Perkataan ini jelas sekali diucapkan oleh sang penemu. Sebagai lakon dalam kehidupan, manusia hanya bisa memberi yang terbaik sambil menunggu kesempatan datang. Tujuannya ketika saat itu tiba, kita mampu memanfaatkannya menjadi nasib baik.Â
Namun yang terjadi di MU tidaklah menggambarkan hal itu. Walau pemain hebat datang, kejayaan United tak kunjung membentang. Sang pelatih juga tak belajar dari berbagai kesalahannya dalam merancang strategi dan meramu komposisi pemain.Â
Kondisi ini makin diperparah dengan dewan direksi klub yang masih membiarkan kondisi tersebut terjadi walau desakan memecat Ole sudah menggema selama ia menukangi tim. Para pembesar Setan Merah merasa perjalanan sang pelatih mirip dengan Ferguson sebelum jadi pelatih legenda Red Devil. Babak belur di awal dan mendapat untung besar di akhir. Mereka harusnya ingat perjalanan seseorang tidaklah sama, apalagi sekarang banyak pelatih top dunia sedang menganggur.Â
Kegagalan taktik MU tidak hanya masalah membobol gawang lawan apalagi ketika menghadapi tim dengan garis pertahanan rendah. Setan Merah juga kewalahan dalam menjaga gawangnya tetap aman.Â
Beberapa kali gawang MU harus kebobolan dengan cara sederhana. Kesalahan sendiri yang dibuat oleh pemain di garis pertahanan menambah bencana bagi United. Mereka seakan lupa cara bertahan walau telah memiliki deretan nama besar di sana.Â
Para fan dan pandit sepak bola kerap menyalahkan beberapa individu dalam skuat, kita lupa bila sepak bola adalah permainan kolektif yang dimainkan oleh 11 orang. Kolektifitas ini yang tidak ada dalam tim Setan Merah, ketika menjaga pertahanan maupun menyerang.Â
Pada pertandingan Liga Champions tersebut, ada analisis sederhana yang bisa menggambarkan minimnya etos kerja The Red Devil sebagai sebuah tim solid. Tak ada satupun pemain yang memperhatikan overlap Davide Zappacosta sehingga leluasa mengirimkan umpan terukur ke Mario Pasalic dan berbuah goal pertama.Â
Kesatuan sebagai tim dalam menyerang sama buruknya. Ole merupakan tipikal pelatih yang memberi kebebasan pemainnya untuk berkreasi memecah kebuntuan. Apalagi materi lini tengah United mendukung hal ini dengan kehadiran Paul Pogba dan Bruno Fernandes.
Namun kebebasan yang berlebihan, tidak bijaksana diterapkan bagi Setan Merah. Para pemain menjadi terlalu bebas bergerak sehingga pola serangan United tidak jelas. Kemistri antar pemain yang belum terbangun menyebabkan disorganisasi dalam membangun serangan terjadi. Kadang kala barisan serangan United terlihat menumpuk di satu titik atau membentuk pola sejajar di depan garis pertahanan lawan.Â
Tak jarang lini tengah atau overlap dari lini belakang kebingungan mencari teman yang bebas di barisan penyerangan. Akhirnya serangan MU mudah dipatahkan dan berbuah jadi ancaman bagi lini belakang melalui skema serangan balik lawan.Â
Kolektifitas permainan yang kini amat dijunjung tinggi oleh tim elit modern tidak terlihat. Ole sangat senang memanfaatkan keterampilan individu pemain dalam mengolah bola dan menciptakan peluang. Sayang para pemain belum dewasa memanfaatkan hal tersebut. Kebanyakan dari mereka menjadi egois ketika memegang bola.Â