Apa yang disampaikan Wiji Thukul, penyair yang memang kerap menulis dan membacakan sajak-sajak politik, yang juga seorang aktivis, tidak lebih adalah unek-unek dan realitas kejenuhan yang dirasakan masyarakat pada umumnya, sekaligus peringatan (terhadap penguasa) tentang apa yang bakal terjadi dan dilakukan masyarakat jika kejenuhan itu sudah mencapai puncaknya.Â
Namun apa yang didapatkan Thukul? Sepanjang waktu selama aktivitasnya berpolitik sebagai penyair, ia diburu oleh penguasa, bahkan keluarganya pun kerap diintimidasi. Hingga akhirnya, Thukul (di)hilang(kan) entah kemana. Hingga hari ini, belum ditemukan rimba atau kuburannya.
Saksi Sejarah
Setali tiga uang dengan Thukul, adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan, yang hampir sepanjang hidupnya selama Orde Baru berkuasa, Â menghabiskan hidupnya dalam penjara dan intimidasi penguasa.Â
14 tahun Pram dipenjara sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan, berpindah-pindah dari Nusakambangan hingga ke Pulau Buru, hingga kemudian dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah[3]. Toh, bukan kemudian Pram mendapatkan kebebasan sebagaimana mestinya. Tetap saja ia tidak boleh kemana-mana alias menjadi tahanan kota.
Pram merupakan saksi sejarah yang aktif merekam dan sekaligus menyisipkan gagasan-gagasan politik dan kemanusiaan ke dalam karya-karya tulisnya. Meski berada di penjara, ia tidak pernah kendor bersuara.
Perlawanan Politik
Karya-karya seni (yang bertajuk politik) pada awalnya memang hadir sebagai kritik dan atau gagasan. Namun, ketika kemudian kritik dan gagasan-gagasan tersebut diabaikan atau bahkan dibungkam, bukannya kemudian menjadi diam, seniman pun akan lebih giat melakukan perlawanan.Â
Dari sekian seniman yang giat melakukan perlawanan tersebut, adalah Rendra. Iwan Fals melalui sebuah lagu yang judulnya diambil dari nama panggilan Rendra, yaitu Willy, menggambarkan sosok seniman tersebut seperti anjing liar yang gonggongannya keras menghantam cadas atau seperti kuda binal yang ringkikannya genit memaki onar atau seperti elang yang matanya menyorot tajam membelah malam.Â
Iwan Fals memang tidak berlebihan. Kehadiran Rendra memang kerap membuat bising dan geram penguasa. Konon, Mastodon dan Burung Kondor, sebuah drama yang naskahnya ditulis sendiri oleh Rendra yang kemudian diperankan dan disutradarai sendiri olehnya, pementasannya sempat turut memicu terjadinya aksi massa besar-besaran di Jakarta pada tahun 1974 menentang modal Jepang yang berujung kerusuhan, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka limabelas Januari)[4].
 Dan hingga akhir hayatnya, Rendra tetap juga bersuara lantang mengabarkan kemiskinan dan kesenjangan sosial, menetang ketidakadilan, baik melalui pementasan-pementasan teaternya, maupun puisi-puisi dan karya-karyanya yang lain. Dan, seperti halnya Pram dan Thukul, Rendra pun tak luput dari intimidasi hingga dipenjara.