"Hanya, kok ya Asih belum juga merasa siap."
"Kesiapan apalagi, Asih? Sebagai wanita, kamu telah cukup mapan dengan keadaanmu sekarang. Kamu punya titel. Kamu juga punya karir."
"Entahlah, Bu. Asih sendiri tidak tahu."
"Lho?" Ibu masih menatapku.
Aku mengalihkan kembali pandangan. Ke langit biru. Kuhela nafas dalam-dalam.
"Atau, kau masih mengharapkan Tirta?"
Ah, Ibu. Kenapa kau harus menyebut nama itu? Bahkan aku sendiri tidak tahu apakah Tirta masih juga mengharapkanku.
Meski, memang benar. Keenggananku untuk menjalin hubungan dengan lelaki, untuk membina rumah tangga selama ini, karena memang di dalam hatiku, masih mengganjal bayang Tirta, lelaki yang telah lebih dari empat tahun aku 'tinggalkan' namun juga masih kucintai.
"Benar, kan, Sih?"
"Tapi, mungkinkah, Bu?" kini balik aku yang bertanya. Entahlah. Tiba-tiba kalimat itu menyeruak dari dalam diriku. Seperti kerinduan itu yang tiba-tiba saja muncul.
Ah, Tirta. Andai waktu bisa diputar kembali.