Mohon tunggu...
DIDIK FADILAH
DIDIK FADILAH Mohon Tunggu... Lainnya - a life-long learner

“Ikatlah ilmu dengan tulisan”.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Perjalanan Kehidupan di Era 90-an yang Tak Terlupakan

10 Maret 2024   14:53 Diperbarui: 25 Maret 2024   11:42 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu, awal tahun 90-an, umur saya masih 7 tahunan. Kampung Kubengan adalah tempat saya dilahirkan dengan bantuan ema beurang di dalam rumah, Umi sendiri yang melahirkan katanya, tepatnya desa Bojongkalong, kecamatan Nyalindung, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Karena pada waktu dilahirkan, saya tidak ingat kapan, bapa sayalah yang telah berjasa mencatat dan memberitahu bahwa saya telah dilahirkan pada tahun 1983, bulan Maret, tanpa sedikitpun salah ketik.

Tanggal lahir itu ditulis bukan di buku melainkan di bagian belakang lemari. Bagian depannya menghadap ruang tamu sedangkan bagian belakang menghadap ruang tengah. Meskipun kami lihat tiap hari tanggalnya namun tidak pernah sama sekali merayakannya. Lemari itu berfungsi ganda, sebagai penyekat ruangan, penyimpan gelas, piring dan pakaian. Bapa punya pemikiran yang cerdas, katanya, “Kalau ditulis di lemari, tidak mungkin hilang, terselip, lupa, atau salah menyimpan”. Saya bangga kepadanya.

Namun anehnya pada saat lulus sekolah dasar, tanggal lahir dan bulan berbeda dengan yang tertulis di ijazah. Pernah terlintas hasrat ingin mengubahnya. Ini berarti akan mengubah dokumen keseluruhannya, mulai dari SD, SMP sampai SMA. Hanya membayangkannya saja, betapa prosesnya akan sangat merepotkan. Jangankan mengubah tanggal ijazah secara keseluruhan, mengubah satu huruf saja di Kartu Keluarga(KK) yang disebabkan salah ketik petugas, ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup, malah petugasnya sendiri lebih dulu pensiun silih berganti, dokumen yang salah belum kunjung diperbaiki.

saya hidup di dua alam, bukan amfibi, tapi hidup di alam yang berbeda hawa, yaitu sukabumi yang punya hawa sejuk dan dan bekasi yang punya hawa panas. Pernah menginjakkan kaki di Amsterdam dan Warsawa. Kaki saya sendiri.

Bahasa Ibu atau mother language saya Sunda, bapa juga, paman dan seluruh keluarga, Sunda. Bahasa Kedua saya, Bahasa Indonesia, Bahasa ketiga, keempat, kelima dan keenam ialah Bahasa Inggris, Polandia, Mandarin dan Korea. 

Sekarang sedang mempelajari Bahasa Spanyol karena ponakan saya kerja di Meksiko, takut saya ditanya "perlu ditranfer berapa Mang ?", saya langsung bisa menjawabnya. 

Saya cukup percaya diri, atau bisa dibilang menguasai bahasa tersebut meskipun tingkat kefasihannya masih beberapa persen dan kadang hanya bisa menjawab iya dan tidak.

Listrik pada waktu itu awal tahun 90an belum masuk, gelap gulita keadaan kampung pada malam hari, hanya lampu cempor yang menggantung di dinding yang memberi penerangan di dalam rumah.

Kalau ada informasi penting dari negara untuk rakyat maka Bapak Harmokolah yang akan berpidato, menyampaikan pengumuman resmi lewat stasiun TVRI sebagai Menteri Penerangan. Dia selalu mengenakan peci hitam.

Jika pulang dari mengaji, saya bawa colen atau obor yang dibuat dari  satu ruas bambu, bukan satu pohon, lalu diisi minyak tanah dan sumbunya dari sobekan kain sarung yang tentunya bukan baru tapi kondisinya bekas yang sudah lama tidak terpakai.

Di kampung saya waktu itu, pesawat televisi saja hanya ada satu, satu orang yang punya, satu stasiun TVRI dan masih hitam putih warnanya.

Saat itu, keluarga saya termasuk ke dalam keluarga yang belum punya televisi, hanya radio 2 bandlah yang jadi hiburan setiap hari.

Kebiasaan yang dilakukan di sore hari adalah mendengarkan dogeng yaitu cerita serial berbahasa sunda yang dibawakan oleh Mang Dina Mara di stasiun Radio Fortuna dan Mang Dedi Mulyadinata di Radio Menara lalu dilanjutkan pada malam harinya dongeng dengan judul "Si Rawing" yang dibawakan oleh Wa Kepoh.

Kalimat pembuka untuk memulai yang selalu saya ingat "wilujeng ngadangukeun pamiarsa" yang artinya selamat mendengarkan pemirsa, dan pada saat di penghujung waktu , tiba-tiba "eu.....hhhh waktosna teu nyekapan pamiarsa" yang artinya waktunya tidak cukup pemirsa. itu adalah kalimat terakhir yang mungkin sengaja memotong cerita yang sedang berlangsung, sehingga cerita jadi menggantung. Itu membuat saya terus penasaran setiap hari apa cerita selanjutnya yang akan terjadi. Tiap Hari, tak satu pun episode terlewati.

Sabtu malam minggu adalah waktu yang kami pasti tunggu sekeluarga seminggu sekali yaitu acara musik dangdut aneka ria safari. Saya sekeluarga tidak pernah telat sedikitpun, begitu pula para tetangga sudah dipastikan hadir sebelum acara TV dimulai. Rumahnya jadi penuh berdesakan oleh semua tetangga yang hadir yang ingin numpang menonton televisi. Saya tidak tahu persis perasaan yang punya, apakah senang atau kesal dengan kedatangan kami. Padahal mudah saja untuk mengusir, yaitu dengan cukup memasang wajah yang tak ramah saja, pasti kami semua tidak akan datang lagi. Namun saudara jauh kami itu tidak hanya keadaan rumahnya yang selalu penuh, tapi dia menyambut kami dengan penuh senyum, ramah dan murah hati.

Ketika mendengar ada kabar bahwa pada hari minggu itu ada pertandingan tinju di televisi, bapa dan paman saya yang seharusnya hari itu mencangkul di sawah mendadak menunda pergi, hanya untuk menonton acara itu.

Mike Tyson adalah petinju favorit yang selalu kami tunggu, sebelum acaranya dimulai, kami semua harus rela menunggu berjam-jam menonton pertandingan pembuka yang bukan kami tidak tunggu dan biasanya pertandingannya berakhir dengan kalah poin yang berlangsung dalam 12 ronde.

Dan tibalah saatnya yang paling ditunggu. Detik-detik pertandingan dimulai adalah sesuatu yang mendebarkan. Semua telinga di pasang, keinginan untuk kencing ditahan, semua mata tertuju pada layar kaca. Jika ada anggota keluarga yang datang untuk meminta pulang pasti ditolak mentah-mentah, tidak akan dipedulikan.

Tapi kami langsung kecewa, karena yang paling ditunggu itu cuma beberapa detik saja kami tonton, pertandingan langsung berakhir di ronde pertama. Mike Tyson langsung mengalahkan lawannya dalam hitungan menit dan pernah juga meng-KO dalam waktu 30 detik. Dia langsung melayangkan tinjunya, lawannya jatuh , KO, tidak berkutik dan tidak sanggup melanjutkan pertandingan. Meski begitu, kami pulang dengan hati puas karena jagoan kami menang.

Sinetron yang kami tonton adalah Sengsara Membawa Nikmat yang ditayangkan di TVRI pada tahun 1991. Sinetron ini diangkat dari sebuah novel Tulis Sutan Sati. Pemain utamanya Desy Ratnasari, Septian Dwi Cahyo dan Sandy Nayoan.

Setiap tahun tanggal 30 september diputar Film G30S PKI, film ini sebagai tontonan rutinitas tahunan. Meski saya tidak suka melihat adegan penyiksaan di dalamnya tetapi saya tetap menontonnya selama 4 jam setengah sampai film selesai.

Setelah sekian lama saya bermimpi punya tv, akhirnya yang diimpikan jadi kenyataan, bapa telah membelinya dari Jakarta.

Untuk menangkap sinyal TV maka perlu antena, lantas bapa cari pohon bambu untuk dijadikan tiang. Antena dan tidak lupa juga booster yaitu alat penguat sinyal dipasang bersama-sama pada tiang.

Berharap layar televisi langsung muncul dengan jelas. Namun apa yang terjadi, gambar di layar TV tidak kunjung muncul, hanya ada warna putih saja ketika dinyalakan. Padahal tiangnya sudah cukup tinggi, satu pohon bambu panjangnya puluhan meter. Sudah diputar ke kanan dan ke kiri 360 derajat juga posisi tiangnya juga sudah digeser berpindah-pindah tempat tetapi gambar yang muncul hanya bayang-bayang. 

Bapa yang bertugas memutar tiang hampir putus asa dan kehabisan suara, sebab dipakai berteriak dari luar rumah, 

“tos can”(artinya sudah belum?), 

tak terhitung jawaban yang saya terikan, 

“teu acaaann, eh ntos, eh teu acan, awon deui” 

(artinya : belum, eh udah, eh belum, jelek lagi) sambil memutar-mutar tuas tuning manual pencari sinyal.

Bunyi yang terdengar hanya suara gemerosok dengan keadan gambar di layar masih berbayang. Setelah beberapa hari berpindah-pindah tempat  posisi tiang antena dan tiangnya dipotong menjadi lebih pendek, akhirnya gambar di layar mulai kelihatan jelas namun tidak begitu jernih masih ada noise menyerupai semut hitam, kami gembira bukan main.

Jika aki sudah soak maka warna hitam di sisi atas dan bawah layar berangsur menutup layar sehingga gambar di layar mengecil seperti garis horizontal. Jika itu terjadi berarti aki harus segera disetrum sampai daya terisinya kembali. Biasanya aki diisi mulai jumat sore sampai besok pagi, sabtu siangnya kami bawa pulang lagi.


Bibi saya waktu itu kerja di negara Arab saudi. Untuk menanyakan kabar, kami saling berkirim surat, ditulis tangan bukan diketik, dimasukan ke amplop putih yang ada tulisanya "Air Mail" yang pinggirnya berwarna garis biru dan merah.

Di antara anggota keluarga hanya bapa yang dianggap paling tahu cara kirim surat ke luar negeri. saya diajak oleh bapa pergi ke kantor pos di kota. Bapa membeli perangko lalu menempelkannya di amplop surat terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kotak pengiriman.

Harap-harap cemas kami menunggu kabar kembali surat balasan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Ketika ada kabar datang surat balasan, alangkah senang dan gembiranya hati kami, amplopnya dibuka dan saya diperintah untuk membacanya dengan keras, sementara anggota keluarga semuanya mendengarkan dengan seksama. Isi suratnya mengabarkan bahwa dia di sana dalam keadaan sehat wal afiat pada waktu surat itu ditulis.  Dia juga menanyakan kabar anggota keluarga dan meminta foto anaknya beserta keluarga yang ditinggalkan.

Kami menantikan tukang foto keliling, biasanya datang seminggu sekali. Ketika tukang foto sudah datang, kami sekeluarga segera ganti pakaian. Baju satu-satunya di lemari yang kami sebut baru, bukan berarti benar-benar baru beli tetapi karena jarang dipakai. Biasanya untuk beli baju baru itu setahun sekali pada saat lebaran idul fitri dan dipakainya jika bepergian jauh ke kota atau ada acara hajatan tetangga.

Seminggu kemudian kami terima fotonya. Kami gembira, tidak sabar ingin segera melihat hasilnya, tentu yang ingin dilihat pertama kali adalah wajah sendiri bukan wajah orang lain. Posisi kepala, badan dan tangan tegak lurus seperti tiang bendera, berdiri berjejer seperti pasukan paskibra.

Pernah suatu waktu kejadian, mulai dari pose, dandanan rapi, kami sudah bergaya habis-habisan, penampilan terbaik sudah dikeluarkan, kami merasa seperti grup band yang mempersembahkan karya terakhir kepada para penggemar untuk terakhir kalinya. Namun nasib sial menimpa, kami berkedip serentak  secara tidak sengaja saat cahaya blitz kamera menyala, akibatnya mata kami dalam keadaan terpejam semua. 


Main Kelereng atau dalam bahasa sunda “ngadu kaleci” adalah termasuk ke dalam permainan anak laki-laki. Bila Musim hujan, membuat saku celana selalu kotor.

Ngadu Kaleci itu mengajarkan fokus dan konsentrasi tinggi untuk membidik kelereng lawan.

Selanjutnya adalah main layangan, kalau dalam bahasa sunda adalah maen langlayangan, kami anak-anak laki waktu itu bukan hanya jago memainkannya tapi mampu membuatnya sendiri, mulai dari membuat arku, memasang benang, kertas sampai gelasan yaitu benang tajam untuk ngadu layangan.

Namun tidak jarang layangan yang dibuat oleh para pemula bergerak berputar ke kiri atau ke kanan terus, atau sebaliknya tidak mau berputar ke kiri maupun ke kanan ketika dimainkan. Saya jujur waktu itu pernah nekad mencoba membuatnya. Teman saya waktu itu mencoba menasehati, "ini perlu bakat khusus, harus punya keahlian tingkat tinggi", dan benar, hasilnya terbukti gagal.

Dia menegaskan, "kalo ada yang punya layangannya banyak di rumah dan dia tidak pernah keliahatan beli di warung, yang jelas, pasti bukan orang sembarangan".

Bagi yang tidak punya kemampuan membuat layangan dan juga tidak punya uang untuk beli, wajib punya kekuatan untuk berlari. Megat langlayangan ialah menunggu layangan terputus dari pemain yang kalah yang sedang ngadu layangan.  Jika ada  layangan yang putus, maka teman saya langsung lari mengejar, menangkapnya.

Main egrang, kami sebut jajangkungan atau jangkung yang berarti tinggi. Terbuat dari dua pasang tongkat bambu dengan pijakan kaki. Cara mainnya dengan cara berkompetisi lari, beradu cepat. Atau lomba menjatuhkan lawan dengan menggunakan kaki bambu.

Hobi kami yang lainya ialah membuat ketapel, bahasa sundanya bandring, dibuat dari ranting pohon. Ranting bentuknya mirip huruf Y, Kami ukir, dipasang tali dan karet. Gunanya bukan untuk menembak burung melainkan hanya untuk pamer saja, digantungkan di leher, dibawa kemana-mana, kami merasa punya senjata. Pernah suatu hari, ada buah punya tetangga yang terkenal pelit, sudah kelihatan matang di pohonnnya, saatnya senjata kami digunakan. Itulah salah satu kenakalan yang tersembunyi anak laki-laki.

Membuat mainan pesawat terbang. Kertas dilipat sedemikian rupa mirip pesawat terbang, sebelum diterbangkan harus didekatkan ke mulut terlebih dahulu untuk diberi napas "hah". Entahlah, memang harus begitu? itu menjadi pertanyaan yang belum ketemu jawabannya sampai sekarang.


Permainan anak perempuan waktu itu adalah main lompat tinggi dengan cara melewati karet gelang dibuat menyambung panjang seperti tali. Dua Orang memegang kedua ujungnya. Tinggi yang akan dilewati mulai dari lutut sampai atas kepala. Meski anak-anak perempuan ini pakai rok tapi mereka bisa lompat begitu tinggi.

Main gambar, biasanya ini permainan anak laki-laki. Cara mainnya seperti main kartu, dikocok, barang siapa yang mengambil tumpukan kartu tersebut dengan angka paling besar, dialah yang menang, atau cara lainnya dengan melemparkan gambar yang dimainkan tersebut ke atas, barangsiapa yang gambar itu jatuh ke bawah dengan posisi gambarnya menghadap ke atas, maka dialah yang menang. Saya sering kali menang,pulang dengan hati senang tapi sebaliknya umi marah karena gambar bertumpuk dan berserakan tidak karuan.

Kalau diperhatikan di bagian belakang gambar ini ternyata berisi edukasi, yaitu ada gambar tanda-tanda rambu lalu lintas diantaranya huruf S , huruf P, gambar panah dan lainnya. Tentunya saya sudah hapal di luar kepala dan seharusnya tidak pernah masuk ke dalam daftar pelanggar di jalan raya. Sebagai pengendara mestinya disiplin dan punya kesadaran tinggi untuk mematuhi bukan karena ada polisi yang mengawasi.

Begitulah kisah yang diceritakan dari pengalaman hidup tahun 90an. Itu hanya sebagian, kalau semua, waktunya pasti tidak cukup.

Dan sepertinya tak kan pernah ada habisnya diceritakan, kalau tidak dihabiskan.

Ini adalah tulisan saya asli, dengan sadar diketik sendiri tanpa paksaan, tekanan ataupun bantuan dari pihak manapun, khusus untuk dibaca sendiri tetapi jika ada yang ingin ikut baca, silahkan, saya ijinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun