Sedangkan kejahatan alamiah mengacu pada penderitaan yang muncul dari determinasi alamiah, seperti cacat bawaan, gempa bumi, banjir, tsunami dan bencana alam lain. Kejahatan alamiah ini secara inheren masuk dalam struktur biologis alam, termasuk manusia. Misalnya secara alamiah tubuh kita berproses menuju 'ketiadaan' atau binatang menjadi korban dan pemangsa bagi yang lain. (Taliaferro, 1998).Â
Kalau berkaca pada persoalan saat ini, memang informasi yang ada menyangkut asal muasal virus mematikan ini masih simpang siur. Ada banyak spekulasi dan prediksi yang dikemukakan para ilmuan. Dan kita sebagai awam, hanya bisa menunggu kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai orang yang ber-Tuhan, kiranya baik kalau sejenak merefleksikan hidup yang berlangsung ditengah wabah ini, sembari mencari makna yang diberi Sang 'Ada' atas keinginan-Nya ditengah situasi gabut ini.
Sebuah tulisan klasik dari Epikurus lebih dari 2000 tahun lalu menjelaskan masalah penderitaan atau kejahatan dan adanya 'yang Transenden' (Allah) ini dengan sangat baik.Â
Dengan lugas, Epikurus menyatakan bahwa ada empat kemungkinan: (1) Allah mau meniadakan penderitaan tetapi tidak dapat; atau (2) Allah dapat meniadakan penderitaan, tetapi Ia tidak mau; atau (3) Ia tidak dapat dan tidak mau meniadakan penderitaan; atau (4) Ia mau dan dapat meniadakan penderitaan.Â
Tiga kemungkinan pertama, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan hakikat Allah yang dikenal sebagai Sang Maha. Sedangkan kemungkinan keempat nampak bertentangan dengan kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak sekali kejahatan dan penderitaan.Â
Secara sangat sederhana, kontradiksi dilematis kita saat ini dapat dirumuskan sebagai berikut: penderitaan atau tidak dapat atau tidak mau dihindari oleh Allah. Apabila diterima yang pertama, berarti Allah tidak mahakuasa, dan itu berarti sama dengan tidak ada Allah. Sedangkan apabila diterima yang kedua, Allah tidak mahabaik dan mahaadil, dan itu pun tidak dapat diterima oleh orang beriman.Â
Terhadap situasi dilematis ini, mungkin orang bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah 'misteri' yang tidak mampu dipahami oleh akal manusia sekarang ini. Atau argumentasi rasional lain ialah bahwa setiap penderitaan senantiasa memiliki makna dan maksud bagi perbaikan dan kebaikan manusia itu sendiri. Atau juga, bahwa semuanya itu adalah ujian iman dari Allah. Entahlah,,, semua itu tergantung perspektif kita masing-masing.
Aliran Kepercayaan besar sering menggambarkan konsep kesempurnaan Tuhan dengan memberi predikat ke-Maha-an. Tuhan itu Mahakuasa, Tuhan itu Mahakasih, Tuhan Mahabesar, dan seterusnya. Kemaha-an Tuhan tersebut mau menunjukkan bahwa Tuhan merupakan 'ADA' yang telah penuh dalam diriNya sendiri.Â
Tuhan tidak membutuhkan sesuatu di luar diriNya untuk mencapai kesempurnaanNya. Tuhan itu lengkap, utuh, tidak tergantung pada yang lain. Ia mengatasi dan melampaui ruang dan waktu, ada sejak keabadian, dan kekal. Terdapat pembeda yang jelas antara pencipta dan ciptaan.Â
Tuhan sebagai Pencipta tidak membutuhkan ciptaan, sementara ciptaan sangat bergantung pada penciptaNya. Tuhan juga dipahami sebagai penguasa alam semesta, dan penentu terjadinya segala sesuatu.Â
Dengan kata lain, dalam agama-agama besar (konvensional), aspek transendensi Tuhan jauh lebih ditekankan dari pada aspek imanensinya. Pemahaman tentang Tuhan seperti ini bisa menjadi suatu yang dilematis.