Mohon tunggu...
Dicky Zulkifly
Dicky Zulkifly Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku hanya seorang pembelajar, yang tidak tahu apa-apa. Tugasku mengetahui banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Berbagi Itu, Kebiasaan

31 Juli 2015   14:02 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:00 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption caption="Gambar Iatimewa"]

Mendengar kata berbagi, sontak di pikiran yang belum menemukan pencerahan dalam berdisiplin ilmu ini, bak sebagai hal yang mudah untuk dikatakan dan sulit untuk dilakukan. Realitasnya demikian. Para alim ulama dan pewaris tahta kenabian tentu sudah faham betul permasalahan dari pada pertanyaan, bagaimana hal yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan? Apalagi hadiahnya merupakan fahala dan keberkahan yang tak terhingga, dari sang Maha Cinta tentunya.

Selaku muslim, saya memandang berbagi bukan saja harus dibenturkan dengan tagihan sebuah janji. Dan, seolah kita berniaga dengan Tuhan, Allah SWT dalam hal ini. Dimana kita saling bertukar produk dengan Allah. Menawarkan perbuatan (berbagi) dan kemudian mengharapkan imbalan dari Allah. Jika demikian kita telah hitung-hitungan dan menganggap Tuhan sebagai zat yang rendah.

Karena jika hal itu dilakukan, tentu saja kita akan kalah modal dengan Tuhan. Karena Tuhan memberikan banyak keberkahan yang tak terhingga, tanpa perlu membayar dan mengagih imbalan terhadap makhluknya. Terus, lantas mengapa hanya melakukan berbagi saja kita susah? 

Makna berbagi jika direalisasikan sesungguhnya sangat sederhana. Berbagi senyuman, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi tenaga terhadap sesama sebagai simbol keihsanan dalam kehidan muslimin. Tetapi, keretakan di tengah muslimin kian hari semakin mendapat keburukan saja.

Prasangka, kesombongan, acuh dan keangkuhan bak menjadi virus yang sulit ditemukan obat vaksin pembunuhnya. Karena muslim pada kenyataannya sibuk dengan urusan pribadi yang sebetulnya itu mengarah kepada sifat hubuddunya (cinta pada kehidupan duniawi).

Memang, fitrah manusia itu merupakan potensi terhadap kemungkinan manusia untuk berbuat baik. Tetapi nafsu terkadang mendominasi. Sehingga, pantas saja jika eksploitasi dan penindasan kearifan tertimbun dalam di bawah pandangan materialistik. Islam bukan lagi diisi oleh manusia yang selalu melakukan penyerahan diri kepada sesama manusianya (habluminannas) dan kepada Tuhannya (habluminallah).

Saya akan memberikan sedikit stimulus agar sahabat pembaca yang saya cintai, benar-benar faham, paling tidak pemikiran awam saya ini bernilai. Ada anggapan dan pernyataan lucu selama ini. Khususnya, saya sempat mengalami sendiri di kehidupan sehari-hari. Mulai dari lingkungan masyarakat, sampai lingkungan kampus. Begini bunyinya. 

“Allah SWT selama ini menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk dalam hal ini menciptakan manusia dengan penuh kecintaan. Selanjutnya, Allah SWT memerintahkan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Bukankah di sini Allah SWT sedang melakukan penagihan imbalan dari pada makhluk-Nya?” Kurang lebih demikian, ungkapan dalam perbincangan ceria kala itu.

Seperti ini logikanya. Tidak ada alasan untuk menghujat sebab pertama yang tidak akan pernah dikenai oleh sebab-sebab yang lain. Manusia adalah akibat, dari adanya Allah SWT selaku Tuhan semesta alam. Dan tidak ada sebab lain yang bisa mengadakan atau meniadakan Allah SWT. 

Jika ditilik dari hukum kausalitas, atau hukum sebab akibat, ada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah karena hujan turun, maka hujan sebagai sebab tumbuhnya tanaman. Karena air kita ketahui sebagai energi dan sumber kehidupan untuk berbagai jenis tanaman, di samping energi udara dan matahari.

Nah bagaimana jika, disangkutpautkan dengan kehadiran Allah SWT, selaku Tuhan semesta alam yang menciptakan alam semesta termasuk manusia, dan kemudian menyuruh manusia untuk tunduk beribadah kepada Allah SWT. Ini bukan permasalahan balas budi atau penagihan hutang yang belum terbayarkan. 

Sederhana menurut saya. Allah SWT, menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (QS 6 : 73, QS 25 : 2). Mengapa? Alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari pada sebaik-baiknya pencipta-Nya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (QS 23 : 14). 

Nilai ciptaan ini untuk manusia bisa dipergunakan dan dimanfaatkan bagi keperluan perkembangan peradabannya (QS 31 : 20). Maka, alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (QS 10:101).

Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (QS 38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. 

Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari pada filsafat materialisme.

Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (QS 95 : 4, QS 17 : 70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi (QS 6 : 165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (QS 11 : 61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. 

Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”.

Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (QS 33 : 72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.

Lantas, jika selama ini Allah SWT sebagai sebab yang pertama dan tanpa terpengaruhi sebab yang lain, memberikan keberkahan sebagai modal sebetulnya manusia dalam mengarungi setiap arus dan roda kehidupan, tidak digunakan oleh manusia sebagaimana mestinya.

Bukankah ini sebagai tanda kerugian bagi manusia itu sendiri. Maka berbagi terhadap sesama itu seharusnya mejadi kebiasaan manusia. Sebagaimana sifat Tuhan yang tanpa henti, tanpa pandang bulu memberikan serta membagikan rahmatnya untuk alam semesta dan seisinya.

Masuk pada variable penyerahan diri (keberimanan) manusia terhadap penyempurnaan iman, Islam dan ihsannya. Manusia, muslimin khsususnya. Dianggap sempurna tatkala ia melakukan segala bentuk kewajiban dari pada ketundukannya terhadap Allah SWT. Habluminallah, ibadah langsung kepada Allah semisal Syahadat, Shalat, Puasa dan Haji, melakukan segala bentuk perintahnya serta meninggalkan seluruh keharusan universal dari setiap larangan-larangan Allah. 

Namun, ada variabel kedua. Dimana muslim turut serta harus melakukan ibadah terhadap sesama manusia (habluminannas). Semisal berzakat, bershadaqah, berinfaq, gotong royong, saling membantu, sampai segala bentuk ibadah terkecil, semisal membuang duri dari jalanan. Apakah bisa dikatakan sempurna keimanan manusia tanpa ber-ihsan atau memuliakan sesamanya?

Ini yang dimaksud berbagi itu bukan saja hanya kewajiban yang selalu menghantui muslimin. Tetapi berbagi adalah kebiasaan muslimin. Meski saya bukan ahli agama, jauh-jauhnya kiyayi atau alim ulama, saya berani menegaskan, dianggap tidak beriman seorang muslim, jika tetangganya masih ada yang kekurangan makanan pokok. Jika masih terjadi hal yang memalukan ini, berarti keislamannya belum sempurna. Dikemanakan makna berzakat?

Jangan dulu berbicara siapa yang akan masuk surga bersama Rasul. Dan berdebat serta saling mengklaim sebagai satu-satunya golongan Rasulullah dari 70 golongan yang akan diterima peribadatannya. Maaf-maaf, di depan hidung sendiri, istilahnya, luka mendalam tidak terlihat. Apakah Rasulullah sang penyempurna akhlak sudi mengajak umatnya yang seperti ini masuk ke dalam Surga Allah?

Saya sedih. Dan jujur, melihat realitas dan kondisi manusia selaku mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi, menapikkan hal-hal terkecil. Yang sebetulnya berdampak besar pada kondisi peradaban dan kemajuan Islam. Saya jadi beranggapan subjektif, dan bahkan distruktif dalam bersikap. Jangan-jangan muslim sudah berani meninggalkan tugas dan agenda besar dari Islam. Nauzubillah, selaku generasi penerus, saya tidak menginginkan hal ini benar-benar terjadi.

Harus kepada siapa saya mengadukan kegalauan ini. Adanya nilai-nilai kefitrahan manusia, sebagai sesuatu yang membuat manusia bukan hanya memiliki beberapa potensi kebeperilakuan. Melainkan sifat dari suatu keseluruhan susunan, sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia. 

Saya memandang sederhana, dengan fitrah atau kesucian manusia ini, membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) (QS 30:30). Manusia juga memiliki hati nurani, sebagai pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Inilah tujuan hidup manusia yang hakiki.  Ialah menuju pada kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Allah SWT (QS 51:56, QS 3:156).

Tidak ada alasan lain. Islam seharusnya membawa kesejahteraan bagi ummatnya. Karena segala bentuk ajaran, sistem, kepercayaan dan tuntunan-tuntunan hidup sudah lengkap dibahas dalam setiap bab dan subbab materi-materi ajaran Islam. Ini kemauan dan maksud saya, seharusnya berbagi bukan lagi menjadi konsepsi teoritis semata, tetapi berbagi adalah kebiasaan muslimin!

“Mari kita berbagi untuk membangun negeri yang sejahtera dan Islami”

Salam Cinta @dickyzulkifly93

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun