Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Takut Lapar, Selagi Kita Masih "Sadar"

4 Mei 2020   05:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   05:19 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: IDNJurnal.com

Untuk itu, himbauan bekerja dari rumah menurut para Petani adalah tetap bekerja di kebun, sebab tanah kebun adalah rumah hidup mereka. Karena itu, kita tidak boleh memandang rendah mereka, dan memperlakukan mereka tidak adil, sebab merekalah yang selalu menyediakan kita sepiring nasi setiap hari.

Kita tahu, bahwa saat ini persoalan serius yang sedang terjadi adalah kekurangan beberapa jenis bahan pangan pokok di sejumlah Provinsi. 

Saya kira, disaat sulit ini, kita juga perlu menyegarkan pikiran kita agar tidak stres dan cemas terhadap kebutuhan hidup harian. Mengapa demikian, karena berita mengenai defisit pangan selalu berimbas pada kenaikan harga bahan pangan di Pasar. Inilah yang kadang terlupakan oleh Pemerintah.

Terlepas dari itu, saya mau mengajak kita untuk melihat kekayaan alam yang ada di daerah saya, Nusa Tenggara Timur. Dengan gugusan pulau yang tersusun rapi, NTT memiliki berbagai macam kekayaan alam. Semuanya dapat diolah untuk kebutuhan harian. 

NTT, yang dikenal sebagai propinsi peternakan dan pertanian memang mempunyai banyak hasil pertanian dan peternakan. Kalau memang hasil pertanian kita sangat berlimpah, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa banyak sekali masyarakat kita yang masih cemas, gelisah, khawatir sampai akhirnya menjadi (seolah) 'miskin' dan 'kelaparan'?

Coba kita kembali ke sejarah masa lalu, di mana pada zaman jepang, dulunya masyarakat kita mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Kemudian sekitar tahun 1965, jagung mulai sulit diperoleh. 

Akibatnya masyarakat mulai mengganti jagung dengan pangan berjenis ubi-ubian. Setelah itu, di masa orde baru, diadakanlah revolusi hijau, yang mengakibatkan pergantian pola makanan, di mana jagung diganti dengan beras. 

Pergantian pola makan inilah yang menjadi akar persoalan. Kini, beras dipandang sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakyat, sehingga kalau kita mengkonsumsi beras, itu sama saja kita telah menunjukan bahwa kita benar-benar sejahtera dan makmur. 

Kalau mengalami defisit beras, itu berarti kita akan kelaparan. Saya rasa, ini adalah argumentasi yang irasional dan karena itu, perlu adanya revolusi mental mengenai pemahaman akan pangan (lokal).

Dengan belum surutnya wabah Covid-19, tuntutan ekonomi untuk kebutuhan keluarga menjadi sangat tinggi, sehingga membuat semua orang harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. 

Keadaan seperti ini membuat para orang tua yang hidup di zaman modern kesulitan untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang kebudayaan lokal, khususnya pangan lokal, sebagai salah satu alternatif di kala pandemi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun