Bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah (kata para ustad). Keberkahan itu akan sangat terasa, bila kita mampu melihatnya dengan cara yang lebih arif.
Tidak hanya suka cita, di momen yang suci bagi semua umat muslim ini, nyatanya, masih ada juga rasa duka cita yang menyelimuti diri; munculnya berbagai emosi negatif misalnya.
Terkadang, kenyataan yang sering berbenturan dengan keinginan, akan berimplikasi negatif.
Iya ... maksudnya, pernah ada, bahkan selalu ada, orang-orang yang merasa tidak nyaman atau terganggu di dalam kehidupannya. Bukan tentang apa yang sedang dialami (situasinya), melainkan perasaan yang muncul ketika situasi tersebut tidak diinginkan terjadi.
"Tapi, bukankah ini alamiah ? Wajar kan semua orang bisa merasakan demikian ?"
Dalam hal seperti ini, selayaknya, semua orang memiliki hak untuk tidak ataupun suka terhadap situasi dan kondisi yang dialaminya. Itu memang alamiah. Akan tetapi, yang perlu diluruskan di sini ialah persepsi yang memunculkan perasaan tidak menyenangkan di dalam diri kita.
Judul yang dipakai di atas, tidak dimaksudkan seperti memberi rangkaian tausiyah ataupun ceramah agama (Jangan pernah membayangkannya). Selain memang saya tidak punya kapasitas di wilayah itu, juga hanya ingin menghantarkannya dengan sudut pandang yang lebih sederhana; yaitu Manajamen Persepsi.
"Apa itu 'Manajemen Persepsi'?"
Manajemen persepsi di sini diartikan sebagai sebuah cara dalam mengelola opini maupun pandangan kita terhadap situasi yang sedang kita alami.
"Lalu, apa sebab melakukan hal demikian ?"
Seperti dijelaskan sebelumnya, ketika kita sedang mengalami suatu situasi; dimana hal tersebut tidak kita inginkan, maka pastinya akan menimbulkan efek berupa emosi negatif.
Emosionalitas di dalam diri merupakan suatu keniscayaan. Namun, tidak semua emosi itu baik adanya. Misalnya : mudah marah, rasa kecewa begitu dalam, bahkan penyesalan yang terlalu berlarut-larut (galau akibat hubungan yang kandas di tengah jalan).
Bila ditelusuri, ternyata, hal demikian timbul dikarenakan persepsi kita yang keliru dalam melihat realita yang ada. Ini sering terjadi dalam masyarakat modern hari ini.
Pada dasarnya, situasi di luar dari diri kita adalah netral. Yang berarti, tidak baik ataupun tidak buruk. Hanya saja, pikiran kitalah yang memberi penilaian terhadap kondisi tersebut.
Sekitar 2.300 Tahun yang lalu, di Athena (Kota di era Yunani kuno), Kaum Stoa (Aliran Stoicisme) memiliki solusi dalam menyikapi ketimpangan mental seperti ini.
Ajaran Stoicisme ialah salah satu ajaran filosofis yang menitikberatkan tentang kehidupan yang lebih bijaksana. Mereka percaya, bahwa perlu kiranya dalam hidup, manusia bisa memisahkan antara hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Mereka menyebutnya dengan "Dikotomi Kendali".
Dikotomi Kendali merupakan sebuah cara yang bisa kita gunakan untuk menarik perbedaan antara mana yang di bawah kendali kita dan mana yang tidak. Misalnya : opini / persepsi kita, keinginan kita, tujuan hidup kita apa dan segala sesuatu yang merupakan tindakan dan pikiran kita sendiri. Sedangkan reputasi, kesehatan, kemacetan, atau situasi saat diputusin pacar (sebab menurut dia, kamu sudah tidak pantas bersamanya) ; itu semua di luar dari kendali kita. "Yang tabah, yaa ..."
Saat kita sudah mengetahui dan memahami apa saja yang ada dan tidak di bawah kendali kita, maka pikiran kita akan lebih terbuka dalam menyikapi situasi yang pelik sekali pun.
Demikianlah opini mengarahkan kita dalam mengartikan dunia ini (mirip judul lagu aja). Semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait. Dan ketika ada emosi negatif, sumbernya ya nalar/rasio kita sendiri (interpretasi).
Kita bisa menggunakan kekuatan pikiran kita ini, untuk melakukan judgment (pertimbangan). Kata seorang Kaisar yang juga salah satu Filsuf Stoa, Marcus Aurelius, dalam sebuah karyanya (Meditations), ia menuliskan : "Jika kamu merasa susah karena hal eksternal, maka perasaan itu tidak datang dari hal tersebut, tetapi oleh pikiranmu sendiri. Dan kamu memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan persepsimu kapan pun juga".
Dari sini, Si kakek Marcus, ingin menegaskan kepada kita bahwa rasa cemas, galau, gelisah, iri hati, dan berbagai macam varian emosi negatif itu datangnya dari pikiran kita sendiri. Kabar baiknya, kita mampu mengubah (pikiran) itu, tanpa harus repot-repot memikirkan peristiwa eksternal yang terjadi.
Mari kita kembali ke konteks sebelumnya, tentang betapa bahayanya interpretasi kita terhadap sebuah peristiwa. Misalnya dengan adanya momentum Ramadhan kali ini, bisakah kita mengendalikan pikiran kita ?
* "Udah capek-capek jualan minuman untuk buka puasa, ehh malah nggak ada yang beli."
* "Saking dekatnya sesama sahabat, malah diajak batal berjamaah". Atau,
*Â "Ngabuburit sambil main game online di pojokan teras rumah, tiba-tiba lihat mantan boncengan sama pacar barunya".
Berbagai contoh di atas, bisa membuat emosi kita meledak, bila tidak mengelolanya dengan baik. Pikiran yang baik, secara otomatis, akan menciptakan interpretasi yang baik. Dan interpretasi yang baik, bisa merubah emosi kita jauh lebih positif.
Dalam ajaran Stoa, Representation atau Interpretasi kita akan menentukan emosi ( negatif atau positif) kita. Maka dari itu, ada baiknya mendudukkan sebuah Impression (peristiwa) secara objektif atau netral; agar terhindar dari interpretasi otomatis yang negatif.
Selain ajaran Stoa, cara pandang yang mirip dengan esensi aliran Stoicisme ialah nilai-nilai dari ajaran Islam Nusantara.
Mayoritas orang-orang Indonesia yang memeluk agama Islam, terus mengamalkan nilai-nilai keislaman yang arif; salah satunya ialah "Nilai Moderat".
Dalam kitab suci Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 143; dimana umat Islam dijadikan sebagai umat yang moderat (wasath), yang kemudian diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW (Sumber : NU ONLINE).
"Udah make bahasa kultum rupanya ... Hehe"
Pada prinsipnya, sikap moderat berarti mampu membaca dan memahami realitas yang ada. Tidak gegabah, atau ceroboh. Mampu mempertimbangkan segala sesuatu, termasuk kebaikan dan keburukannya.
Dengan mempraktikkan sikap moderat, kita akan lebih mengarahkan pikiran kita menjadi baik. Lebih menghargai dan menerima situasi dengan persepsi yang positif.
Nilai keislaman ini sangat bermanfaat bila digunakan dalam keseharian kita. Lebih-lebih, bagi yang akan atau sedang bermasalah dengan situasi yang dialami.
Bulan Ramadhan, seyogyanya, tidak sekedar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu. Puasa di bulan Ramadhan harusnya bisa melatih diri; mengelola persepsi. Olehnya itu, jalanilah Ramadhan kali ini, dengan "Hati bersih dan pikiran yang jernih" (bebas dari prasangka buruk kepada siapapun dan dalam situasi apapun; termasuk godaan Es Boba di story WA) agar emosi tidak melukai diri.
Selamat berpuasa, bagi yang menjalankannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H