Mohon tunggu...
Didin Emfahrudin
Didin Emfahrudin Mohon Tunggu... Novelis - Writer, Trainer, Entrepreneur

Penenun aksara yang senantiasa ingin berguna bagi semua makhluk Allah SWT, layaknya Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila: Tafsir Ideologi Negara Paling Relevan

28 Januari 2022   08:56 Diperbarui: 28 Januari 2022   09:08 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak kita akan  flash back ke masa, di mana sebelum dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bapak proklamator Ir. Soekarno pernah berpesan kepada kita semua, para penerus perjuangannya. Bahwa, jangan sekali-kali melupakan sejarah. 

Kita sebagai rakyat merupakan salah satu elemen yang sejatinya adalah sumber daya terpenting bagi melaju atau tidaknya sebuah negara. 

Dari berbagai cerita sejarah dan temuan bukti otentik, membuktikan bahwa manusia Indonesia di masa lampau telah mampu menyelenggarakan sebuah bentuk pemerintahan-pemerintahan dengan berbagai bentuknya. Seperti mendirikan kerajaan, kesultanan, kemarajaan yang telah berperadaban cukup gemilang.

Pancasila sebagai ide dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah dicetuskan oleh para pendiri negara ini bukanlah bersumber dari sesuatu yang baru. Pancasila merupakan pencarian panjang. 

Penggalian paling radikal dan filosofis. Tentang kesemestaan diri manusia-manusia Nusantara dari berbagai masa silam. Terbukti ideologi negara yang sejak pendirian republik di tahun 1945 itu hingga sekarang tetap mampu selaras dengan berbagai tantangan zaman yang dilalui negara ini.

Jika negara ini telah memiliki fondasi tujuan bernegara yang begitu jelas dengan maha karya Pancasila. Lantas mengapa kita rakyat sebagai penyelenggara dan warga negara masa kini masih saja bersikap sebagai sebuah bangsa yang berkarakter 'terjajah'. 

Kalau kita mampu untuk menyelami ideologi negara kita, ternyata di dalam ideologi negara tesebut terdapat sebuah jurus jitu solusi bangsa. 

Solusi tersebut telah diurutkan pada sila pertama hingga sila kelima. Sebuah tahapan untuk mencapai kesejatian hidup manusia Nusantara dalam bermasyarakat dan bernegara.

Kalau ternyata demikian, sebenarnya kita ini telah mempunyai rumusan lengkap. Rumusan ideologi dasar negara yang mampu dipakai untuk menganalisis kesiapan manusia Indonesia. Apakah kita telah siap atau sebenarnya masih juga belum siap. Membangun sebuah negara yang berdasarkan Pancasila. 

Negara Pancasila adalah negara yang benar-benar menjamin kesejaheraan dan kemaslahatan untuk seluruh makhluk yang ada di tanah,  air dan udara Republik Indonesia.

Ataukah, kita semua rakyat republik ini sebenarnya belumlah siap untuk membuat negara yang bertujuan untuk menghantarkan keselamatan hidup seluruh rakyatnya?

Di dalam sila kelima Pancasila. Telah tertulis dengan jelas bahwa tujuan didirikannya sebuah negara merdeka dari berbagai pulau dan suku bangsa di kepulauan Nusantara ini adalah untuk memberikan 'Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Republik Indonesia'. 

Mari kita urai terlebih dahulu. Kenapa harus keadilan sosial bukan keadilan kekayaan ataupun keadilan tahta dan lain sebagainya. 

Landasan itu bisa disimpulkan bahwa hakikat manusia dalam hidup untuk sejahtera tidak selalu harus memiliki kekayaan, jabatan dan kondisi perekonomian bergelimang materi duniawi.

Keadilan sosial adalah manifestasi dari kesejahteraan hidup rakyat yang merdeka. Rakyat yang dapat membangun peradaban luhur tanpa ada tekanan dan diskriminasi. 

Kita semua tahu bahwa sebelum merdeka, manusia Indonesia mengalami penindasan oleh para penjajah yang datang silih berganti selama ratusan tahun. 

Mencerabut kedaulatan manusia Nusantara hingga banyak rakyat kita yang kehilangan jati dirinya sebagai manusia unggul. 

Penjajahan tersebut juga telah mengikis bangunan peradaban tentang kemashuran masa lampau di tanah air ini. Digerus habis hingga kita linglung. Siapa sejatinya manusia Nusantara.

Kemudian dari pada itu, keadilan sosial yang dimaksud dalam sila kelima itu menunjukkan bahwa dalam sebuah negara yang baik dan makmur diperlukan adanya keadilan sosial yang  tidak membedakan kelas sosial dari semua rakyat. Tidak ada perbedaan derajat diantara sesama warga negara. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam negara. Tidak ada perbedaan antara kelas pemerintah dengan kelas warga negara biasa.

Ternyata, untuk mencapai tujuan sila kelima yang bersifat subtansial tersebut, maka di perlukanlah sebuah kerangka formal yang disebut negara. Bangunan negara merupakan penjelmaan dari sila keempat dalam pancasila. 'Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan'.  

Bentuk negara formal disusun untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika kita telaah lebih dalam, sebenarnya dalam sila ini, menuntun agar semua rakyat agar menjadi pemilik kedaulatan sah dari negara. Semua rakyat memiliki hak untuk bermusyawarah. Menentukan seperti apa konsep tata negara kita.

Tentunya sila ke empat ini telah memberi arahan jelas. Bahwa  tidak setiap rakyat harus ikut bermusyawarah langsung secara nasional. 

Dalam sebuah negara tidak semua warga memiliki penghikmatan mendalam ikhwal tata negara dan kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara. Sehingga kepemimpinan negara  diharapkan berasal dari penghikmatan para wakil rakyat, utusan-utusan dan serta para ulama-cendekia. Merekalah yang bertugas bermajelis secara nasional. Tentunya harus memiliki kebijaksanaan dalam agenda penyelenggaraan negara.

Namun hingga detik ini permusyawaratan rakyat yang dimaksudkan untuk mencapai kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara tersebut nampaknya belum sepenuhnya mencapai sila ke empat. 

Sejak orde awal pendirian negara, majelis rakyat selalu terkenal akan perselisihan dan perpecahan yang berkepanjangan. Ini menjadi pekerjaan rumah  besar bagi rakyat. 

Apakah sistem pemilihan wakil rakyat dalam pemilu yang selama ini menjadi ruang aspirasi rakyat dalam permusyawaratan nasional sudah sesuai sila keempat. 

Kita tak bisa menghakimi, wakil rakyat dari mana dan oknum-oknum mana yang benar dan salah. Namun tugas di dalam sila ke empat erat kaitannya dengan wakil rakyat. 

Tentunya sudah saatnya di kaji kembali. Apakah sudah tepat dengan menggunakan sistem pemilu yang sangat bebas seperti saat ini. Karena konsep pemilu kita telah terbukti menjadi industri tersendiri bagi oknum yang memiliki kapital besar.

Untuk membangun negara berdaulat yang berasal dari permusyawaratan seluruh rakyat, ternyata wajib hukumnya bagi rakyat dari suatu negara tersebut bersatu terlebih dahulu. 

Maka dari itu, sebelum mengharapkan tersublimasinya sila ke empat di republik ini. Sekiranya kita selami terlebih dahulu esensi sila ketiga di dalam pancaila. Yakni 'Persatuan Indonesia' . 

Sudahkah seluruh elemen di republik ini mencapai persatuan abadi. Apakah persatuan yang selama ini terlihat dan terdengar hanyalah formalitas belaka. 

Sejarah mencatat, rasa ingin bersatunya seluruh rakyat yang kala itu dimotori para pemuda dari berbagai suku bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara pernah terjadi di tahun 1908. Jauh sebelum republik ini berdiri. 

Momentum persatuan itu akhirnya melahirkan sumpah pemuda. Namun di era millenium ini, persatuan rakyat di republik ini mendapat gempuran dari berbagai kepentingan pihak asing maupun  individu hingga sekelompok rakyat  Indonesia sendiri.

Kita, rakyat Indonesia memang sangatlah kompleks. Di masa awal pendirian, kita adalah hasil dari persatuan suku-suku bangsa, agama, budaya tiap wilayah dan juga ideologi politik bekas kerajaan yang berbeda-beda. Sebelum akhrinya disatukan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Di tambah lagi, di kemudian hari, muncullah berbagai organisasi masyarakat dan partai politik paska kemerdekaan. Namun, bermacam-macam perbedaan tersebut akan semakin mendewasakan rakyat dalam belajar mengahargai perbedaan. Namun di sisi lain, dapat mengancam persatuan dan keutuhan negara. 

Jika para tokoh-tokoh pimpinan dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut tidak lagi memiliki sikap sebagai negarawan pemersatu. Maka bisa dipastikan, jika mereka tak menjunjung tinggi persatuan, maka akan berakibat fatal bagi tercapainya esensi sila ketiga Pancasila.

Untuk mencapai sila ketiga, kita juga tidak bisa mengensampingkan tercapainya sila kedua terlebih dahulu. Yaitu 'Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab'. Persatuan rakyat di suatu negara dapat terwujud jika manusia yang menjadi rakyat negara tersebut berjiwa adil dan beradab. 

Urutan dalam runtutan Pancasila memang sebuah ilham dari Tuhan yang diberikan kepada para perumusnya. Bagaimana tidak, secara lengkap sila demi sila saling merangkai menjadi sebuah paradigma hidup dalam bernegara secara sempurna. Sila kedua ini menjadi syarat sebuah persatuan rakyat.

Sebuah negara dimana rakyat sebelum dapat bersatu menyelenggarakan kedaulatan negara, mereka harus disadarkan terlebih dahulu akan sisi kemanusiwiannya. Manusia yang dapat memahami makna adil untuk kebutuhan pribadi dan sekitar. Manusia yang memiliki adab hidup yang luhur. 

Negara yang bersatu, kuat dan maju pasti memiliki rakyat yang berperadaban ilmu dan akhlak yang tinggi. Hal tersebut dapat terwujud jika rakyat Indonesia telah terdidik dengan baik. Tugas membangun manusia yang beradab di sebuah negeri tidak akan lepas dari semua instrumen yang bekaitan dengan dunia pendidikan dan kebudayaan di negeri ini.

Dalam hal ini, tugas negara dan pendidik bukan hanya memberi pendidikan yang layak secara fisik kepada tiap-tiap rakyat. Lebih dari itu, untuk membangun manusia-manusia yang berkeadaban bukanlah hanya memfasilitasi proses pendidikan secara mewah dan canggih sarana dan prasarananya. 

Dalam sistem pendidikan yang sesuai sila kedua ini, seharusnya lebih mengutamakan pembangunan karakter dan mental manusianya. Jika manusia sudah memiliki karakter yang baik, maka langkah membangun manusia yang produktif dalam memberikan sumbangsih pada pembangunan peradaban akan lebih mudah.

Kembali pada Pancasila. Kenapa pembangunan manusia yang adil dan beradab pada Pancasila itu ditempatkan pada urutan kedua. Padahal sumber daya manusia adalah poros kekuatan utama dalam sebuah negara fisik. 

Para tokoh penggagas ide dasar negara kita pastinya meyakini, bahwa segala ritme kehidupan berbangsa dan bernegara tak akan lepas dari sila pertama Pancasila. 

Ialah 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sedari awal, keberaada an peradaban manusia yang mendiami  tanah air ini, sejak era kerajaaan-kerajaan Nusantara, era-era penjajahan hingga era dimana manusia Indonesia akhirnya bisa membentuk kembali negara yang berdaulat adalah karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Maka mulai dari sila kelima hingga sila kedua, muara dari ide dasar negara adalah di sila pertama Pancasila. Jika di sila kedua menginginkan rakyat Indonesia bisa adil dan beradab, maka, kuncinya kita semua harus mengetahui hubungan kita dengan sang pencipta. 

Konsepsi negara yang memasukkan Tuhan dalam dasar pendirian negara ini bukan saja hanya untuk mengakomodir berbagai agama. 

Bukan pula hanya untuk membentengi tuduhan negara sekuler. Budaya masyarakat Indonesia dalam meyakini kuasa sang penciptanya telah ada bahkan sebelum masuknya agama-agama yang sah sekarang ke negeri ini.

Keyakinan adanya sang pencipta Yang Maha Esa tersebut telah lazim diyakini oleh masyarakat Indonesia. Dengan mengenal ke-Esa-an sang pencipta, maka manusia akan mengenal tugasnya. Kenapa kita ditugaskan di bumi ini. Apakah hanya untuk menikmati segala kekayaan alam dan kemenangan perangkah? Tentu saja buka. Selain sebagai hamba untuk Tuhan, manusia sejatinya memiliki peran sebagai pemimpin untuk alam sekitarnya. Tanah, air dan udara yang diamanahkan di bumi Nusantara ini selayaknya dikelola secara bijaksana.

Dengan sila pertama ini, rakyat Indonesia dijamin kebebasannya untuk memilih agama dan meyakini Tuhan-nya. Setiap rakyat yang masih meyakini Tuhan, ia pasti akan sadar akan kelemahannya sebagai manusia. Negara pun akan damai jika manusianya menjalankan aturan agamanya masing-masing. 

Karena setiap agama pasti menganjurkan penganutnya untuk menjadi manusia yang beradab. Sila pertama ini ada bukan bermaksud menjadikan negara ini menjadi negara agama. Namun negara yang menjamin rakyatnya ber-Tuhan dan beragama. Negara yang tak melepaskan kuasa Tuhan bagi keberlangsungan negara.

Untuk terus menjaga keutuhan dan kebangkitan negara ini di masa depan, sebenarnya di negeri ini perlu dibuatkan sebuah majelis atau lembaga tinggi negara khusus bagi para pemimpin agama-agama yang telah teruji sebagai negarawan. Misalkan bernama Lembaga Tata Agama Negara. Merka bukan dibawah kementrian agama. Melain merekalah yang merumuskan kerja kementrian agama. 

Majelis ini setara dengan kepala negara dan dapat saling bekerjasam dalam menjaga perdamaian. Mereka yang sudah terbukti dalam menghayati serta mengimplementasikan sila pertama Pancasila dalam hidupnya. 

Majelis pemimpin agama-agama yang ada di negeri ini memiliki tugas khusus untuk membantu penyelenggara negara. Karena pada dasarnya, doktrin yang disampaikan para pemuka agama akan lebih cepat diyakini dan dilaksanakan oleh umatnya. 

Maka pemimpin agama dan pemimpin negara harus selalu beriringan untuk bersinergi dalam mencapai tujuan bernegara dan beragama secara damai dan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun