Mohon tunggu...
Didot Mpu Diantoro
Didot Mpu Diantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi

Aktif di dunia periklanan dan komunikasi pemasaran sejak tahun 1996, mendirikan perusahaan periklanan sendiri sejak tahun 2001. Terlibat sebagai panitia dalam beberapa event olahraga berskala nasional maupun internasional sejak tahun 2008. Aktif sebagai konsultan komunikasi dan pembuat konten media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma

25 Mei 2024   04:06 Diperbarui: 25 Mei 2024   04:16 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu itu karena rasa takut yang memuncak, Agung menuruti saran Indra, kakaknya. Sapi yang dirasakannya berdiri di sampingnya itu pun tidak lagi mengeluarkan suara kelenengan. Sunyi, hanya suara binatang malam dan gerojokan air yang terdengar. Setelah acara memancing itu selesai, ternyata mereka sudah ditunggu seorang perempuan yang memohon-mohon maaf di pintu jembatan. Begitu memelas cara perempuan itu meminta maaf.

Dengan sikap tegas, Agung memaafkan tapi juga mengingatkan untuk jangan sekali-sekali mengganggu mereka lagi. Belakangan baru Agung dapat penjelasan lebih detil bahwa sapi yang mengganggu itu adalah jelmaan leak yang suka mengganggu.

Di situlah Agung merasa beruntung karena almarhum kakeknya adalah seorang pedanda yang cukup mumpuni di wilayah Kintamani. Pedanda sakti yang sering dikerjai oleh cucu-cucu kesayangannya dari Jakarta itu. Indra yang lebih dulu ikut kakeknya di Kintamani, sudah memperoleh bekal yang cukup untuk menghadapi gangguan leak yang bisa muncul dan ketemu di mana saja. Sayang, ia harus pergi lebih dulu menemui Tuhan-nya, justru di saat ketika ia memutuskan untuk pindah agama.

Sebagai anak yang lahir dan besar di Jakarta, Agung merasa terkagum-kagum sendiri setiap kali menyaksikan kejadian-kejadian aneh tapi nyata yang ia dan keluarganya alami. Agung juga ingat tetangganya yang menurut sang kakek adalah seorang ratu leak, tapi terhadap dirinya berlaku sangat baik dan sayang senyata-nyatanya.

"Hey, diajak ngomong malah bengang-bengong!" sentakan kalimat dari mulut Bram dan tendangan kecil di kakinya, segera mengembalikan Agung ke kenyataan lagi.

"Aku tidak bisa bantu banyak nih, lagi mepet juga. Cuma bisa bantu segini," lanjut Bram sambil menyodorkan amplop ke meja di depan Agung.

"Berapa nih?"

"Lima juta. Terserah kaulah, gimana cara mengaturnya. Cobalah pinjam tante Nin dulu, kalau bisa." Omongan Bram terhenti karena ponsel di sakunya berbunyi.

'Uhm, kontrakan tiga setengah, tiket pulang balik satu setengah, bisa lepas beban dan setor muka. Tapi, mana mungkin setor muka aja," Agung membatin. Tapi, ia pun bersyukur, setidaknya satu dua masalah menemui titik terang.

Hitung punya hitung, kewajiban yang ditanggungnya untuk urusan ngaben jenazah neneknya membutuhkan paling sedikit sekitar enam puluh lima juta. Dari info hasil rapat banjar yang disampaikan tantenya di Kadewatan, pelaksanaan ngaben itu tinggal dua hari lagi dari sekarang.

Sebagai cucu langsung dari sang nenek, Agung bersama dua adiknya bertanggung jawab terhadap pembiayaan acara tersebut. Dan, memang cuma mereka cucunya, karena tante Nin tidak mempunyai anak. Terbayang pula dirinya akan mengikuti upacara pembakaran mayat umat Hindu Bali, beriring-iring mengantarkan jenazah neneknya dalam wadah dengan jalan yang berliku-liku agar roh jahat yang suka mengikuti jenazah jadi bingung dan tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun