilasan Raden Prabu Saklimah Jaga Raksa, Raden Purba Kawasa”. Mirip dengan suasana di Kompleks Situs Cibalay, di lokasi ini berserakan batu-batu pipih dengan batu seperti menhir yang posisinya ditancapkan ke tanah, seperti nisan.

Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Gua Langkop sendiri dari jalan setapak tidak terlihat. Mulut guanya tersembunyi dari pohon besar yang akarnya memeluk dan mencekik susunan batu-batu besar di bawahnya. Lebar mulut gua sekitar 3-5 meter, membentuk celah dari batu. Di dalam gua yang seperti rongga mulut tampak buntu berbataskan dinding batu.

Di dalam gua terdapat tikar dan sisa bakaran dupa serta kemenyan. “Tempat ini ramainya kalau malam” kata Mang Jaja. “Orang senang di sini karena di dalam gua bisa terlindung dari hujan”. Di seputar gua terdapat serakan batu-batuan pipih dengan aneka bentuk.  

Dari Mang Jaja kami mendapat cerita penjaga situs ini adalah kakek buyutnya sudah turun temurun. Berbeda dengan para pendahulunya yang dibayar seikhlasnya dari donasi warga, Mang Jaja kini resmi menjadi juru pelihara di Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang (BPCB)  yang berlokasi di Serang, Banten.

Mang Jaja di depan pintu masuk Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Mang Jaja di depan pintu masuk Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Di dalam Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Di dalam Gua Langkop. Foto: Diella Dachlan
Tentang adanya versi nama Langkop atau Lengkob, menurut Mang Jaja, dari dulu nama lokasi ini adalah Langkop. Meski ada versi yang menyatakan bahwa nama kawasan ini adalah Lengkob yang artinya lembah dalam Bahasa Sunda.

Secara tak sengaja, beberapa perjalanan mengunjungi situs yang tersebar di Gunung Salak ini membawa kami ke sebuah perjalanan mengenali jati diri lebih dalam dari sebuah peradaban tua Sunda Kuno. Sampai sejauh ini masih cukup sulit mencari informasi dan literatur ilmiah yang gamblang, runtut dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kerajaan-kerajaan di tatar Sunda. Informasinya masih banyak bercampur dengan mitos, legenda atau dari sudut pandang ritual dan kebatinan. Tapi justru disinilah tantangannya.  Ayo, siapa yang mau ikut membongkar ulang dan menyusun narasi salah satu budaya terkaya di negeri kita tercinta ini?.

Tulisan dan foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun