Esoknya aku sudah siap berangkat kerja di kota. Untuk sebulan kedepan kau tak akan melihatku ada di rumah. Aku selalu buru-buru, karena aku tak betah tinggal di rumah yang tua ini. Aku ingin bekerja dan bebas di luaran.
"Selamat tinggal ibu, aku mau mencari semua kemungkinan. Baik-baik di rumah," pesanku menjauh dari rumah.
Kau mengirimku surat, dan aku baca. Kau menderita sakit parah. Dalam surat itu kau selipkan beberapa rupiah, dengan pesan untuk menambah keperluanku di sini.
Aku lupa tidak memberi tahumu nomor kontak terbaru, sehingga kau kesulitan untuk menghubungiku. Sebuah langkah akhir, kau menyapaku melalui kertas bertuliskan tinta.
Meski dulu dalam pesan singkat, selalu kau yang menanyakan kabarku lebih dulu. Aku selalu jawab seadanya. Aku selalu mengabaikan deringan telpon darimu, karena aku tengah asyik dengan cintaku. Aku jengkel, karena aku selalu kau perlakukan layaknya anak kecil. Aku ganti nomor baru agar aku bisa bebas.
Ibu, aku lupa dengan semuanya. Bagaimana ibu membesarkanku, membimbingku dengan cinta dan kemuliaan. Aku lupa, kau lah yang mengajariku berjalan, menendang bola, memetik bunga sampai kau ajarkan aku untuk meraih gemerlap bintang.
Masa dewasa membuatku terlena, aku melupakan semua jasamu yang dengan segunung emas itu tak akan terbalaskan.
Ibu... Pangeran dan Puteri Kecilmu ingin kembali. Aku rindu ibu, aku ingin dipeluk ibu, layaknya aku masih bayi dahulu.
Aku rindu do'a-do'amu, aku rindu dekapanmu, aku rindu kasih sayangmu. Maafkan aku ibu, sungguh hina dan penuh dosa anakmu ini. Meninggalkanmu dalam jeratan rindu atasku. Maafkan aku ibu, kau selalu menghabiskan waktu sendirian, di antara alunan kesedihan dan tangisan air mata.
Tangisan ini tentu tak bisa membayar sakit hati dan kerinduanmu selama ini atasku. Penyesalan ini tentu tak mengimpaskan pengorbananmu yang sudah aku nodai.
Jeritan ini tentu tak menggetarkan bumi yang tentu tak meridhoi perlakuanku atasmu. Sampai, jika ajal menjemputku hari ini, penyesalan tiada tara tak akan menghapuskan semua dosa-dosaku atasmu.