Mohon tunggu...
Dicky Zulkifly
Dicky Zulkifly Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku hanya seorang pembelajar, yang tidak tahu apa-apa. Tugasku mengetahui banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kini, Malah Aku Tinggalkanmu Jauh di Sana

15 Mei 2015   19:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu.. Aku tak tahu, kondisi apakah yang tengah engkau rasa, saat kau melahirkan aku ke dunia ini.

Beban ujian sebagai dampak rasa sakit yang kau pikul sembilan bulan, tak pernah kau hiraukan. Selama ini, kau hanya menghawatirkan sesuatu yang ada dalam rahimmu.

Pedih dan sakit yang kau rasa, terbalas sudah dengan suara tangisan buah hatimu. Kau menarik nafas panjang, berhembus lega penuh syukur. Seketika, tangismu berubah menjadi senyum haru kebahagiaan.

Ibu.. Malaikat kecilmu lahir dengan selamat. Meski begitu, saat itu kau tak tega, melihat badan mungil ini merengek tangis menggigil kedinginan. Seketika kau tak menghiraukan sakit teramat mendalam, kau selimuti aku dengan kasih sayang. Kau peluk aku, seolah tak mau melepaskanku.

Betapa nyaman dekap dan pelukmu kala itu. Sampai aku tertidur pulas.

Aku terbangun, tangisanku menghiasi siang dan malammu. Kau seolah tak jengkel, kau peluk dan susui aku tanpa berpikir bagaimana lemahnya badanmu.

Aku memang selalu kau anggap sebagai kemuliaan yang kau simpan dalam lemari cinta berkaca permata. Aku tidak bisa mengukur sejauh mana rasa cintamu, yang jelas, selama nafas masih kau hirup, kau akan selalu menjagaku.

Usiaku semakin bertambah. Aku tidak lagi berbaring dan menangis. Aku mulai belajar duduk, merangkak dan terjatuh. Ooh, kerumitan si mungil ini kian bertambah. Bahkan, aku sudah lagi tak mau meminum air susumu. Aku sudah dewasa, ingin memakan makanan agar aku lebih kuat.

Kau mengawasiku tiada henti dengan senyuman dan pujian. Sampai aku kau ajari untuk melangkah. Kau tuntun aku dengan cinta.

Kau tak akan pernah sekali saja mengizinkan aku terjatuh. Tapi, makhluk bodoh ini dengan egonya ingin belajar sendiri. Tanpa kau ketahui, aku berdiri dan melangkahkan satu kaki yang masih lemah ini. Serentak aku terjatauh dan menangis.

Kau pun tak kuasa melihat kondisi yang aku dapat ini. Kau berlari, hiraukan semua yang kau harus lakukan kala itu. Kau sambut aku dengan pelukan dan tangisan. Dan kau pun berkata, "maafkan aku, tidak menjagamu pangeranku," rintih tangis penuh do'a kala itu begitu tenang, dan aku nyaman di dekapmu.

Kau tahu, aku sudah tidak lagi menyukai air susumu. Disisi lain, aku belum bisa menyuapkan sesuap makanan ke mulutku. Kau sempurnakan makananku, kau suapi aku dengan hati-hati. Kau berlari kian kemari, menyusulku yang giat bermain meski kau sedang menyuapiku. Kau ternyata tidak akan pernah melupakan kesehatanku.

Ibu... Cintamu begitu besar dan tulus atasku. Kini, benar-benar aku bisa berjalan. Aku sangat bahagia. Aku tertawa, karena bisa berlari mengejar semua yang aku ketahui.

Aku mengambil dan menendang bola sepak itu. Ibu, aku memetik bunga di halaman itu. Ibu, aku bisa meloncat tinggi, seolah aku akan menggapai langit.

Aku melihat senyum kegembiraan di raut muka penuh ikhlasmu. Kau tetap mengawasiku, kau menghampiriku, kau pangku aku sampai melebihi tinggi badanmu. Aku pun memetik buah yang kau tanam di halaman rumah.

Ibu tahu apa yang aku inginkan. Dengan tubuh mungil ini, kau faham betul, anakmu takkan bisa meraih sesuatu yang lebih tinggi.

Hari demi hari aku lalui di antara cinta dan kesetiaan. Kini saatnya kau melihat senyum bahagiamu menjadi raut khawatir. Ini, adalah hari pertamaku belajar di sekolah. Kau mengenakan seragam pertamaku di tubuh yang kian menemukan kesempurnaannya ini.

Kau memelukku, berbisik tangis penuh harap, "belajarlah, dan gapai kilau bintang di langit itu," do'amu menggetarkan hatiku. Aku kau tenangkan dengan kecupan semangat di antara keningku.

Ibu mengantarkan aku berangkat sekolah. Ibu.. Aku takut, aku menangis di sekolah. Lingkungan ini teramat asing bagiku. Begitu ramai anak-anak seusiaki.

Ibu tak diam, ibu rela duduk sebangku denganku. Ibu bahkan mengajariku cara menulis dan membaca. Aku tenang, di hari pertamaku sekolah ada Ibu di sampingku.

Ibu, kau tahu aku belum mendapatkan teman bermain. Tak menghiraukan rasa malu, kau menitipkan aku pada guru pengajar. Dan kau pun mengenalkan aku pada teman-teman baruku.

Kini, aku lulus dari sekolah dasar, kau memelukku, dan mendo'akanku agar bisa melanjutkan ke sekolah tingkat menengah. Aku mengetahui haru dan bahagia, bahkan hal yang nyaris sama kau lakukan saat aku masuk di hari pertama sekolah dasar.

Tanpa sehelai kekurangan dan kesalahan kau berikan padaku, kau mengurus semua keperluan pendidikanku. Sampai aku lulus dari pendidikan tingkat menengah dan akhir. Kau tanpa letih membimbingku, menuju arah cahaya kehidupan.

Bukan tanpamu aku bisa seperti ini. Lihatlah, aku sudah dewasa dan hebat. Aku bisa menentukan jalanku sendiri. Bahkan, aku bisa memberimu uang hasil jerih payahku sebagai bentuk syukurku atasmu. Namun, kau tak pernah mau dan meminta. Kau menyuruhku untuk tutupi semua kebutuhan hidupku. Itu sudah cukup bagimu.

Kini, aku sudah mengenal dunia.

Dengan segala cara, pendidikan yang terbaik atasku, akan selalu kau berikan. Kau berjuang agar aku bisa sekolah di perguruan tinggi. Kau tidak pernah merasa disusahkan olehku.

Maafkan aku, yang tak pernah menyiapkan waktu lama untukmu. Aku sibuk bekerja dan kuliah. Aku tidak pernah menghiraukan rasa rindumu atasku yang sudah menggunung. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, hanya semenit saja untuk berbicara dengamu.

"Maaf ibu, aku sedang sibuk,". Kata itu mungkin yang sering kau dengar dari jawabanku.

Karena lekas aku masuk jenjang perguruan tinggi, waktuku semakin padat. Tempatku bermain kini bukan lah di halaman rumah dengan bola sepak dan petikan bunga yang sebelumnya kau tanam. Pergaulanku adalah mengenal kehidupan dunia, kondisi yang sejauh ini memberikanku kebahagiaan.

Aku bahagia bergaul dengan rekan sekantorku, aku gembira bersama teman kuliahku, aku senang berdua bersama pasangan cintaku, aku menemukan semuanya sekarang. Aku sudah dewasa dan bisa.

Aku sudah lagi bukan anak kecil yang selalu kau dikte. Aku adalah manusia sempurna, yang semua keinginanku bisa aku penuhi sendiri.

Saat aku bertemu denganmu, tak pernah aku cium tanganmu. Aku berdiri di depanmu, memandangimu dengan penuh kesombongan, menjawab semua tanyamu dengan nada tinggi, dan aku lekas masuk ke kamarku untuk beristirahat.

Aku tak tahu apakah raut muka mu masih dalam keadaan tersenyum, atau berteteskan air mata kala itu. Aku tak perduli. "Aku capek bu. Nanti lagi aja ngobrolnya,". singkatku menutup obrolan kala itu.

Esoknya aku sudah siap berangkat kerja di kota. Untuk sebulan kedepan kau tak akan melihatku ada di rumah. Aku selalu buru-buru, karena aku tak betah tinggal di rumah yang tua ini. Aku ingin bekerja dan bebas di luaran.

"Selamat tinggal ibu, aku mau mencari semua kemungkinan. Baik-baik di rumah," pesanku menjauh dari rumah.

Kau mengirimku surat, dan aku baca. Kau menderita sakit parah. Dalam surat itu kau selipkan beberapa rupiah, dengan pesan untuk menambah keperluanku di sini.

Aku lupa tidak memberi tahumu nomor kontak terbaru, sehingga kau kesulitan untuk menghubungiku. Sebuah langkah akhir, kau menyapaku melalui kertas bertuliskan tinta.

Meski dulu dalam pesan singkat, selalu kau yang menanyakan kabarku lebih dulu. Aku selalu jawab seadanya. Aku selalu mengabaikan deringan telpon darimu, karena aku tengah asyik dengan cintaku. Aku jengkel, karena aku selalu kau perlakukan layaknya anak kecil. Aku ganti nomor baru agar aku bisa bebas.

Ibu, aku lupa dengan semuanya. Bagaimana ibu membesarkanku, membimbingku dengan cinta dan kemuliaan. Aku lupa, kau lah yang mengajariku berjalan, menendang bola, memetik bunga sampai kau ajarkan aku untuk meraih gemerlap bintang.

Masa dewasa membuatku terlena, aku melupakan semua jasamu yang dengan segunung emas itu tak akan terbalaskan.

Ibu... Pangeran dan Puteri Kecilmu ingin kembali. Aku rindu ibu, aku ingin dipeluk ibu, layaknya aku masih bayi dahulu.

Aku rindu do'a-do'amu, aku rindu dekapanmu, aku rindu kasih sayangmu. Maafkan aku ibu, sungguh hina dan penuh dosa anakmu ini. Meninggalkanmu dalam jeratan rindu atasku. Maafkan aku ibu, kau selalu menghabiskan waktu sendirian, di antara alunan kesedihan dan tangisan air mata.

Tangisan ini tentu tak bisa membayar sakit hati dan kerinduanmu selama ini atasku. Penyesalan ini tentu tak mengimpaskan pengorbananmu yang sudah aku nodai.

Jeritan ini tentu tak menggetarkan bumi yang tentu tak meridhoi perlakuanku atasmu. Sampai, jika ajal menjemputku hari ini, penyesalan tiada tara tak akan menghapuskan semua dosa-dosaku atasmu.

Kini malah aku meninggalkanmu jauh di sana. Aku akan pulang sekarang, mendekapmu, dan memohon ampunanmu. Jika ibu masih ada di rumah, sedang duduk di sofa, atau terbaring di kasur, aku akan memelukmu ibu. Aku akan memohon ampunan dan ridho darimu, aku tak akan lagi mau meninggalkanmu ibu.

Atau mungkin Allah berkehendak lain, memanggilmu sebelum aku menyesali dan memohon ampunanmu, aku akan mendatangi rumah peristirahatan terakhirmu. Akan ku peluk kuburmu dan kubersihkan dari segala rumput liar, seperti halnya kau merawatku kala kecil. Aku lantunkan do'a sebagai penawar kerinduan dan penyesalan teramat dalam.

Aku merindukanmu ibu. Kembalilah....
Ibu... Maafkan aku, karena cintaku tak seluas cintamu.

@dickyzulkifly93

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun