Mohon tunggu...
Diefani Khatyara
Diefani Khatyara Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RADEN MAS SAHID SURAKARTA

Semoga bermanfaat guyss

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam di Indonesia

14 Maret 2023   14:00 Diperbarui: 14 Maret 2023   14:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal begitu saja, kecuali ada yang mengajukan pembatalannya melalui pengadilan. Oleh sebab itu, perkawinan yang telah berlangsung meskipun menyimpang dari undang-undang, tetap sah menurut hukum Islam. Menurut para fuqaha dapat dilegalisasi oleh pengajuan bukti-bukti surat keterangan tentang telah terjadinya perkawinan untuk diaktakan oleh pegawai pencatat nikah. Jika perkawinan yang dimaksudkan diajukan pembatalannya oleh pihak-pihak yang dinyatakan memiliki wewenang dan diputuskan oleh pengadilan tentang batalnya perkawinan tersebut, kedua mempelai dapat melakukan perkawinan ulang sebagaimana perkawinan yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dibenarkan oleh undang-undang.

F. Pencatatan Perkawinan
Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengkuti prosedur yang sesuai dengan undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1/1974 tentang Perkawinan. Dalam BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 dikatakan:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Bab II
ALASAN ALASAN
DAN PROSEDURAL POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Alasan-alasan Poligami
Secara terminologi, poligami artinya banyak istri. Kata poligami berlaku bagi suami yang menikah dengan lebih dari seorang perempuan. Istilah poligami digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 atau KUHP, sebagaimana terdapat pada Pasal 3-5. (Anonimous, 2004:8)
Menurut Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 3-5, poligami dapat diartikan sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang wanita. Dalam bahasa lain, poligami artinya suami yang istrinya lebih dari satu.
Secara konsepsional, istilah poligami diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri untuk mendapatkan pasangan hidup lebih dari seorang. Oleh karena itu, poliandri merupakan salah satu jenis dari poligami. Apabila pernikahan dilakukan oleh seorang suami terhadap perempuan lebih dari seorang, atau suami yang istrinya lebih dari seorang, disebut dengan poligini. Karena dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 dan KHI bahkan dalam PP Nomor 9/1975 tidak dikenal istilah poligini, dalam tulisan ini pun digunakan istilah
poligami, yang merupakan istilah untuk seorang suami yang beristri lebih dari seorang.
Menurut Undang-Undang Nomor 1/1974, poligami adalah perkawinan yang mengacu pada beberapa persyaratan dan alasan. Persyaratannya adalah bahwa suami mendapatkan persetujuan dari istrinya dan dibenarkan melalui persidangan di pengadilan. Dalam kaitannya dengan kebolehan poligami sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 1/1974 pasal 4 ayat (1)
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Tiga alasan dibolehkannya suami melakukan poligami sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 4 ayat 2, yakni: bahwa pengadilan dimaksud ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

B. Prosedur Poligami
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975 Pasal 40 dijelaskan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Pasal ini merupakan penegasan untuk melaksanakan
Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 4 yang kemudian tata cara pelaksanaannya diuraikan dalam Pasal 41 yang menyebutkan bahwa Pengadilan kemudian memeriksa mengenai hal-hal berikut:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
(1) bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(2) bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
(3) bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.
c. Ada atau tidaknya persetujuan kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan  memperlihatkan:
(1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
(2) Surat keterangan pajak penghasilan; atau
(3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

Bab III
PERCERAIAN
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Terminologi Perceraian dalam Hukum Islam
Thalaq (perceraian), diambil dari kata "ithlaq", artinya "melepaskan atau meninggalkan." Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Melepaskan ikatan pernikahan, artinya bubarnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan atau perceraian.

Perceraian boleh dilakukan apabila mengandung unsur kemaslahatan karena setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menghasilkan kebaikan. Perceraian setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah perkawinan
seharusnya tidak ada perceraian, hanya kematian yang merupakan satu-satunya sebab dan alasan terjadinya perceraian suami istri. Dengan demikian, perceraian harus merupakan kehendak Tuhan.

Secara moral, perceraian sebagai suatu perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Tuhan. Walaupun halal, semua itu harus diberikan dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari segi hubungan suami istri dan keluarganya pada khususnya maupun
pengaruhnya yang langsung atau tidak langsung terhadap masyarakat
pada umumnya.

Soalnya sangat sederhana, yakni apabila kedua belah pihak suami-istri berselisih dan mereka sudah sama sepaham, bahwa perselisihannya tak dapat mereka atasi lagi, istri dapat membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan itu dengan jalan mengembalikan sejumlah harta yang dahulu pernah diterimanya sebagai maskawin dan suami menyatakan menerimanya, dan dengan demikian terjadilah khulu'.

Bab IV
KEWARISAN DALAM HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Waris dalam Islam
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan fara'idh, artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. (Moh. Rifa'i, Zuhri, dan Solomo, 1978: 242)

Yang dimaksud dengan ilmu waris atau ilmu fara'idh adalah pengetahuan yang membahas seluk-beluk pembagian harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris dan bagian-bagiannya. Adapun tirkah adalah
seluruh harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, yang berupa harta benda, utang piutang, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun