Mohon tunggu...
Didik Agus
Didik Agus Mohon Tunggu... Mahasiswa - menulislah maka kamu akan dikenang

arabic language and literature

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biografi KH Mahsun Gresik, Pemikirannya dan Pesan-pesan Beliau Sebelum Wafat

21 Februari 2022   19:45 Diperbarui: 21 Februari 2022   20:00 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya", pepatah melayu yang mungkin bisa menggambarkan kedekatan anak dengan orang tuanya dalam hal apapun.

            KH Mahsun lahir di Banyuurip, Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur pada tahun 1949 M. Mahsun adalah putra ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asdiq (serapan dari Bahasa arab ash shiddiq) dan Saudah. Mahsun kecil ditinggal oleh ibunya ketika berusia 11 tahun sedangkan ibunya waktu itu berumur 29 tahun. Asdiq kemudian menikah lagi dan dikaruniai dua putra. Namun, karakter istri ke-2 yang keras ini membuat Asdiq merasa tidak cocok dengannya sehingga Asdiq pun memutuskan untuk firoq/cerai. Merasa anaknya membutuhkan sosok ibu yang baik hati Asdiq kemudian menikah dengan Alika. Alika adalah orang yang sangat baik, sehingga mahsun merasa menemukan gambaran wanita sholihah dan sosok ibu yang ideal. Hal yang istimewa dari Alika adalah beliau selalu berada di depan pintu untuk menyambut suaminya. Selain itu, Alika juga tidak pernah makan bersama suaminya, melainkan Alika menunggu piring bekas makan suaminya kemudian beliau pakai untuk makan, dengan kata lain, satu piring untuk berdua.

            Asdiq adalah lurah di desanya. Beliau menjabat sebagai lurah lebih dari 25 tahun. Bahkan beliau rela menjual tanah pribadinya untuk menutupi kekurangan pajak warga ketika itu.

            Rasa nyaman yang dirasakan mahsun kepada ibu ke-3nya ini membuat mahsun berani mengungkapkan kepada ayahnya bahwa mahsun ingin mondok kepada mbah Maksum Lasem. Masyarakat yang sudah banyak mondok kepada mbah Maksum juga mempengaruhi keinginginan mahsun. Mahsun juga mulai mengagumi mbah Maksum ketika beliau mengungsi ke desanya pada saat gencarnya peristiwa PKI tahun 1965.

            Tanggapan ayahnya ketika itu begini," apa yang akan kamu pakai sebagai ganti biayamu itu?". Mashun pun ketika itu merasa down mendengar jawaban ayahnya. Akhirnya Alika pun membujuk suaminya dan akhirnya Asdiq diperbolehkan mondok kepada mbah Maksum Lasem.

            Mashun nderek di pondok pesantren Al Hidayah asuhan mbah Maksum Lasem selama 3 tahun. Ketika itu mbah maksum berimur 112 tahun. Selama di pondok, Mahsun dipercaya sebagai koordinator bidang bangunan (ngatur bangunan). Selama itu pula karakter dan pemikiran beliau mulai tumbuh.

            Pada bulan Ramadhan tahun 1971, Mahsun izin kepada mbah Maksum untuk mengaji di pondok pesantren al Hidayah, Pare, Kediri asuhan romo kyai A Juwaini bin Nuh. Beliau adalah ulama' ahli hadis yang berguru langsung kepada KH Hasyim asy'ari. Beliau juga masih cucu dari mbah Maksum Lasem.

            "yow is awakmu mengko kudu ngingu santri siji, loro. Trus awakmu tak ridhoni iso moco kitab-kitab agama". Ujar mbah Maksum mengizinkan.

            Ketika Mahsun mengaji kepada mbah Juwaini pada tahun 1972 terdengar kabar bahwa mbah Maksum Lasem meninggak dunia. "Alangkah pedih dan sakitnya aku tidak bisa ke Lasem melihat jenazah mbah Maksum karena aku tidak punya uang untuk pergi ke Lasem" gerutu mahsun kala itu.

            Ketika mengaji dengan mbah Juwaini pun mahsun hanya nderek ndalem. Kehidupan sehari-hari yang dilalui mahsun bersama dengan mbah Juwaini membuat mahsun menemukan sosok kyai yang sangat berbeda dengan mbah Maksum Lasem.

            Perbedaannya terletak pada kepedulian terhadap bangunan. Mbah Juwaini adalah sosok kyai yang sangat tidak mempedulikan bangunan. Bahkan semua bangunan yang berada di pondok pesantren beliau pasrahkan semua kepada pengurus pondok. Berbeda dengan mbah Maksum Lasem yang peduli terhadap bangunan, bahkan terkadang beliau turun tangan langsung untuk masalah bangunan.

            Mbah Juwaini juga memiliki sifat tawakkal yang luar biasa, sehingga semua putranya tidak ada yang disekolahkan. Bahkan suatu ketika mbah Juwaini diberi kambing oleh seseorang, kemudian mbah Juwaini langsung menyuruh santrinya supaya memasak kambing tersebut dan dihabiskan hari itu juga.

            Waktu pun terus berjalan. Hingga mbah Juwaini meninggal dunia. Pondok Pesantren yang diasuhnya pun mengalami vacum, sedikit demi sedikit mulai hilang santrinya. Ketika meninggal dunia, mbah Juwaini tidak meninggalkan harta warisan sedikitpun kepada keluarganya. Suatu ketika gus Hamzah (putra terkecil mbah Juwaini) bertanya kepada ibunya, "Kenapa to bu, kok abah kayak gitu?". Ibunya menjawab, "iyo le, abahmu iku gak mau mewariskan ke salah satu anaknya dan gak mau menyiapkan ke salah satu anaknya. Mengko nek ono sek iso neruske pondok, berarti anak kui pancen sing mampu neruske. Dadi ora ono dulur-dulur sek iri". Gus Hamzah akhirnya dipondokkan ke sarang dan akhirnya gus Hamzah aadalah putra mbah Juwaini yang bisa meneruskan pondok.

            Melihat Mahsun yang mempunyai keistimewaan tersendiri dimata mbah Juwaini membuat mbah Juwaini ingin agar Mahsun menjadi menantunya. Namun pada saat itu juga Mahsun mendapat surat dari bapaknya untuk segera pulang untuk dinikahkan dengan sepupunya yaitu Fatayah.

            Mahsun pun pulang dan menikah dengan Fatayah binti H Khannan. Ketika itu mahsun berumur 25 tahun. Mahsun dan Fatayah dikaruniai 5 putra yaitu:

  • Qurrotul baidho'
  • Nafisul atho'
  • Jazilus sakho'
  • Khullatul khauro'
  • Roihanatul aina'

H Khannan adalah adik Saudah (ibu kandung Mahsun). Beliau adalah orang yang sangat kaya sehingga beliau dijuluki "tuan tanah" karena memiliki tanah yang luas. Beliau juga memiliki 50 pasang sapi. Padahal pada zaman itu 1 sapi saja sudah bisa untuk pergi haji.

Ketika Mahsun sudah dirumah, Mahsun merasa tidak bisa mengaji. Akhirnya kitab-kitab yang bolong mulai ditambal lagi. Mahsun juga mengaji kitab kutubussittah setiap hari yang sanadnya beliau dapatkan dari mbah Juwaini di Pondok Pesantren Alhidayah, Tertek.

      Di masyarakat Mahsun dipasrahi untuk mengurusi masjid dan sekolah. Beliau juga menjadi takmir masjid jami' al ihsan. Selain itu, Mahsun juga menjabat sebagai ketua pengurus yayasan yang didirikan bersama masyarakat dan atas nama masyarakat yaitu Yayasan Al Fatah.

      Pada tahun 1979, yayasan al fatah yang diketuai oleh Mahsun mengalami perkembangan pesat. Sehingga didalamnya terdapat TK, RA, 2 MI, MTS, SMP, MA, dan Peguruan Tinggi yang santrinya mencapai 2000 an. Ketika itu, Mahsun tinggal di rumah mertunya, H Khannan.

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari telah berlalu sesuai alurnya. Hingga pada tahun 1993 mahsun mulai gelisah. Karena mahsun punya filosofi tentang kehidupan yaitu "Hidup itu seperti jarum jam, dimulai dari jam 6, 7, sampai 12. Kemudian turun dari jam 12, 1 sampai jam 6 lagi". Kata beliau, "waduh saya kok sudah hidup di situasi enak seperti ini, jangan-jangan saya sudah berada di posisi jam 12".

            Mahsun pun beruzlah dari rumah mertuanya sendirian karena istrinya tidak mau ikut. Mahsun pun tinggal di tegalan pojok desa bekas kandang sapi milik mertuanya. Setiap hari makanannya diantarkan oleh istrinya. Mahsun pun berfikir "ini harus dimulai dari awal lagi".

            Setelah uzlah selama 3 tahun, Mahsun pun mendirikan Pondok Pesantren tanpa nama pada tahun 1996. Seiring dengan bertambahnya jumlah santri, maka ia menamakan Pondok Pesantren Mamba'ul Ihsan.

            Uniknya pada waktu itu di Pondok Pesantren Mamba'ul Ihsan hanya diterapkan 5 peraturan diantaranya: tidak boleh rambut panjang, tidak boleh merokok, tidak boleh kuku panjang, dan tidak boleh makan di warung sekitar pesantren yang masih satu desa dengan pesantrennnya. Selain itu, pondok tersebut tidak diberi pagar, karena menurutnya pagar itu dari hati, dari diri sendiri.

            Ketika masuk waktu sholat, Mahsun selalu keliling pondok untuk menyuruh sholat orang-orang yang berada di pondok.

            Mahsun termasuk kyai yang sangat terbuka, kyai yang menguasai semua keterampilan masyarakat, juga kyai yang benar-benar menjadi public figure bagi masyarakat. Sehingga Mahsun sering didatangi tamu. Pada hari-hari biasa Mahsun biasa menemui dari shubuh sampai jam 10. Namun ketika Bulan Lebaran, Mahsun bisa menerima tamu sampai jam 12 malam.

            Tamunya pun bermacam-macam. mulai dari permasalahan misalnya anaknya sakit, cerai, suami lari, hingga permasalahan-permasalahan pejabat. Bahkan ada yang hanya sekedar curcol atau say hello. Hal tersebut dikarenakan kedekatan masyarakat dan kenyamanan santrinya terhadap beliau.

            Sebelum meninggal dunia, Mahsun mewakafkan semua tanah beliau. Jadi setelah meninggalnya beliau, tidak ada putra-putranya yang mempermasalahkan warisan, tidak ada pembahasan tentang warisan. Mahsun juga mendirikan Pondok Pesantren Nurul Ihsan yang dibangun diatas tanah wakaf dari ayahnya yaitu Asdiq. Strukturnya bukan dari keluarga beliau. Melainkan, dari santri seniornya. Hanya satu yang dimasukkan dalam struktur ponpes Nurul Ihsan yaitu KH Jazilus Sakkho', putra ketiga beliau, yang menjabat sebagai ketua.

            Diantara pesan-pesan beliau sebelum meninngal dunia yaitu,

  1. "ketika saya meninggal nanti, tidak ada yang boleh diwarisi, semua harus untuk kepentingan pondok".
  2. "kalau bikin rumah jangan di tanah wakaf"
  3. "kalau mewarisi sesuatu, wariskanlah ilmu! Jangan harta. Kalau harta, dijual juga habis, tetapi kalau ilmu, maka kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan bahkan lebih dari jika aku wariskan harta"

Hal yang mengherankan dari beliau adalah pemikiran-pemikiran beliau diluar pemikiran orang-orang desa pada umumnya (out of the box). Beliau juga tidak bisa berbahasa inggris. Tetapi ketika beliau diajak untuk berdiskusi mengenai pembahasan S3, liberal, atau mungkin masalah islam kontemporer beliau selalu nyambung. Diantara pemikiran beliau yaitu:

  • Tentang agama

"Islam itu nilai. Addien itu sebagai nilai, esensi. Addunya itu materi. Kita ruku'-sujud yang kita raih adalah substansi. Begitu pula setiap melakoni pekerjaan, niatkan sebagai ibadah. Selanjutnya jangan meremehkan profesi seseorang, sebab kita tidak tahu, jangan-jangan yang kita rendahkan itu waliyullah. Husnudzdzon."

Beliau juga menuturkan, "Islam itu hitungannya per detik, ketika kita syahadat sekarang belum pasti kita masih islam di satu jam ke depan."

"dunia itu hanya 2: susah dan senang. Ketika kita menggunakan susah terlebih dahulu maka kesenangan akan datang setelah itu. Sebaliknya, ketika kita menggunakan susah terlebih dahuliu, maka kesenangan akan datang setelah itu."

  • Tentang NU

"NU ibarat pohon. Ulama adalah akarnya. Birokrat, teknisi, umara' adalah batang pohonnya. Umat adalah dahan dan ranting. Akar harus menghujam bumi. Jika akar terlampau rapuh dan malah mencuat ke atas, ambruklah pohon itu."

  • Tentang Pesantren

"Seandainya pesantren ini bubar sepeninggal saya, saya tak kecewa, karena saya telah berusaha mengukir sejarah saya sendiri. Giliran panjenengan yang muda-muda yang harus menorehkan sejarah panjenengan sendiri." 

  • Tentang Kehidupan

"Hidup itu seperti jarum jam, dimulai dari jam 6, 7, sampai 12. Kemudian turun dari jam 12, 1 sampai jam 6 lagi"

  • Tentang Ikhlas

"Keikhlasan itu menembus ruang dan waktu. Sirr-nya orang ikhlas itu dikerumuni dan dicintai banyak orang dalam dimensi ruang waktu yang berbeda."

Menjelang wafatnya suatu ketika dalam sebuah pengajian di masjid yang diisi oleh beliau, beliau mengatakan kepada jamaahnya,"sesok nek aku mati, buang wae ning kono, cemplungke wae, ojo ngasi ono sek reti nek aku mati" sambal menunjuk pemakaman di desanya. Beliau juga pernah berkata,"waduh pasukane malaikat izrail kok wis mondar-mandir ning kene?" dan setelah wafatnya beliau, warga pun banyak yang meninggal dunia.

Beliau terkenal dengan nama KH Mahsun Mashudi. Nama Mashudi mulai dikenal masyarakat setelah beliau berhaji. Namun, beliau lebih suka dipanggil dengan KH Mahsun Ash Shiddiq. Ash Shiddiq yang beliau nisbatkan kepada ayah beliau yaitu Asdiq.

Beliau wafat dalam keadaan hanya memiliki 2 baju. Pada tanggal 3 Juli 2016 M/28 Ramadhan 1437 H dalam usia 67 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Sumber primer :

  • KH Jazilus Sakho' (putra ke-3 dari KH Mahsun)
  • Hj Ainun Hakiemah (menantu KH Mahsun, Istri KH Jazilus Sakho')

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun