Mohon tunggu...
Didit SuryoTri
Didit SuryoTri Mohon Tunggu... Freelancer - Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masyarakat Ekonomi ASEAN: Siapa Mendapat Apa?

27 Juli 2020   10:40 Diperbarui: 27 Juli 2020   11:45 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Eksistensi institusi maksudnya adalah dibutuhkan organ negara yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh institusi-institusi lain di luar negara yang turut campur dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara (ekonomi, hukum dan politik). Regulasi yang kuat merupakan modal dalam melindungi kepentingan masyarakat dan mewujudkan kepastian hukum (supreme of law), bukan menuruti kepentingan pasar dengan agenda deregulasi-deregulasinya. 

Sedangkan, fundamental ekonomi yang kuat merupakan arah dan tujuan ekonomi yang akan dicapai oleh negara, sehingga sistem ekonomi tersebut terkonsep, tersistematis, terarah, dan ter-ideologi pada seluruh elemen bangsa, baik pemimpin maupun rakyatnya. Ketiga modal utama kesiapan dalam menghadapi pasar bebas regional (MEA) ini tidak dimiliki oleh negara Indonesia.

Sejak berdirinya negara Indonesia, melalui para pendiri bangsa ini sudah mengatakan bahwa sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan negara adalah sistem ekonomi Pancasila, yang berbasis pada sistem ekonomi kerakyatan. Sistem ekonomi Pancasila seharusnya menjadi fundamental ekonomi negara kita yang kuat. 

Akan tetapi, dalam berjalannya sejarah negara ini, ternyata tidak pernah ada konsep terstruktur dan tersistematis dalam meng-ideologi sistem ekonomi Pancasila pada rakyat. Walhasil, sampai saat ini sistem ekonomi kita malah cenderung terombang-ambing untuk berkiblat ke Amerika atau Tiongkok. Negara Indonesia secara institusi masih belum bisa dikatakan sebagai institusi negara yang kuat, institusi tertinggi dalam negara, karena bisa dilhat, negara sering dikalahkan oleh korporasi (multi nasional korporasi) maupun lembaga Internasional (IMF, ADB,dll). 

Dengan kondisi yang demikian menjadi rawan ke depannya apabila kebijakan-kebijakan penting negara mudah dipengaruhi dan diintervensi oleh institusi lain di luar negara. Regulasi yang terwujudkan dalam hukum dan Undang-undang juga akan lemah serta tidak merepresentasi kepentingan masyarakat. Hukum akan mudah berubah-ubah menyesuaikan kepentingan pasar bebas, kepentingan segelintir orang dalam mempertahankan kuasa atau melancarkan usahanya. Inilah fakta ketiadaan modal utama negara Indonesia dalam menerapkan MEA.

Ketidaksiapan dalam tiga hal diatas ditambah oleh kelemahan-kelemahan Indonesia dalam menghadapi MEA. Pertama, berdasarkan World Economic Forum (Tahun 2008-2009) yang mengelompokkan negara-negara di dunia menurut fase pembangunan, Indonesia masuk dalam fase pertama dari tiga fase yang ditentukan. 

Fase pertama pembangunan yaitu dimana suatu negara dalam pembangunannya memiliki ciri-ciri: masih bergantung pada faktor-faktor alam (SDA) dan jumlah tenaga kerja banyak dan murah. Fase kedua memiliki ciri pembangunan didorong oleh produktifitas dan efisiensi serta tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi. 

Negara ASEAN yang dimasukkan dalam fase kedua pembangunan ini adalah Malaysia dan Thailand. Fase ketiga bercirikan pada pembangunan ekonomi didorong sepenuhnya oleh inovasi dengan daya saing tinggi dan teknologi informasi yang canggih, sehingga dibutuhkan tenaga kerja ahli, berpendidikan tinggi, terampil dan kreatif. Singapura merupakan negara ASEAN yang mencapai fase ketiga ini.

Fase pertama pembangunan Indonesia dengan ciri-ciri yang dimiliki tersebut, membawa dampak pada kelemahan kedua ketidaksiapan Indonesia dalam menerapkan MEA, yaitu sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah. Hasil survey yang dirilis menurut Human Development Indexs versi UNDP (United Nation Development Program), kualitas sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat 109 dari 179 negara di seluruh dunia (UNDP:2008). 

Faktor aksesibilitas pada pendidikan formal (sekolah) menjadi penyebab utama rendahnya sumber daya manusia Indonesia. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak dapat akses pada pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi sebagai modal dalam mengembangan keterampilan dan keahlian bagi peserta didik yang akan menjadi output dunia pendidikan kita. Menjadi semakin sulit bila kita mendambakan akses pendidikan untuk semua, karena dunia pendidikan formal kita juga semakin mahal semakin liberal.

Dengan kondisi-kondisi tersebut, negara Indonesia dalam pemberlakuan MEA hanya akan menjadi negara konsumsi, mudah teritervensi oleh negara-negara yang sudah siap secara ekonomi dan regulasi, dan hanya akan menambah penyumbang tenaga kerja murah bagi ASEAN. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun