Mohon tunggu...
Dibbsastra
Dibbsastra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Minat saya adalah sebagai penulis cerpen, puisi, quotes, artikel, novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah di Bawah Bayang-Bayang Penjajah - Part 30

14 September 2024   06:30 Diperbarui: 14 September 2024   06:40 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serangan Terakhir

Fajar mulai menyingsing ketika Raden berdiri di puncak benteng, memandang ke arah cakrawala. Kabut pagi masih tebal, menutupi lembah di bawah benteng, namun di balik kabut itu, ia bisa merasakan kehadiran musuh yang sedang mempersiapkan serangan berikutnya. Hari itu akan menjadi hari penentu, hari di mana segala upaya mereka diuji hingga batas terakhir.

Para prajurit telah berkumpul di sepanjang dinding benteng, bersiap untuk serangan yang tak terhindarkan. Bagus, yang kini menjadi tangan kanan Raden, berdiri di sampingnya dengan wajah tegang. "Kabar terakhir dari mata-mata kita, Raden. Pasukan musuh telah menyusun kekuatan penuh. Mereka akan menyerang dalam hitungan jam."

Raden mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada kabut di depan mereka. "Aku sudah memperkirakannya. Ini adalah serangan terakhir mereka. Jika kita berhasil menahan mereka hari ini, kita akan memukul mundur penjajahan ini sekali dan untuk selamanya."

Bagus menatap pemimpinnya dengan penuh rasa hormat. "Kami semua siap mati demi tanah ini, Raden. Tapi aku percaya, di bawah kepemimpinanmu, kita akan menang."

Raden tersenyum samar, meski hatinya tetap penuh dengan kekhawatiran. "Tidak ada yang perlu mati hari ini, Bagus. Kita berjuang untuk hidup, untuk masa depan yang lebih baik. Itu yang harus kita ingat."

Saat matahari mulai meninggi, suara terompet perang terdengar dari kejauhan, menggema di antara bukit-bukit yang mengelilingi benteng. Kabut perlahan menghilang, memperlihatkan barisan pasukan musuh yang bergerak maju dengan bendera mereka berkibar di udara. Ini adalah serangan terbesar yang pernah mereka hadapi, dengan ribuan prajurit musuh siap menghancurkan benteng terakhir pertahanan Raden.

"Ini dia," gumam Raden pelan, mengambil posisi di tengah prajuritnya. "Semua prajurit, bersiaplah!"

Terompet perang dari pihak mereka pun dibunyikan, dan segera saja benteng itu hidup dengan aktivitas penuh. Para pemanah naik ke posisinya, siap melepaskan hujan panah ke arah musuh yang mendekat. Pasukan infanteri memegang erat tombak dan perisai mereka, sementara kavaleri di belakang bersiap untuk menyerbu saat pertempuran di depan mulai meletus.

Gelombang pertama musuh mulai mendekat. Mereka maju dengan penuh keyakinan, bersenjatakan perisai besar dan senjata tajam. Dari atas benteng, Raden bisa melihat komandan musuh memimpin langsung, membawa bendera besar penjajahan yang telah menghancurkan banyak tanah di seluruh negeri.

"Bidik... lepaskan!" teriak Raden kepada para pemanahnya.

Seiring dengan perintah itu, langit segera dipenuhi dengan panah yang melesat menuju musuh. Jeritan terdengar di mana-mana saat prajurit musuh terjatuh satu per satu, tertembus panah yang menghujani mereka tanpa ampun. Namun, meski banyak yang jatuh, pasukan musuh tidak gentar. Mereka terus maju, melewati mayat teman-teman mereka, dengan tekad untuk menghancurkan benteng yang berdiri megah di hadapan mereka.

Raden tahu bahwa musuh yang maju ini adalah prajurit terlatih, siap bertarung hingga titik darah penghabisan. "Infanteri, maju ke posisi!" serunya.

Pasukan infanteri Raden, yang terdiri dari para petani dan pejuang sukarelawan yang telah dilatih untuk bertempur, maju ke gerbang utama. Mereka berbaris dengan perisai di depan dan tombak siap untuk melawan gelombang musuh yang segera tiba. Suara dentuman keras terdengar ketika musuh mulai menghantam gerbang benteng dengan alat pemukul besar.

Raden bisa merasakan getaran di tanah di bawah kakinya saat musuh berusaha meruntuhkan gerbang. "Bersiaplah, ini akan jadi pertempuran yang panjang!" serunya untuk memompa semangat pasukan.

Dalam sekejap, gerbang itu pecah dengan dentuman besar, dan musuh menyerbu masuk. Pertempuran sengit segera meletus di halaman benteng. Prajurit dari kedua belah pihak saling bertarung dengan sengit, pedang dan tombak beradu, darah mengalir di atas tanah yang dulu tenang.

Di tengah-tengah pertempuran, Raden dan Bagus bergerak bersama, bertarung dengan setiap musuh yang mendekat. Raden berusaha menjaga semangat pasukannya tetap tinggi, memberikan perintah dengan tegas sambil terus bertarung. Meskipun mereka kalah jumlah, keberanian dan ketangguhan prajurit Raden membuat musuh kesulitan untuk maju lebih jauh.

Namun, musuh terus mendesak. Jumlah mereka yang begitu besar mulai memaksa prajurit Raden mundur sedikit demi sedikit. Di sudut lain benteng, musuh berhasil memasuki salah satu menara, memaksa para pemanah di sana turun dan bergabung dalam pertempuran jarak dekat.

"Bagus, kita harus mengusir mereka dari menara itu!" Raden berteriak di tengah kegaduhan pertempuran.

Bagus mengangguk dan segera memimpin sekelompok kecil prajurit untuk merebut kembali menara. Mereka bergerak cepat, menerobos kerumunan musuh dan memanjat tangga menara dengan hati-hati. Begitu tiba di puncak menara, mereka segera terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh yang telah menduduki tempat itu.

Raden, di sisi lain, memimpin serangan langsung ke tengah pasukan musuh. Dengan pedangnya yang bersinar di bawah sinar matahari pagi, ia bertarung dengan keganasan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Satu per satu musuh terjatuh di hadapannya, namun jumlah mereka seakan tak habis-habis.

Pertempuran terus berlangsung hingga matahari mencapai puncaknya di langit. Pasukan Raden semakin kewalahan, namun mereka terus bertahan, melawan dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Setiap prajurit yang gugur digantikan oleh semangat baru dari mereka yang masih bertahan.

Pada akhirnya, sebuah tanda datang. Terompet panjang terdengar dari barisan belakang musuh, dan pasukan mereka mulai mundur. Raden, yang berlumuran darah, berdiri terengah-engah di tengah halaman benteng, menyadari bahwa musuh akhirnya mundur.

"Raden, kita menang!" teriak Bagus dari atas menara yang kini sudah berhasil direbut kembali. Senyum kecil muncul di wajah Raden, meski ia tahu, kemenangan ini datang dengan harga yang mahal.

Musuh telah berhasil dipukul mundur, dan untuk pertama kalinya, benteng itu berhasil bertahan tanpa kerusakan yang berarti. Namun, Raden tahu ini bukan akhir dari segalanya. Pertempuran terakhir telah dimenangkan, tapi perjuangan untuk merdeka masih panjang.

Raden berdiri di tengah para prajuritnya yang tersisa, menatap ke arah perbukitan di kejauhan. "Ini bukan akhir," bisiknya pelan. "Tapi ini adalah awal dari kebebasan kita."

Dengan semangat baru, ia dan pasukannya bersiap untuk menghadapi hari-hari yang akan datang, percaya bahwa kemerdekaan yang mereka perjuangkan sudah semakin dekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun