Mohon tunggu...
Diefani Khatyara
Diefani Khatyara Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RADEN MAS SAHID SURAKARTA

Semoga bermanfaat guyss

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam di Indonesia

14 Maret 2023   14:00 Diperbarui: 14 Maret 2023   14:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul Buku : Hukum Perdata Islam Indonesia

Penulis : Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Drs. Syamsul Falah, M.Ag.

Penerbit : CV PUSTAKA SETIA

Cetakan : Ke-2, April 2019

Tebal Buku : 310 hlm. : 16 x 24 c

RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Perdata Islam
Subekti mengatakan bahwa istilah "hukum perdata", adakala nya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang", seperti disebutkan dalam Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di Indonesia terhadap
hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil ataupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan. Hukum perdata menurut ilmu hukum dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. hukum tentang diri seseorang;
2. hukum kekeluargaan;
3. hukum kekayaan; dan
4. hukum warisan.

Hukum perdata disebut juga dengan hukum sipil untuk hukum privat materiil, tetapi karena perkataan sipil lebih lazim digunakan sebagai lawan dari kata militer, untuk semua hukum privat materiil lebih umum dan bahkan lebih baik dipakai istilah hukum perdata. (Subekti, 1994: 9)

Lahirnya hukum perdata tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu mengadakan hubungan antara satu dan lainnya. Hubungan antarmanusia sudah terjadi sejak manusia
dilahirkan hingga meninggal dunia. Abdoel Djamali (2000:133) berpendapat bahwa timbulnya hubungan antara manusia adalah kodrat dirinya karena takdirnya manusia untuk hidup bersama, dan melaksanakan kodrat hidup sebagai proses kehidupan manusia yang alamiah sejak dilahirkan sampai dengan wafatnya. Proses interaksi terjadi semenjak manusia hidup, yaitu antara kaum laki-laki dengan sesama jenis gendernya, perempuan dengan sesamanya, atau laki-laki dengan perempuan. Dengan adanya hubungan tersebut, terjadilah perkawinan. Karena manusia bukan binatang, perkawinan harus diatur oleh berbagai tuntunan, baik yang datang dari agama yang dianut
maupun dari undang-undang yang berlaku, atau adat yang dijadikan standar moralitas sosial dalam suatu masyarakat.
1. Hukum perdata adat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antarindividu dalam masyarakat adat yang berlainan dengan kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum adat adalah hukum yang hidup dalam tindakan-tindakan rakyat yang berkaitan dengan segala hal dalam kehidupan masyarakat. (Subekti, 1994: 10)

2. Hukum perdata Eropa, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum mengenai kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang yang pada dirinya secara sukarela berlaku ketentuan itu. Ketentuan-ketentuan hukum perdata Eropa itu mempunyai

3. Hukum perdata bersifat nasional, yaitu bidang-bidang hukum perdata sebagai produksi nasional, artinya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang dibuat
berlaku untuk seluruh penghuni Indonesia.

4. Hukum perdata materiil yang ketentuan-ketentuannya mengatur kepentingan perseorangan, terdiri atas: hukum pribadi (personenrecht), yaitu ketentuan-ketentuannya hukum yang
mengatur hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum sebagai berikut.
a. Hukum keluarga (familierecht), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan lahir batin antara dua orang yang berlainan kelamin (dalam perkawinan) dan akibat hukumnya.
b. Hukum kekayaan (vernogensrecht), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak perolehan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain yang mempunyai nilai uang.
c. Hukum waris (erfrecht), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya. (Abdoel Djamali, 2000: 135)

Kaitannya dengan hukum keluarga, Ali Afandi (1997: 93) mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.

Satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan adalah hukum perkawinan yang kemudian dibagi dua, yaitu hukum perkawinan dan hukum kekayaan dalam perkawinan. Menurut Ali
Afandi (1997: 93-94) "Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan
yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri dalam perkawinan."

B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia
Pada awalnya, keberlakuan hukum perdata di Indonesia berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.
Pertama, peruntukan hukum perdata berlainan untuk setiap golongan warga negara.
1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat, yaitu yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa, Burgerlijk Wetboek tersebut memiliki sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai "penahanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka, ada pula Burgerlijke Stand sendiri. Ada pula peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek
3. Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (yaitu: Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya
bagian mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht). Jadi, bukan mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (Personen en familierencht) ataupun mengenai hukum warisan.

Kedua, hukum perdana untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata).
Hukum adat dapat ditafsirkan sebagai istilah bagi norma dan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai hukum yang dibentuk oleh gejala sosial yang melembaga karena kebiasaan-kebiasaan, norma sosial diperkuat oleh penguasa adat dan kelompok sosial yang terdapat di masyarakat setempat, sehingga kepastian yang ditonjolkan oleh kaidah sosial dalam mengatur kehidupan masyarakat menjadi indikator bahwa kaidah sosial tersebut merupakan hukum yang diperoleh dari tradisi yang berlaku sehingga disebut dengan hukum adat.
Di samping itu, konsep "hukum adat" menunjukkan terjadinya perbedaan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Hal itu terjadi karena setiap masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang berbeda akan memiliki kebiasaan normatif yang berbeda. Jika tidak terjadi interaksi yang mengasimilasikan kedua norma yang berlaku, "hukum adat" yang berlaku akan berbeda. Dalam bahasa lain, kemajemukan dan kebhinekaan masyarakat dan budaya akan melahirkan norma sosial yang beragam dan berbeda-beda. Dengan norma sosial yang berbeda, hukum adatnya pun akan bervariasi. Perbedaan hukum adat bagi Indonesia asli bergantung pada daerahnya masing-masing, sebagaimana Subekti (1084: 11) menjelaskan bahwa dalam masalah keperdataan, bagi masyarakat Indonesia asli yang ber-pegang teguh pada hukum adat, diperbolehkan untuk menundukkan
yang dimaksudkan. diri (onderwerpen) pada hukum adat yang dimaksudka.

C. Prinsip-prinsip Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". (Anonimous, 2004: 8).

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta
dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang sifatnya global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memejuhi rukun dan syarat-syaratnya.

Ada 5 hal mendasar yang secara substansial berkaitan erat dengan pernikahan atau perkawinan yang dilakukan oleh manusia, yaitu sebagai berikut.
1. Dalam pernikahan ada hubungan timbal balik dan hubungan fungsional antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
2. Dalam pernikahan ada kebulatan tekad di antara kedua belah pihak untuk mengucapkan janji suci untuk menjadi pasangan suami istri.
3. Dalam pernikahan ada penentuan hak dan kewajiban suami istri secara proporsional.
4. Dalam pernikahan ada hubungan genetik antara pihak suami dan keluarganya dengan pihak istri dengan keluarganya.
5. Dalam pernikahan ada harapan dan cita-cita untuk menciptakan regenerasi yang abadi sehingga anak keturunan akan melanjutkan hubungan silaturahim tanpa batas waktu yang ditentukan.

Adapun jenis-jenis perkawinan yang hukumnya haram.
1. Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafazh tamattu, istimta' atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mut'ah disebut juga kawin kontrak (muaqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tak tertentu,
atau tidak ada wali ataupun saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut'ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus karena laki-laki mengawini seorang perempuan untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut'ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer. (Sayyid Sabiq, 1988: 155)

2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil disebut pula dengan istilah kawin cinta buta, yaitu seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan dia kembali. Mantan suaminya menyuruh orang lain menikahi mantan istrinya yang sudah ditalak tiga, kemudian berdasarkan perjanjian, istri tersebut diceraikan sehingga mantan suaminya dapat menikahinya (rujuk).

3. Nikah Gadai
Kawin gadai atau kawin pinjam merupakan kebiasaan orang Arab sebelum Islam; yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk bergaul dengan orang orang yang terpandang (bangsawan). Tujuannya adalah mencari bibit unggul dari hasil
hubungan tersebut. Pihak suami berpisah dengan istrinya, sampai si istri hamil dan menggaulinya kembali kalau dia mau. Adapun anak yang lahir dan hubungan seksual dengan orang yang menggadainya dinisbatkan kepada suami istri tersebut.

4. Nikah Syighar
Nikah Syighar ialah apabila seorang lelaki menikahkan seorang perempuan di bawah kekuasaannya dengan lelaki lain, dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Nikah
syighar adalah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang
laki-laki memiliki seorang putra, lalu ada seorang laki-laki yang ingin menikahi anaknya. Karena ia tidak mempunyai uang untuk membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya kepada laki-laki yang anaknya ditaksir tersebut sehingga ia dapat menikahi anaknya tanpa harus
membayar mahar. Nikah syighar seperti tukar guling, yaitu seorang wali memberikan anak perempuannya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, sedangkan seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah memberikan anaknya.

5. Nikah Kontrak
Nikah kontrak ada yang menyamakannya dengan nikah mut'ah, karena dalam pernikahannya digunakan lafazh yang sama, yaitu adanya pembatasan waktu. Misalnya, "Aku menikahimu untuk satu bulan. "Perbedaan nikah kontrak dengan nikah mut'ah adalah dari sisi alasannya. Nikah kontrak tidak ada alasan keterpaksaan atau darurat, sedangkan nikah mut'ah dilakukan dengan alasan darurat, seperti sedang melakukan perjalanan jauh atau sedang berperang. Hukum nikah kontrak haram dan akadnya batal.

6. Poliandri
Poliandri adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada lebih dari seorang laki-laki. Artinya seorang perempuan memiliki suami lebih dari seorang. Hukumnya haram, karena pernikahan seperti ini tidak berbeda dengan seorang pelacur yang setiap hari berganti-ganti pasangan, hanya poliandri menggunakan akad, yang akadnya mutlak batal.

7. Kawin Paksa
Kawin paksa adalah menikahkan seorang perempuan atau laki-laki dengan cara dipaksa oleh orangtuanya atau walinya dengan pilihan orangtua atau walinya. Ini seperti cerita Siti Nurbaya. Perkawinan adalah suatu akad persetujuan yang berdasarkan kesukaan dan kerelaan kedua pihak yang akan menjadi pasangan suami istri. Tidak ada pihak ketiga yang dapat memaksakan kemauannya untuk suatu perkawinan jika diri sendiri tidak suka meskipun pihak ketiga itu ayah, kakak, atau pamannya. Dengan demikian, memaksa anak untuk menikah dengan
pilihan walinya hukumnya haram.

8. Nikah Sirri
Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan oleh dua pasangan suami istri dengan cara tidak memberitahukan kepada orangtuanya yang berhak menjadi wali. Kedudukan nikah sirri sama dengan nikah tanpa wali. Dengan demikian, nikah tersebut tidak sah. Meskipun banyak
ulama menyatakan sah, karena pernikahan tersebut tidak sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, yaitu tidak dicacat oleh Petugas Pencatat Nikah, status nikah sirri sama dengan tidak terjadi pernikahan atau nikahnya tidak sah.

9. Kawin di Bawah Tangan
Kawin di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki tanpa melalui prosedur yang benar menurut Undang-Undang Perkawinan. Nikah di bawah tangan merupakan perkawinan yang ilegal. Dengan demikian, pernikahannya tidak sah, tetapi menurut pendapat ulama, akad perkawinannya sah.

D. Pendahuluan Perkawinan
Pendahuluan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1/1974 adalah sebagai berikut:
1. Segala hal yang berkaitan dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sebelum perkawinan berlangsung;
2. Berkaitan dengan peminangan atau khitbah; dan
3. Berkaitan dengan persyaratan administrasi sebelum pernikahan dilaksanakan.

Segala hal yang berkaitan dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria dan calon mempelai wanita adalah masalah-masalah sebagaimana terdapat dalam BAB II SYARAT- SYARAT PERKAWINAN Pasal 6-13

Pasal-pasal di atas, sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1/1974, PP Nomor 9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah adalah bagian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi, perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 14) disebutkan bahwa rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu
adanya:
1. calon suami;
2.calon istri;
3.wali nikah;
4.dua orang saksi;
5. ijab dan kabul.

E. Pencegahan dan Pembatalan Perkaw
1. Pencegahan Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pada Bab III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 13-21. Dalam pasal 13 dinyatakan bahwa: Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat perkawinan yang dimaksudkan adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat sahnya perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah satunya adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-Undang
Nomor 1/1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9/1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1/1974.

2. Pembatalan Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pada BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 -28. Dalam pasal 22 dikatakan bahwa:
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksudkan adalah persyaratan usia kedua calon mempelai, persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin orang tua kedua mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1/1974, PP Nomor 9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam.

Suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal begitu saja, kecuali ada yang mengajukan pembatalannya melalui pengadilan. Oleh sebab itu, perkawinan yang telah berlangsung meskipun menyimpang dari undang-undang, tetap sah menurut hukum Islam. Menurut para fuqaha dapat dilegalisasi oleh pengajuan bukti-bukti surat keterangan tentang telah terjadinya perkawinan untuk diaktakan oleh pegawai pencatat nikah. Jika perkawinan yang dimaksudkan diajukan pembatalannya oleh pihak-pihak yang dinyatakan memiliki wewenang dan diputuskan oleh pengadilan tentang batalnya perkawinan tersebut, kedua mempelai dapat melakukan perkawinan ulang sebagaimana perkawinan yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dibenarkan oleh undang-undang.

F. Pencatatan Perkawinan
Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengkuti prosedur yang sesuai dengan undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1/1974 tentang Perkawinan. Dalam BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 dikatakan:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Bab II
ALASAN ALASAN
DAN PROSEDURAL POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Alasan-alasan Poligami
Secara terminologi, poligami artinya banyak istri. Kata poligami berlaku bagi suami yang menikah dengan lebih dari seorang perempuan. Istilah poligami digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 atau KUHP, sebagaimana terdapat pada Pasal 3-5. (Anonimous, 2004:8)
Menurut Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 3-5, poligami dapat diartikan sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang wanita. Dalam bahasa lain, poligami artinya suami yang istrinya lebih dari satu.
Secara konsepsional, istilah poligami diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri untuk mendapatkan pasangan hidup lebih dari seorang. Oleh karena itu, poliandri merupakan salah satu jenis dari poligami. Apabila pernikahan dilakukan oleh seorang suami terhadap perempuan lebih dari seorang, atau suami yang istrinya lebih dari seorang, disebut dengan poligini. Karena dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 dan KHI bahkan dalam PP Nomor 9/1975 tidak dikenal istilah poligini, dalam tulisan ini pun digunakan istilah
poligami, yang merupakan istilah untuk seorang suami yang beristri lebih dari seorang.
Menurut Undang-Undang Nomor 1/1974, poligami adalah perkawinan yang mengacu pada beberapa persyaratan dan alasan. Persyaratannya adalah bahwa suami mendapatkan persetujuan dari istrinya dan dibenarkan melalui persidangan di pengadilan. Dalam kaitannya dengan kebolehan poligami sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 1/1974 pasal 4 ayat (1)
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Tiga alasan dibolehkannya suami melakukan poligami sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 4 ayat 2, yakni: bahwa pengadilan dimaksud ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

B. Prosedur Poligami
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975 Pasal 40 dijelaskan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Pasal ini merupakan penegasan untuk melaksanakan
Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 4 yang kemudian tata cara pelaksanaannya diuraikan dalam Pasal 41 yang menyebutkan bahwa Pengadilan kemudian memeriksa mengenai hal-hal berikut:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
(1) bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(2) bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
(3) bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.
c. Ada atau tidaknya persetujuan kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan  memperlihatkan:
(1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
(2) Surat keterangan pajak penghasilan; atau
(3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

Bab III
PERCERAIAN
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Terminologi Perceraian dalam Hukum Islam
Thalaq (perceraian), diambil dari kata "ithlaq", artinya "melepaskan atau meninggalkan." Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Melepaskan ikatan pernikahan, artinya bubarnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan atau perceraian.

Perceraian boleh dilakukan apabila mengandung unsur kemaslahatan karena setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menghasilkan kebaikan. Perceraian setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah perkawinan
seharusnya tidak ada perceraian, hanya kematian yang merupakan satu-satunya sebab dan alasan terjadinya perceraian suami istri. Dengan demikian, perceraian harus merupakan kehendak Tuhan.

Secara moral, perceraian sebagai suatu perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Tuhan. Walaupun halal, semua itu harus diberikan dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari segi hubungan suami istri dan keluarganya pada khususnya maupun
pengaruhnya yang langsung atau tidak langsung terhadap masyarakat
pada umumnya.

Soalnya sangat sederhana, yakni apabila kedua belah pihak suami-istri berselisih dan mereka sudah sama sepaham, bahwa perselisihannya tak dapat mereka atasi lagi, istri dapat membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan itu dengan jalan mengembalikan sejumlah harta yang dahulu pernah diterimanya sebagai maskawin dan suami menyatakan menerimanya, dan dengan demikian terjadilah khulu'.

Bab IV
KEWARISAN DALAM HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Waris dalam Islam
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan fara'idh, artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. (Moh. Rifa'i, Zuhri, dan Solomo, 1978: 242)

Yang dimaksud dengan ilmu waris atau ilmu fara'idh adalah pengetahuan yang membahas seluk-beluk pembagian harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris dan bagian-bagiannya. Adapun tirkah adalah
seluruh harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, yang berupa harta benda, utang piutang, dan sebagainya.

Wirjono Prodjodikoro (1991: 12) dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia mengatakan, bahwa pengertian warisan adalah "Suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam
masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang." Warisan ialah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

B. Sebab-sebab dan Penghalang Waris
1. Sebab-sebab Memperoleh Harta Waris
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pembahasan masalah kewarisan terdapat dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan yang dimulai dari Pasal 171. Menurut KHI, istilah-istilah yang terdapat dalam kewarisan Islam adalah sebagai berikut.
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan;
c. Ahli waris adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris;
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak haknya;
e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dan harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat;
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia;
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki;
h. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan;
i. Baitul mal adalah Balai Harta Keagamaan. Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris.

Ada 3 sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hal waris.
Pertama, kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orangtua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Kedua, pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antara keduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
Ketiga, Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini, orang
yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. menganugerahkan kepadanya

2. Penghalang Waris
Para ulama mazhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu perbedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan.

Berkaitan dengan adanya perbedaan agama, para ulama mazhab sepakat bahwa nonmuslim tidak bisa mewarisi muslim, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang muslim bisa mewarisi non-muslim?

Imamiyah berpendapat, seorang muslim bisa mewarisi nonmuslim. Imamiyah mengatakan, ibu itu seperti ayah. Dia menghalangi para kakek dan nenek untuk memperoleh waris, juga terhadap para saudara lelaki dan perempuan mayat dari semua jurusan.

Mazhab Empat mengatakan, anak perempuan mayat tidak bisa menghalangi anak laki-laki, dari anak laki-laki (ibn al-ibn) mayat, dan bahwasanya dua orang atau lebih anak perempuan bisa menghalangi anak-anak perempuan dari anak laki-laki (banat al-ibn), kecuali bila
bersama para anak perempuan itu anak laki-laki. Adapun anak perempuan satu, tidak bisa menghalangi anak-anak perempuan dari anak laki-laki (banat al-ibn), tetapi anak perempuan satu dan beberapa orang anak perempuan, dapat menghalangi saudara-saudara laki-laki
seibu.

C. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
Dalam KHI Pasal 174 dikatakan bahwa:
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
(1) golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.
(2) golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda
Bab V
HIBAH
DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Pengertian Hibah
Hibah artinya pemberian. Menurut Sayyid Sabiq (1987: 174), kata "hubuubur riih" artinya "muruuruhaa" (perjalanan angin). Kemudian, dipakailah kata "hibah" dengan maksud memberikan kepada orang lain, baik berupa harta maupun sesuatu yang lain.

Dalam hukum Islam, hibah berarti akad tentang pemberian harta milik seseorang kepada orang lain ketika dia masih hidup, tanpa adanya imbalan. Hibah itu dimiliki semata-mata setelah terjadinya akad, sehingga barang yang telah dihibahkan tidak lagi menjadi milik penghibahnya,
artinya hibah tergolong akad pemindahan hak milik atas harta dari pemilik awal kepada orang lain yang diberi harta tersebut. Dengan demikian, penerima hibah berhak untuk memanfaatkan harta yang diterimanya.

Dalam pengertian umum, hibah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Ibraa, yaitu menghibahkan utang kepada orang yang berutang.
2. Sedekah, yaitu yang menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat.
3. Hadiah, yaitu yang menuntut orang yang diberi hibah untuk memberi imbalan. (Sayyid Sabiq, 1987: 175)

Ciri-ciri penting dari hibah adalah: (1) adanya harta yang dihibahkan; (2) adanya pemilik harta tersebut; (3) terjadinya perpindahan hak milik; dan (4) tidak ada unsur lain, kecuali memberi tanpa imbalan apa pun.

B. Dasar Hukum Hibah
Dasar hukum hibah tidak berbeda dengan dasar hukum berinfak. Hanya saja, infak terbagi dua, yakni infak sunnah dan infak wajib. Infak sunnah berupa sidkah, hibah, hadiah, dan sejenisnya yang temanya sekadar pemberian, sedangkan infak wajib adalah zakat.

C. Rukun dan Syarat Hibah
Rukun-rukun hibah adalah:
1. adanya kedua belah pihak yang bertindak sebagai penghibah dan yang diberi hibah;
2. adanya harta yang dihibahkan;
3. adanya akad hibah;
4. adanya manfaat harta yang dihibahkan.
Hibah itu sah melalui ijab dan kabul, yang dilakukan secara lisan atau tulisan. Jika seseorang menghibahkan hartanya dengan lisan, orang yang menerima hibah hendaknya segera mengurus surat-surat harta yang dimaksudkan. Jika hartanya berupa sebidang tanah, buatlah segera
sertifikatnya dengan cara melakukan balik nama. Jika hal itu dilakukan, hibahnya menjadi lebih sempurna.
Syarat-syarat bagi penghibah sebagai berikut:
1. penghibah memiliki apa yang dihibahkan;
2. penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan;
3. penghibah itu orang dewasa;
4. penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang memper-syaratkan
keridaan dalam keabsahannya.

Bab VI
WASIAT
DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Pengertian Wasiat
Kata "wasiat" artinya pesan yang disampaikan oleh seseorang. Arti lafdhiyahnya adalah menyampaikan sesuatu. Dalam istilah hukum Islam, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.

Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini, jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilikan yang diperoleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat mati. Ini dari satu segi; sedangkan dari segi lain, hibah itu berupa barang; sementara wasiat bisa berupa
barang, piutang ataupun manfaat. (Sayyid Sabiq, 1987: 230).

B. Rukun dan Syarat-syarat Wasiat
Rukun-rukun wasiat adalah sebagai berikut:
1. ada pewasiat;
2. ada yang diberi wasiat atau penerima wasiat;
3. ada sesuatu yang diwasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu;
4. ada akad atau ijab kabul wasiat secara lisan atau tulisan.

Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:
1. orang yang memberi wasiat adalah orang yang masih hidup dengan sukarela memberi wasiat;
2. orang yang dimaksud telah balig, berakal, dan ada dalam keadaan sadar;
3. harta yang diwasiatkan benar-benar miliknya;
4. jika yang diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebih 1/3 harta waris;
5. ahli waris tidak berhak menerima harta dari wasiat, kecuali wasiat bukan berupa harta;
6. orang yang diberi wasiat masih hidup;
7. ijab kabul wasiat harus jelas, baik secara lisan maupun tulisan;
8. wasiat dilaksanakan jika yang memberikannya telah meninggal dunia.

Bab VII
PERWAKAFAN
A. Pengertian Wakaf
Kata "wakaf" diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak yang dapat berfungsi sebagai . kata kerja (mashdar kata kerja intransitif (fi'il lazim) atau transitif (muta'adi). Akan tetapi, pengertian yang dipakai dalam tulisan ini ialah kata "wakaf" dari bentuk kata kerja transitif.

B. Dasar Hukum Perwakafan
Pakar hukum Islam dari berbagai mazhab mengambil ayat ini sebagai landasan hukum wakaf. Hal ini karena, secara historis, setelah turun ayat ini, banyak sahabat nabi yang terdorong untuk
melakukan amal wakaf. Para pemuka ahli hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Ibnu Majah Tirmidzi, dan Nas'i (Al-Immah Sittah) meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa
Abu Thalhah adalah seorang sahabat Nabi yang kaya di Madinah dan memiliki banyak kebun kurma. Di antara kebun kurma yang banyak tersebut, ada kebun kurma yang paling disenanginya, yaitu
kebun kurma "Bairuha" yang berlokasi di depan masjid Nabawi. Nabi pun sering keluar masuk kebun tersebut sekadar untuk meminum air. Setelah turun ayat ini, Abu Thalhah langsung tergerak hatinya dan segera menghadap Nabi dan menyerahkan kebun kurma tersebut sebagai amal wakaf. (Ash-Shan'ani, t.t., Juz:87) Umar bin Khaththab mengikuti untuk menyerahkan sebidang tanah di Khaibar yang diakui sebagai satu-satunya milik yang paling disenangi kepada nabi sebagai amal wakaf. Begitu juga, para sahabat yang lain, seperti Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Umar menyerahkan hartanya yang paling disenangi untuk amal yang sama.

Wakaf pada umumnya dibagi dua, yakni sebagai berikut.
1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli adalah wakaf yang diberikan kepada perseorangan. Misalnya diberikan kepada ahli warisnya atau orang yang tertentu mengikuti kehendak wakif. Misalnya, seorang santri mewakafkan
tanah kepada seorang kiai (gurunya). Akan tetapi, pada kemudian, tak satu pun putra-putra gurunya menjadi kiai, harta wakaf kemudian mejadi harta turun temurun. (Abdurrahman, 1994: 60)
2. Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang sejak diikrarkannya diper-untukkan bagi kepentingan umum. Misalnya, wakaf tanah untuk membangun masjid juga mewakafkan sebidang perkebunan dan
hasilnya untuk pembiayaan pendidikan Islam.

C. Rukun dan Syarat-syarat Perwakafan
Rukun-rukun wakaf adalah sebagai berikut:
1. adanya wakif atau orang yang berwakaf;
2. adanya harta yang diwakafkan (mauquf);
3. adanya tujuan yang diniatkan (mauquf 'alaih);
4. adanya akad wakaf (shighat). (Ahmad Azhar Basyir, 1987: 9)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun