Kaitannya dengan hukum keluarga, Ali Afandi (1997: 93) mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan adalah hukum perkawinan yang kemudian dibagi dua, yaitu hukum perkawinan dan hukum kekayaan dalam perkawinan. Menurut Ali
Afandi (1997: 93-94) "Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan
yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri dalam perkawinan."
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia
Pada awalnya, keberlakuan hukum perdata di Indonesia berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.
Pertama, peruntukan hukum perdata berlainan untuk setiap golongan warga negara.
1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat, yaitu yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa, Burgerlijk Wetboek tersebut memiliki sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai "penahanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka, ada pula Burgerlijke Stand sendiri. Ada pula peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek
3. Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (yaitu: Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya
bagian mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht). Jadi, bukan mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (Personen en familierencht) ataupun mengenai hukum warisan.
Kedua, hukum perdana untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata).
Hukum adat dapat ditafsirkan sebagai istilah bagi norma dan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai hukum yang dibentuk oleh gejala sosial yang melembaga karena kebiasaan-kebiasaan, norma sosial diperkuat oleh penguasa adat dan kelompok sosial yang terdapat di masyarakat setempat, sehingga kepastian yang ditonjolkan oleh kaidah sosial dalam mengatur kehidupan masyarakat menjadi indikator bahwa kaidah sosial tersebut merupakan hukum yang diperoleh dari tradisi yang berlaku sehingga disebut dengan hukum adat.
Di samping itu, konsep "hukum adat" menunjukkan terjadinya perbedaan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Hal itu terjadi karena setiap masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang berbeda akan memiliki kebiasaan normatif yang berbeda. Jika tidak terjadi interaksi yang mengasimilasikan kedua norma yang berlaku, "hukum adat" yang berlaku akan berbeda. Dalam bahasa lain, kemajemukan dan kebhinekaan masyarakat dan budaya akan melahirkan norma sosial yang beragam dan berbeda-beda. Dengan norma sosial yang berbeda, hukum adatnya pun akan bervariasi. Perbedaan hukum adat bagi Indonesia asli bergantung pada daerahnya masing-masing, sebagaimana Subekti (1084: 11) menjelaskan bahwa dalam masalah keperdataan, bagi masyarakat Indonesia asli yang ber-pegang teguh pada hukum adat, diperbolehkan untuk menundukkan
yang dimaksudkan. diri (onderwerpen) pada hukum adat yang dimaksudka.
C. Prinsip-prinsip Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". (Anonimous, 2004: 8).
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta
dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang sifatnya global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memejuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Ada 5 hal mendasar yang secara substansial berkaitan erat dengan pernikahan atau perkawinan yang dilakukan oleh manusia, yaitu sebagai berikut.
1. Dalam pernikahan ada hubungan timbal balik dan hubungan fungsional antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
2. Dalam pernikahan ada kebulatan tekad di antara kedua belah pihak untuk mengucapkan janji suci untuk menjadi pasangan suami istri.
3. Dalam pernikahan ada penentuan hak dan kewajiban suami istri secara proporsional.
4. Dalam pernikahan ada hubungan genetik antara pihak suami dan keluarganya dengan pihak istri dengan keluarganya.
5. Dalam pernikahan ada harapan dan cita-cita untuk menciptakan regenerasi yang abadi sehingga anak keturunan akan melanjutkan hubungan silaturahim tanpa batas waktu yang ditentukan.
Adapun jenis-jenis perkawinan yang hukumnya haram.
1. Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafazh tamattu, istimta' atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mut'ah disebut juga kawin kontrak (muaqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tak tertentu,
atau tidak ada wali ataupun saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut'ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus karena laki-laki mengawini seorang perempuan untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut'ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer. (Sayyid Sabiq, 1988: 155)
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil disebut pula dengan istilah kawin cinta buta, yaitu seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan dia kembali. Mantan suaminya menyuruh orang lain menikahi mantan istrinya yang sudah ditalak tiga, kemudian berdasarkan perjanjian, istri tersebut diceraikan sehingga mantan suaminya dapat menikahinya (rujuk).
3. Nikah Gadai
Kawin gadai atau kawin pinjam merupakan kebiasaan orang Arab sebelum Islam; yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk bergaul dengan orang orang yang terpandang (bangsawan). Tujuannya adalah mencari bibit unggul dari hasil
hubungan tersebut. Pihak suami berpisah dengan istrinya, sampai si istri hamil dan menggaulinya kembali kalau dia mau. Adapun anak yang lahir dan hubungan seksual dengan orang yang menggadainya dinisbatkan kepada suami istri tersebut.
4. Nikah Syighar
Nikah Syighar ialah apabila seorang lelaki menikahkan seorang perempuan di bawah kekuasaannya dengan lelaki lain, dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Nikah
syighar adalah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang
laki-laki memiliki seorang putra, lalu ada seorang laki-laki yang ingin menikahi anaknya. Karena ia tidak mempunyai uang untuk membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya kepada laki-laki yang anaknya ditaksir tersebut sehingga ia dapat menikahi anaknya tanpa harus
membayar mahar. Nikah syighar seperti tukar guling, yaitu seorang wali memberikan anak perempuannya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, sedangkan seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah memberikan anaknya.