Periode Desember 1997, di Kuala Lumpur, Malaysia, dilaksanakan pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN, yang menghasilkan sebuah gagasan bersama bernama visi ASEAN 2020 untuk mewujudkan kawasan ekonomi regional Asia Tenggara.Â
Tujuannya adalah penguatan pertumbuhan ekonomi dengan mekanisme pasar bebas (barang dan jasa) di antara anggoota ASEAN sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama.Â
Sekarang inilah yang lebih dikenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dengan MEA cita-cita yang ingin dicapai adalah terwujudnya kawasan ekonomi yang stabil, sejahtera dan kompetitif, pembangunan yang merata dan seimbang, penanggulangan kemiskinan serta pengurangan kesenjangan dalam masyarakat.Â
Tetapi dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya karena dirasa mendesak untuk segera dilaksanakan maka gagasan Masyarakat Ekonomi ASEAN dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2015, di Indonesia baru dimulai pada tahun 2016 ini.
MEA diharapkan akan menjadi transformasi masyarakat Asia Tenggara, dimulai dengan mobilitas barang, jasa, tenaga kerja terampil, investasi dan modal kapital yang bebas keluar-masuk antar negara-negara ASEAN tanpa adanya hambatan-hambatan yang akan mengganggu mobilitas tersebut.Â
Maka, kawasan Asia Tenggara akan menjadi pasar bebas tunggal dengan basis produksi, seperti NAFTA (Amerika Utara), Uni Eropa, atau MERCOSUR (Amerika Selatan). Kawasan pasar bebas tunggal ini merupakan dampak globalisasi, untuk mewujudkan pasar bebas dunia dengan sistem Kapitalismenya.Â
Namun, benarkah pasar bebas -- baik dunia maupun regional -- merupakan suatu yang tak terhindarkan? Atau dia hanya merupakan kepentingan kelompok tertentu saja dalam masyarakat dunia? Apakah Indonesia telah siap menghadapi ekonomi yang semakin meng-global ini? Dan keuntungannya untuk siapa?
Keluar dari MEA
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) haruslah merupakan kebijakan dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu melindungi tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Manfaat kebijakan ikut dalam MEA haruslah dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya segolongan pemilik modal yang kaya. Masyarakat harus sadar dan kritis dalam menghadapi MEA, apakah kita memang butuh MEA? Apakah kita sudah siap untuk pasar bebas ASEAN? menurut saya, kita belum siap.
Ketidaksiapan Indonesia untuk bergabung dan menerapkan MEA jelas terlihat dalam sistem penyelenggaraan negara yang dijalankan saat ini. Menurut Dodi Mantra, dalam bukunya Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme (2011:8), bahwa modal utama kesiapan bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi pasar bebas ada tiga hal yaitu (i) eksistensi Institusi, (ii) regulasi yang kuat dan (iii) fundamental ekonomi yang kuat.Â
Eksistensi institusi maksudnya adalah dibutuhkan organ negara yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh institusi-institusi lain di luar negara yang turut campur dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara (ekonomi, hukum dan politik). Regulasi yang kuat merupakan modal dalam melindungi kepentingan masyarakat dan mewujudkan kepastian hukum (supreme of law), bukan menuruti kepentingan pasar dengan agenda deregulasi-deregulasinya.Â
Sedangkan, fundamental ekonomi yang kuat merupakan arah dan tujuan ekonomi yang akan dicapai oleh negara, sehingga sistem ekonomi tersebut terkonsep, tersistematis, terarah, dan ter-ideologi pada seluruh elemen bangsa, baik pemimpin maupun rakyatnya. Ketiga modal utama kesiapan dalam menghadapi pasar bebas regional (MEA) ini tidak dimiliki oleh negara Indonesia.
Sejak berdirinya negara Indonesia, melalui para pendiri bangsa ini sudah mengatakan bahwa sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan negara adalah sistem ekonomi Pancasila, yang berbasis pada sistem ekonomi kerakyatan. Sistem ekonomi Pancasila seharusnya menjadi fundamental ekonomi negara kita yang kuat.Â
Akan tetapi, dalam berjalannya sejarah negara ini, ternyata tidak pernah ada konsep terstruktur dan tersistematis dalam meng-ideologi sistem ekonomi Pancasila pada rakyat. Walhasil, sampai saat ini sistem ekonomi kita malah cenderung terombang-ambing untuk berkiblat ke Amerika atau Tiongkok. Negara Indonesia secara institusi masih belum bisa dikatakan sebagai institusi negara yang kuat, institusi tertinggi dalam negara, karena bisa dilhat, negara sering dikalahkan oleh korporasi (multi nasional korporasi) maupun lembaga Internasional (IMF, ADB,dll).Â
Dengan kondisi yang demikian menjadi rawan ke depannya apabila kebijakan-kebijakan penting negara mudah dipengaruhi dan diintervensi oleh institusi lain di luar negara. Regulasi yang terwujudkan dalam hukum dan Undang-undang juga akan lemah serta tidak merepresentasi kepentingan masyarakat. Hukum akan mudah berubah-ubah menyesuaikan kepentingan pasar bebas, kepentingan segelintir orang dalam mempertahankan kuasa atau melancarkan usahanya. Inilah fakta ketiadaan modal utama negara Indonesia dalam menerapkan MEA.
Ketidaksiapan dalam tiga hal diatas ditambah oleh kelemahan-kelemahan Indonesia dalam menghadapi MEA. Pertama, berdasarkan World Economic Forum (Tahun 2008-2009) yang mengelompokkan negara-negara di dunia menurut fase pembangunan, Indonesia masuk dalam fase pertama dari tiga fase yang ditentukan.Â
Fase pertama pembangunan yaitu dimana suatu negara dalam pembangunannya memiliki ciri-ciri: masih bergantung pada faktor-faktor alam (SDA) dan jumlah tenaga kerja banyak dan murah. Fase kedua memiliki ciri pembangunan didorong oleh produktifitas dan efisiensi serta tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi.Â
Negara ASEAN yang dimasukkan dalam fase kedua pembangunan ini adalah Malaysia dan Thailand. Fase ketiga bercirikan pada pembangunan ekonomi didorong sepenuhnya oleh inovasi dengan daya saing tinggi dan teknologi informasi yang canggih, sehingga dibutuhkan tenaga kerja ahli, berpendidikan tinggi, terampil dan kreatif. Singapura merupakan negara ASEAN yang mencapai fase ketiga ini.
Fase pertama pembangunan Indonesia dengan ciri-ciri yang dimiliki tersebut, membawa dampak pada kelemahan kedua ketidaksiapan Indonesia dalam menerapkan MEA, yaitu sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah. Hasil survey yang dirilis menurut Human Development Indexs versi UNDP (United Nation Development Program), kualitas sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat 109 dari 179 negara di seluruh dunia (UNDP:2008).Â
Faktor aksesibilitas pada pendidikan formal (sekolah) menjadi penyebab utama rendahnya sumber daya manusia Indonesia. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak dapat akses pada pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi sebagai modal dalam mengembangan keterampilan dan keahlian bagi peserta didik yang akan menjadi output dunia pendidikan kita. Menjadi semakin sulit bila kita mendambakan akses pendidikan untuk semua, karena dunia pendidikan formal kita juga semakin mahal semakin liberal.
Dengan kondisi-kondisi tersebut, negara Indonesia dalam pemberlakuan MEA hanya akan menjadi negara konsumsi, mudah teritervensi oleh negara-negara yang sudah siap secara ekonomi dan regulasi, dan hanya akan menambah penyumbang tenaga kerja murah bagi ASEAN.Â
Kondisi yang tidak berubah ini, bahkan hanya akan semakin mendekatkan negara Indonesia pada dampak negatif pasar bebas, dimana negara kita akan rentan terhadap krisis ekonomi, kemiskinan yang justru meningkat dan ketimpangan sosial ekonomi yang semakin lebar. Tidak ada keuntungan yang dapat diambil oleh masyarakat menengah ke bawah dengan penerapan MEA.Â
Saya kira, teori Robert Gilpin tentang "trickle down effect" di mana dengan pemberlakuan pasar bebas lapisan masyarakat paling bawah juga akan mendapat manfaatnya dengan rembesan ke bawah kesejahteraan oleh masyarakat kapital, tidak menemukan fakta dan realitanya.Â
Kita bayangkan saja, semakin besar keuntungan yang didapatkan oleh seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk melindungi dan mempertahankan keuntungan tersebut, bukan malah semakin besar pula untuk berbagi (share), peduli (care) dan menciptakan kondisi persaingan yang adil (fair).Â
Maka, kita menemukan realita bahwa pasar bebas bukan merupakan solusi mengentaskan kemiskinan atau mengurangi kesenjanggan. Pasar bebas merupakan kepentingan para pemilik modal besar dan negara-negara maju untuk kepentingan kapitalisasi perekonomian di seluruh dunia.
Jelas penerapan MEA pada 2016 dan seterusnya ini, bukanlah merupakan kepentingan masyarakat, dan masyarakat tidak mendapatkan keuntungan yang besar yang bisa mensejahterakan bersama. MEA hanya menciptakan "orang-orang kalah" baru pada sebagian masyarakat. Lalu, beranikah kita masyarakat (bukan pemerintah) untuk keluar dari MEA? Sebagaimana Brexit di Eropa? Wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H