Jika kita meruntut dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebangsaan merupakan kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan persatuan merupakan gabungan (ikatan, kumpulan, dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu. Jadi kedua kata tersebut memiliki persamaan tetapi kebangsaan memiliki nafas tersendiri, kebangsaan merupakan interpretasi semangat masyarakat Indonesia dalam melepaskan belenggu penindasan. Maka, di dalam kata kebangsaan terdapat semangat anti penindasan baik model lama maupun baru.
Sedangkan kata persatuan itu memang memiliki arti yang hampir sama dengan bangsa tetapi maknanya berbeda. Persatuan sendiri hadir ketika masyarakat telah “melek” dengan kebangsaan seperti yang sudah di utarakan dalam paragraf sebelumnya. Masyarakat Indonesia “bersatu” setelah mengalami banyak kekalahan melawan penjajah sehingga memilih melawan secara bersamaan. Sehingga perasaan bersatu itu lebih lambat timbul sebelum rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan.
Walaupun Soekarno dengan pancasila versinya menginginkan Kebangsaan Indonesia sebagai dasar negara tetapi, presiden pertama itu tidak menginginkan rakyatnya menghamba pada negara dan mengakibatkan chauvinisme. “Saudara-saudara. Tetapi tetapi memang prinsip kebangsaanini ada bahayanya. Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme sehingga berpaham “Indonesia Uber Alles”.Inilah bahayanya kita cinta tanah air yang satu, merasa bangsanya yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita hanya sebagian kecil saja daripada dunia ingatlah akan hal ini”.
Indonesia tanpa kebangsaan seperti mengenakan kaca mata hitam di malam hari, tidak melihat dan berjalan tanpa arah seperti saat ini. Egoisme agama semakin menjadi, ketidak adilan antara si kaya dan miskin, dan pembunuhan antar masyarakat menjadi potret di harian surat kabar kini. Seharusnya kita mengingat semangat leluhur untuk memerdekakan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang tertindas dan anti penjajahan dalam bentuk baru.
Penulis mengatakan “restorasi” karena kita, Masyarakat Indonesia, telah lupa mengenai azas kebangsaan ini. Walaupun azas tersebut tidak di tulis dalam lima sila seperti sekarang tetapi, penulis berharap masyarakat terus mengingat makna dari sila kebangsaan sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak untuk Indonesia lebih baik.
artikel sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H