Jika pulang dari mengaji, saya bawa colen atau obor yang dibuat dari satu ruas bambu, bukan satu pohon, lalu diisi minyak tanah dan sumbunya dari sobekan kain sarung yang tentunya bukan baru tapi kondisinya bekas yang sudah lama tidak terpakai.
Di kampung saya waktu itu, pesawat televisi saja hanya ada satu, satu orang yang punya, satu stasiun TVRI dan masih hitam putih warnanya.
Saat itu, keluarga saya termasuk ke dalam keluarga yang belum punya televisi, hanya radio 2 bandlah yang jadi hiburan setiap hari.
Kebiasaan yang dilakukan di sore hari adalah mendengarkan dogeng yaitu cerita serial berbahasa sunda yang dibawakan oleh Mang Dina Mara di stasiun Radio Fortuna dan Mang Dedi Mulyadinata di Radio Menara lalu dilanjutkan pada malam harinya dongeng dengan judul "Si Rawing" yang dibawakan oleh Wa Kepoh.
Kalimat pembuka untuk memulai yang selalu saya ingat "wilujeng ngadangukeun pamiarsa" yang artinya selamat mendengarkan pemirsa, dan pada saat di penghujung waktu , tiba-tiba "eu.....hhhh waktosna teu nyekapan pamiarsa" yang artinya waktunya tidak cukup pemirsa. itu adalah kalimat terakhir yang mungkin sengaja memotong cerita yang sedang berlangsung, sehingga cerita jadi menggantung. Itu membuat saya terus penasaran setiap hari apa cerita selanjutnya yang akan terjadi. Tiap Hari, tak satu pun episode terlewati.
Sabtu malam minggu adalah waktu yang kami pasti tunggu sekeluarga seminggu sekali yaitu acara musik dangdut aneka ria safari. Saya sekeluarga tidak pernah telat sedikitpun, begitu pula para tetangga sudah dipastikan hadir sebelum acara TV dimulai. Rumahnya jadi penuh berdesakan oleh semua tetangga yang hadir yang ingin numpang menonton televisi. Saya tidak tahu persis perasaan yang punya, apakah senang atau kesal dengan kedatangan kami. Padahal mudah saja untuk mengusir, yaitu dengan cukup memasang wajah yang tak ramah saja, pasti kami semua tidak akan datang lagi. Namun saudara jauh kami itu tidak hanya keadaan rumahnya yang selalu penuh, tapi dia menyambut kami dengan penuh senyum, ramah dan murah hati.
Ketika mendengar ada kabar bahwa pada hari minggu itu ada pertandingan tinju di televisi, bapa dan paman saya yang seharusnya hari itu mencangkul di sawah mendadak menunda pergi, hanya untuk menonton acara itu.
Mike Tyson adalah petinju favorit yang selalu kami tunggu, sebelum acaranya dimulai, kami semua harus rela menunggu berjam-jam menonton pertandingan pembuka yang bukan kami tidak tunggu dan biasanya pertandingannya berakhir dengan kalah poin yang berlangsung dalam 12 ronde.
Dan tibalah saatnya yang paling ditunggu. Detik-detik pertandingan dimulai adalah sesuatu yang mendebarkan. Semua telinga di pasang, keinginan untuk kencing ditahan, semua mata tertuju pada layar kaca. Jika ada anggota keluarga yang datang untuk meminta pulang pasti ditolak mentah-mentah, tidak akan dipedulikan.
Tapi kami langsung kecewa, karena yang paling ditunggu itu cuma beberapa detik saja kami tonton, pertandingan langsung berakhir di ronde pertama. Mike Tyson langsung mengalahkan lawannya dalam hitungan menit dan pernah juga meng-KO dalam waktu 30 detik. Dia langsung melayangkan tinjunya, lawannya jatuh , KO, tidak berkutik dan tidak sanggup melanjutkan pertandingan. Meski begitu, kami pulang dengan hati puas karena jagoan kami menang.
Sinetron yang kami tonton adalah Sengsara Membawa Nikmat yang ditayangkan di TVRI pada tahun 1991. Sinetron ini diangkat dari sebuah novel Tulis Sutan Sati. Pemain utamanya Desy Ratnasari, Septian Dwi Cahyo dan Sandy Nayoan.