Tapi persoalan itu saya abaikan. Mungkin benar kata orang, cinta itu buta, walau merasa ditipu, saya tetap bahagia karena sedikit lagi rasa penasaran saya terhadap gunung yang satu ini terobati. Kami pun terlelap, pendakian pun di mulai pukul 08.00 WIB.
Dimulai dengan mengurusi berkas di base camp untuk data pendaki serta membayar biaya Simaksi seharga Rp 50.000 untuk satu orang, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju warung. Di sana kami santap pagi dan memulai pendakian, tanpa melupakan memanjatkan doa kepada yang Kuasa terlebih dahulu guna kelancaran dan keselamatan kami.
Perlahan namun pasti, kami menyusuri perumahan warga menuju pos 1. Tak disangka, ujian track yang melelahkan sudah dimulai. Walau jalanan masih aspal, namun kontur jalan yang berupa tanjakan serta turunan curam harus kami lewati.
Berbeda dengan pos lainnya, pos satu memiliki bangunan tersendiri. Kelebihan ini dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak sebelum memasuki keganasan alam di Gn. Cireme.
Setelah pengisian air dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian ke pos 2. Selama perjalanan menuju pos 2, hanya pohon dan suara alam yang akan ditemui. Tracknya tak seganas perjalanan ke pos satu. Pos dua menuju pos tiga juga begitu, kekejaman track Gunung Cireme belum terasa.
Di pos 3 kami istirahat sejenak sambil menyeduh kopi yang ditemani biskuit dan beberapa batang rokok. Nyanyian alam yang dikeluarkan dari suara Owa yang bersautan serta jangkrik dan deru angin menambah syahdu pagi hari itu.
Saat beristirahat, tiba-tiba hujan turun, kami panik bukan kepalang karena kami tak mempersiapkan pakaian hujan atau terpal untuk menutupi kami. Akhirnya mengingat hujan yang masih rintik, kami bergegas merapikan kompor beserta alat masaknya agar bergegas melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan tidak membuka jas hujan, keputusan ini diambil karena kabut yang menutupi.
Apa hubungannya kabut dengan hujan? Entahlah, tapi menurut pengalaman kami mendaki gunung, tebalnya kabut mengandung titik air. Kabut memiliki kontur seperti awan dan lama kelamaan akan mengeluarkan air sehingga tiap pagi kita melihat fenomena embun di daun. Dari hal tersebut kami berkesimpulan bahwa hujan ini hanya lewat, ternyata pengamatan kami benar.
Semakin dalam menyusuri hutan, suara-suara satwa semakin liar terdengar. Suara babi hutan, burung elang, jangkrik, owa, serta hewan lain yang saya tak kenali suaranya benar-benar membuat kami senang karena inilah yang kami cari, suasana alam yang jauh dari bising mesin dan polusi amat langka bagi penduduk Jakarta.
Semakin dalam kami mengikuti jalur, ternyata track pendakian Gn. Ciremai via Linggarjati banyak berubah. Kesimpulan ini kami ambil melihat banyaknya pohon yang ditumbangkan serta tanah yang masih bersih dari sampah para pendaki yang tidak memperdulikan kealamian ekosistem.