Bibi saya waktu itu kerja di negara Arab saudi. Untuk menanyakan kabar, kami saling berkirim surat, ditulis tangan bukan diketik, dimasukan ke amplop putih yang ada tulisanya "Air Mail" yang pinggirnya berwarna garis biru dan merah.
Di antara anggota keluarga hanya bapa yang dianggap paling tahu cara kirim surat ke luar negeri. saya diajak oleh bapa pergi ke kantor pos di kota. Bapa membeli perangko lalu menempelkannya di amplop surat terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kotak pengiriman.
Harap-harap cemas kami menunggu kabar kembali surat balasan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.
Ketika ada kabar datang surat balasan, alangkah senang dan gembiranya hati kami, amplopnya dibuka dan saya diperintah untuk membacanya dengan keras, sementara anggota keluarga semuanya mendengarkan dengan seksama. Isi suratnya mengabarkan bahwa dia di sana dalam keadaan sehat wal afiat pada waktu surat itu ditulis. Dia juga menanyakan kabar anggota keluarga dan meminta foto anaknya beserta keluarga yang ditinggalkan.
Kami menantikan tukang foto keliling, biasanya datang seminggu sekali. Ketika tukang foto sudah datang, kami sekeluarga segera ganti pakaian. Baju satu-satunya di lemari yang kami sebut baru, bukan berarti benar-benar baru beli tetapi karena jarang dipakai. Biasanya untuk beli baju baru itu setahun sekali pada saat lebaran idul fitri dan dipakainya jika bepergian jauh ke kota atau ada acara hajatan tetangga.
Seminggu kemudian kami terima fotonya. Kami gembira, tidak sabar ingin segera melihat hasilnya, tentu yang ingin dilihat pertama kali adalah wajah sendiri bukan wajah orang lain. Posisi kepala, badan dan tangan tegak lurus seperti tiang bendera, berdiri berjejer seperti pasukan paskibra.
Pernah suatu waktu kejadian, mulai dari pose, dandanan rapi, kami sudah bergaya habis-habisan, penampilan terbaik sudah dikeluarkan, kami merasa seperti grup band yang mempersembahkan karya terakhir kepada para penggemar untuk terakhir kalinya. Namun nasib sial menimpa, kami berkedip serentak secara tidak sengaja saat cahaya blitz kamera menyala, akibatnya mata kami dalam keadaan terpejam semua.
Main Kelereng atau dalam bahasa sunda “ngadu kaleci” adalah termasuk ke dalam permainan anak laki-laki. Bila Musim hujan, membuat saku celana selalu kotor.
Ngadu Kaleci itu mengajarkan fokus dan konsentrasi tinggi untuk membidik kelereng lawan.
Selanjutnya adalah main layangan, kalau dalam bahasa sunda adalah maen langlayangan, kami anak-anak laki waktu itu bukan hanya jago memainkannya tapi mampu membuatnya sendiri, mulai dari membuat arku, memasang benang, kertas sampai gelasan yaitu benang tajam untuk ngadu layangan.
Namun tidak jarang layangan yang dibuat oleh para pemula bergerak berputar ke kiri atau ke kanan terus, atau sebaliknya tidak mau berputar ke kiri maupun ke kanan ketika dimainkan. Saya jujur waktu itu pernah nekad mencoba membuatnya. Teman saya waktu itu mencoba menasehati, "ini perlu bakat khusus, harus punya keahlian tingkat tinggi", dan benar, hasilnya terbukti gagal.