"Oke, oke, terus kaitannya dengan Lala?" Sony seperti acuh, tapi terus mencecar.
"Idem ditto lah. Yani, Hilda, Indah, sampai terakhir Lala. Selalu berakhir ricuh dan menyimpan dendam. Ada relevansinya, bro. Mereka semua pengidap asma."
Sony menatap Bara sesaat. Sesungging senyuman bernada sinis sempat muncul dari bibirnya. Untung segera terhapus oleh kepulan asap rokok, sehingga tidak sempat tertangkap mata sahabatnya.
"Ingat ga lu, si Hilda sampai senekad itu, mobilnya ditabrakin ke motor gue saking dendamnya. Kasihan si Wito aja, dia ga salah apa-apa, sampai babak belur gitu gara-gara pake motor dan jaket gue."
"Hmmmm, ya itu sih apesnya Wito aja kali." Tetap santai Sony menimpali.
"Ah, lu nih paling-paling. Serius dikit kenapa. Percuma lu jadi sohib gue seumur hidup, kalau cara lu nanggapin masalah gue begini." Ada nada kecut di ucapan itu.
Mendadak sontak, Sony berubah sikap. Lagaknya jadi serius.
"Hey, bro, bukannya gue ga mau peduli urusan lu. Kalo yang dulu-dulu sih gue bisa peduli banget dan mau turun tangan kalo lu minta. Kali ini, ngga deh. Sorry banget. Sejujurnya, Â kasus ini murni masalah lu. Bukannya gue ga mau peduli, tepatnya sih gue ga berani ikut campur."
Sony bicara tanpa nada tinggi sama sekali, tapi caranya bicara seperti melepaskan sesuatu yang sudah disimpannya cukup lama di dalam hati dan pikiran. Seperti baru kali ini ia memperoleh pelampiasan.
"Masalahnya bukan lagi di soal lu selalu bermasalah kalau berhubungan dengan orang berpenyakit asma. Nope. Beberapa tahun lalu lu masih beromansa ria. Kalau sekarang, yang lu lakukan adalah hal yang lu tahu gue ga pernah suka dari dulu. Selingkuh. C'mon man, lu khan udah punya istri.Â
Dini mau lu kemanain? Kemarin-kemarin waktu lu mulai jalan dengan Lala, gue sudah tunjukin kalo gue ga  setuju. Gue juga sudah pernah sampaikan itu secara lisan. Gue ga tega dan, jujur, ada rasa ga rela lihat lu khianati sahabat gue. Hampir setahun lu jalan dengan Lala. Hampir setahun juga lu terlena. Hampir setahun juga lu bohongin istri lu sendiri."Â