Salah satu problem terbesar terhadap makanan lokal yang semakin tidak diminati masyarakat adalah semakin tingginya ketergantungan pada beras.Â
Akibatnya, harga beras pun meroket karena ketersediaan makin menipis. Keadaan ini membuat permintaan dan persediaan menjadi tidak seimbang karena aktivitas masyarakat di rumah yang cukup besar yang setiap harinya.
Berkaca dari fakta tadi, saya ingin berargumen kepada kita semua bahwa sebenarnya kita masih punya harapan, karena pangan lokal masih cukup tersedia di tanah (daerah) kita masing-masing.Â
Kenapa cemas dengan persoalan defisit beras? Kenapa kita tidak menggantinya dengan jagung atau ubi-ubian? Mungkin kita terlalu 'milenial' sehingga menganggap kalau pangan lokal itu kuno dan tidak enak. Padahal yang paling utama disini bukan soal enak atau tidaknya suatu makanan, melainkan keseimbangan gizi yang harus diprioritaskan.
Menurut penelitian Pusat Pengembangan Konsimsi Pangan (P2KP), dikatakan bahwa kandungan gizi jagung sebenarnya dua kali lebih banyak dari kandungan gizi beras.Â
Oleh karena itu, tak mengherankan apabila orang yang mengkonsumsi jagung akan mempunyai daya tahaun tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang mengkonsumsi beras.Â
Sekali lagi, makanan bergizi seimbang tidak harus mahal, tidak harus di restoran, tidak harus yang mewah, tidak harus nasi. Makanan yang bergizi adalah makanan yang diolah dengan kebersihan dapur yang terjaga, dan disajikan dengan sukacita. Sekali lagi, makanan lokal adalah milik kita.Â
Pangan lokal adalah kekayaan budaya kuliner kita yang tidak boleh diremehkan, sebab, selain baik bagi kesehatan, makanan lokal yang diolah dengan variasi, juga turut mempengaruhi stabilitas dan keberadaan pengan lokal dari suatu daerah.
Negara kita, Indonesia, mempunyai jenis makanan lokal yang sangat beragam. Karena itu, sangat tidak benar jika mengatakan bahwa kita akan kelaparan selama pandemi ini. Padahal kita sedang hidup di atas tanah yang subur dan berlimpah hasil pertanian.Â
Menurut saya, sebenarnya kelaparan terjadi bukan karena kita kekurangan makanan, tetapi karena kita 'malas' bekerja dan tidak mempunyai kemampuan untuk berkreasi, mengolah pangan lokal yang ada menjadi makanan yang istimewa dengan bentuk dan ciri-corak yang khas.Â
Ketrampilan yang dimiliki masyarakat kita dalam mengolah pangan lokal masih sangat kurang. Akibatnya, kita menjadi bosan dengan makanan yang hanya "itu-itu" saja.Â