Akhirnya kami terus mengikuti penunjuk jalan di tiap persiapan yang cukup banyak menuju puncak. Kami dihapkan dengan persoalan baru, track pendakian semakin memutar dan cerita melegenda soal track Gn. Ciremai via Linggarjati yang yahud buat para 'penggila track' mulai terasa. Track khas gunung di wilayah Jawa Barat terdiri dari tanah, pohon tumbang, akar, dan terkadang batu terus menemani perjalanan kami namun dengan kecadasan yang makin meningkat.
Di kerapatan pohon-pohon besar Gn. Ciremai, salah satu rekan saya bernama Dadin memberikan kode kepada saya, yang berada paling belakang dan terpaut jarak cukup jauh dari rekan lainnya. Jari telunjuknya menunjuk kearah hutan bagian dalam. Rekan lainnya bernama Tole memberikan kode kepada saya dan Rudi untuk mempercepat langkah.
Karena saya amat menikmati suasana di alam, saya selalu memilih untuk berjalan paling belakang sambil mengamati sekeliling. "Buuk" terdengar suara sesuatu yang berat jatuh dari pohon, pekikan "Astaghfirullah" dari mulut ketiga rekan tadi terdengar setelahnya. Saya heran dan berteriak "ngapa lo?" Rudi kembali melempar gerak tubuhnya kepada saya untuk diam dan mempercepat langkah.
Ternyata mereka melihat sesuatu yang hitam lompat dari atas pohon, Rudi menambahkan ia mendengar suara erangan macan. Saya berkesimpulan bahwa yang mereka liat adalah macan kumbang.
Untungnya mereka tak lari, karena jika berlari sama saja menantang hewan. Bukan berlari lebih tepatnya, gerakan kaget, mungkin itu yang tepat. Melalui naluri alamiah hewan, mereka akan merasa terancam dengan gerakan seperti yang mengagetkan, mereka akan merasa terancam karena biasanya gerakan itu untuk mempertahankan diri.
Jika kalian lihat adegan seseorang yang hendak menangkap ular di film-film dokumenter, pawang ular akan melakukan gerakan perlahan kearah belakang kepala ular untuk menangkapnya. Ingat, gerakan perlahan! Bukan gerakan yang asal dikeluarkan.
Area incarannya pun bukan di depan mata ular, tapi menghindari kontak matanya dengan mengalihkan pandangan ular lewat gerakan ritmis dari tangan satunya lagi atau bantuan alat. Bagian belakang merupakan titik buta hewan, setidaknya dia tidak bisa melihat kebelakang sehingga naluri menyerangnya sedikit berkurang. Itulah alasannya jika menemukan hewan buas kita tak usah panik.
Sambil berjalan dan memberikan arahan untuk tidak memberikan gestur takut maupun gerakan yang mengagetkan, saya mengingatkan untuk saling berdekatan. Langkah kami terus diayunkan agar menjauh dari area tadi.
Mengingat hari yang semakin sore tepatnya pukul 17.00 WIB, kami memutuskan untuk membuka tenda di Pos Pamerangan. Kami berencana untuk melanjutkan pendakian menuju puncak kala pagi masih gelap sekitar pukul 02.00.
Perbincangan hangat di tenda saat pendakian adalah satu kenikmatan lain. Walau sering bertemu karena rumah kami berdekatan, namun di perjalanan menapaki puncak gunung semua sifat asli orang akan terlihat. Kami mendiskusikan itu semua sampai pada satu titik yang membuat mulut kami berhenti untuk menertawakan diri kami.