Semua jalur sudah ia kuasai dan kenal baik, mulai dari pihak pemda sampai investor yang akan membiayai proyek tersebut. Studi kelayakan yang memakan biaya cukup besar sudah selesai, nota kesepahaman dengan investor pun sudah ditandatangani. Kendalanya adalah di perijinan yang tak kunjung selesai, hingga akhirnya sang investor pun membatalkan perjanjian itu. Hasil pilkada awal tahun ini benar-benar telah menjungkirbalikkan keadaan.
Upayanya untuk membina jalur dengan struktur pemda yang baru ini seperti menemui jalan buntu. Salahnya adalah ia terlalu kentara mendukung calon bupati yang kalah di pilkada itu, sehingga oleh kelompok pendukung bupati yang menang itu ia dianggap musuh. Kalau saja Mintuno, sahabatnya yang kalah dalam pilkada kemarin itu, bisa memenangkan pertarungan, maka pertaruhan yang menggunakan uang hasil penjualan tanah warisan ayahnya itu akan mendatangkan masa depan dan kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Agung kalah total dalam pertarungan dan pertaruhan itu. Kekhawatiran Darma benar-benar terbukti seratus persen.
-----
Begitu meluruh Agung dalam pusaran pikirannya. Tanpa disadarinya, ketiga jari tangan kanannya yang sibuk memutar-mutar rokok yang menyala justru menyodorkan ujung rokok yang membara ke bibirnya.
"Pffiuaahh ...! Bwah ... prahhh ... " sibuk Agung menepis-nepis rasa panas yang menempati bibirnya. Disambarnya gelas berisi kopi yang sudah dingin untuk membantu meredakan rasa panas itu.
"Ha ha ha ha ... makanya, jangan melamun aja. Begitu deh jadinya."
Komentar itu meluncur dalam bentuk suara dan intonasi khas yang dikenalnya. Ia tidak tahu kapan Bram, adik iparnya, sampai di tempat itu. Setelah insiden kecil itu, Agung dan Bram pun segera terlibat dalam pembicaraan yang ternyata sangat terkait dengan telpon yang diterimanya tadi.
Menurut Bram, biar bagaimana pun mereka harus pulang ke Ubud untuk menyelesaikan dua persoalan. Pertama, penandatanganan surat pernyataan melepas hak tanah warisan kakeknya di Ubud. Hal kedua adalah urusan upacara Ngaben yang harus dilakukan terhadap jenazah sang nenek tercinta.
Pikiran Agung sempat mampir ke lintasan kenangan di masa-masa dirinya masih SMP di Bali. Ia dipindahkan ke Bali oleh ayahnya karena kenakalan yang dilakukannya di Jakarta. Masa remajanya hingga lulus SMA dihabiskan di pulau satronan bule nomor satu di Indonesia itu. Satu peristiwa melentik keluar dan terpetakan di benaknya, lengkap dengan percakapan.
"Dra, kenapa anak sapi itu tiba-tiba ada di sini? Waduh, semakin besar dia ...."
"Lu cuekin ajah, jangan ditengok. Jangan sekali-sekali nengok, kalo lu nengok, tau sendiri rasanya. Lihat aja, ntar dia bakal minta-minta maaf karena kita cuekin."