Mohon tunggu...
Dicky CahyaGobel
Dicky CahyaGobel Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Mencari tahu dalam ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Abadi di Bawah Langit Perayaan

30 Desember 2020   10:02 Diperbarui: 30 Desember 2020   18:42 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit menstabilkan nafas, mengatur jarak, "Hanya ingin memastikan keadaan, apakah semua orang ingin merayakan pergantian tahun di malam ini. Keadaan yang semakin kacau, melihat para pejabat tinggi yang kian hari kumat dengan aksi-aksi curian. Rakyat jelata semakin menderita, penguasa makin kaya raya. Pedagang kaki lima, Buruh, dan masih banyak orang di luar sana yang menaruh harap untuk menghidupi keluarga namun tidak disanggupi oleh mereka. Terlebih mereka yang sering memasarkan tuhan, membawa kalimat-kalimat surga tapi tidak sesuai dengan perilakunya, masih terus menjamur dimana-mana. Lalu apa sebab semua orang melakukan perayaan ini?, apanya yang perlu dirayakan? , kekacauan?"

"eh,eh, sebelumnya namaku Cici" dengan rasa tanpa dosa, Ia memotong pembicaraan. Dilanjutkan dengan menjulurkan tangan, mengisyaratkan untuk mengenalkan dirinya.

Tak berselang lama, terdengar ledakan dan cahaya warna warni menghiasi langit. Orang-orang di sekitar kami mulai bersorak gembira. Bunyi terompet, dan gawai di masing-masing saku mulai dikeluarkan. Tak lupa saling memberi ucapan "Selamat Tahun Baru" secara berjamah ; Tanda mengabadikan detik indah itu.

"Kalau kamu sendiri, apa alasanmu kemari?" kataku, yang ingin lebih mencairkan suasana.

"Aku hanya takut" ujarnya.

"Aku takut dengan segalanya. Dunia terlihat seperti ilusi. Orang-orang penuh dengan sandiwara. Tawa di tengah rasa sepi. Bahkan kehadiranku sendiri ...  semua terasa palsu".

Nada suaranya makin samar. Matanya berkaca-kaca. Suasana tegang pun tak terhindarkan. Rasa canggung kembali selimuti perbincangan kami.

"Apa alasanmu mengatakan seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi, Ci?"

Dengan sedikit terbata-bata, Ia melanjutkan, "Aku telah kehilangan duniaku. Aku telah meninggalkan apa yang menjadi milikku. Kasih sayang, rasa cinta, perhatian penuh kasih, serta kenyamanan, semua telah hilang. Aku terlalu naif. Terlalu mendambakan apa yang aku inginkan, tanpa memperdulikan yang sebenarnya aku butuhkan. Dunia ini terasa palsu bagiku, sekarang. Semua palsu, sama halnya denganku."

Orang-orang yang makin terkesima mendongak menatap langit, aku justru melihat gadis itu menunduk dalam. Lampu alun-alun yang awalnya padam, kini menyala dan menyorti tepat di wajah gadis itu. Membuatku bisa melihat, betapa dalam kehampaan dan kesedihan dalam tatap matanya.

"Angkat kepalamu". Suaraku menandingi gemuruh kembang api dan suara riuh orang-orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun