Setiap tahun tanggal 30 september diputar Film G30S PKI, film ini sebagai tontonan rutinitas tahunan. Meski saya tidak suka melihat adegan penyiksaan di dalamnya tetapi saya tetap menontonnya selama 4 jam setengah sampai film selesai.
Setelah sekian lama saya bermimpi punya tv, akhirnya yang diimpikan jadi kenyataan, bapa telah membelinya dari Jakarta.
Untuk menangkap sinyal TV maka perlu antena, lantas bapa cari pohon bambu untuk dijadikan tiang. Antena dan tidak lupa juga booster yaitu alat penguat sinyal dipasang bersama-sama pada tiang.
Berharap layar televisi langsung muncul dengan jelas. Namun apa yang terjadi, gambar di layar TV tidak kunjung muncul, hanya ada warna putih saja ketika dinyalakan. Padahal tiangnya sudah cukup tinggi, satu pohon bambu panjangnya puluhan meter. Sudah diputar ke kanan dan ke kiri 360 derajat juga posisi tiangnya juga sudah digeser berpindah-pindah tempat tetapi gambar yang muncul hanya bayang-bayang.
Bapa yang bertugas memutar tiang hampir putus asa dan kehabisan suara, sebab dipakai berteriak dari luar rumah,
“tos can”(artinya sudah belum?),
tak terhitung jawaban yang saya terikan,
“teu acaaann, eh ntos, eh teu acan, awon deui”
(artinya : belum, eh udah, eh belum, jelek lagi) sambil memutar-mutar tuas tuning manual pencari sinyal.
Bunyi yang terdengar hanya suara gemerosok dengan keadan gambar di layar masih berbayang. Setelah beberapa hari berpindah-pindah tempat posisi tiang antena dan tiangnya dipotong menjadi lebih pendek, akhirnya gambar di layar mulai kelihatan jelas namun tidak begitu jernih masih ada noise menyerupai semut hitam, kami gembira bukan main.
Jika aki sudah soak maka warna hitam di sisi atas dan bawah layar berangsur menutup layar sehingga gambar di layar mengecil seperti garis horizontal. Jika itu terjadi berarti aki harus segera disetrum sampai daya terisinya kembali. Biasanya aki diisi mulai jumat sore sampai besok pagi, sabtu siangnya kami bawa pulang lagi.