Pada dasarnya, situasi di luar dari diri kita adalah netral. Yang berarti, tidak baik ataupun tidak buruk. Hanya saja, pikiran kitalah yang memberi penilaian terhadap kondisi tersebut.
Sekitar 2.300 Tahun yang lalu, di Athena (Kota di era Yunani kuno), Kaum Stoa (Aliran Stoicisme) memiliki solusi dalam menyikapi ketimpangan mental seperti ini.
Ajaran Stoicisme ialah salah satu ajaran filosofis yang menitikberatkan tentang kehidupan yang lebih bijaksana. Mereka percaya, bahwa perlu kiranya dalam hidup, manusia bisa memisahkan antara hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Mereka menyebutnya dengan "Dikotomi Kendali".
Dikotomi Kendali merupakan sebuah cara yang bisa kita gunakan untuk menarik perbedaan antara mana yang di bawah kendali kita dan mana yang tidak. Misalnya : opini / persepsi kita, keinginan kita, tujuan hidup kita apa dan segala sesuatu yang merupakan tindakan dan pikiran kita sendiri. Sedangkan reputasi, kesehatan, kemacetan, atau situasi saat diputusin pacar (sebab menurut dia, kamu sudah tidak pantas bersamanya) ; itu semua di luar dari kendali kita. "Yang tabah, yaa ..."
Saat kita sudah mengetahui dan memahami apa saja yang ada dan tidak di bawah kendali kita, maka pikiran kita akan lebih terbuka dalam menyikapi situasi yang pelik sekali pun.
Demikianlah opini mengarahkan kita dalam mengartikan dunia ini (mirip judul lagu aja). Semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait. Dan ketika ada emosi negatif, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri (interpretasi).
Kita bisa menggunakan kekuatan pikiran kita ini, untuk melakukan judgment (pertimbangan). Kata seorang Kaisar yang juga salah satu Filsuf Stoa, Marcus Aurelius, dalam sebuah karyanya (Meditations), ia menuliskan : "Jika kamu merasa susah karena hal eksternal, maka perasaan itu tidak datang dari hal tersebut, tetapi oleh pikiranmu sendiri. Dan kamu memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan persepsimu kapan pun juga".
Dari sini, Si kakek Marcus, ingin menegaskan kepada kita bahwa rasa cemas, galau, gelisah, iri hati, dan berbagai macam varian emosi negatif itu datangnya dari pikiran kita sendiri. Kabar baiknya, kita mampu mengubah (pikiran) itu, tanpa harus repot-repot memikirkan peristiwa eksternal yang terjadi.
Mari kita kembali ke konteks sebelumnya, tentang betapa bahayanya interpretasi kita terhadap sebuah peristiwa. Misalnya dengan adanya momentum Ramadhan kali ini, bisakah kita mengendalikan pikiran kita ?
* "Udah capek-capek jualan minuman untuk buka puasa, ehh malah nggak ada yang beli."
* "Saking dekatnya sesama sahabat, malah diajak batal berjamaah". Atau,