Dia mendongak, bukan ke arah langit, tapi ke arahku.
"Kamu melihat segalanya palsu karena memang menganggapnya begitu. Sesekali bukalah mata hatimu, kamu akan bisa melihat, kalau ada yang terbaik untukmu. Itu semua nyata, dan itu yang kau butuhkan." Aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas kemudian melanjutkan, "Kamu tidak harus mengurung diri di dunia ilusimu. Berjalanlah, berkelilinglah. Dunia ini begitu luas, terlalu singkat bila kamu sia-siakan dalam kesedihan. Namun bila tak menemukan yang kamu cari, maka, pulanglah. Kembalilah, itu bukan duniamu."
Aku melangkah maju. Menyisakan jarak satu langkah dengan gadis berkulit putih gading itu. Kemudian memberanikan diri menawarkan ajakan padanya, "Bila kamu masih merasa takut, biarkan aku menuntunmu pulang."
Kami pun saling menatap dalam. membuat nafasku sedikit lebih kencang dari yang biasanya. Gadis itu tampak begitu manis dengan kerudung panjang yang dikenakannya. Kening yang cukup tebal dan lesung pipi yang menjadi modal parasnya, ingin rasa menghentikan waktu untuk menatap lebih lama. Ia memperdayaiku.
"Mas ... mas ... sudah pagi, mas."
Terdengar samar-samar.
"Mas, sudah pagi." Lelaki itu terperanjat, dengan sisa kretek yang sudah padam di tangan. Sontak Ia terbangun. Ternyata suara itu berasal dari Si tukang Sapu. Dan ternyata, semua itu hanyalah sebuah mimpi. Sepotong hikayat yang pernah dilalui dengan sang Istri, kali pertama bersua di bawah langit perayaan. Gadisnya itu sudah hampir tiga tahun pergi, meninggalkan jejak kenangan yang terus abadi.
Lelaki itu pun beranjak, melewati simpang jalan. Membawa butir-butir harap. Mencoba tersenyum ; menyembunyikan pertahanannya yang sudah runtuh. Dengan suara pelan Ia menggumam, "Tuhan. Perkenankan Dia menjadi pendamping hidupku di kehidupan berikutnya".
....
"Diinspirasi dari salah satu cerita yang ditulis oleh Nur Dik Yah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H