Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membongkar “Borok” Pers Indonesia

31 Mei 2016   14:22 Diperbarui: 31 Mei 2016   17:02 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wartawan terakhir adalah wartawan yang jujur, inilah wartawan sesungguhnya. Memang tidak banyak tetapi masih ada yang bisa kita percaya. Faktor utama dari wartawan jenis terakhir adalah hati nurani mereka. 

Ideologi para wartawan ini masih berkobar sama seperti ketika mereka di dunia perkuliahan. Ada pula karena faktor perusahaan, dengan ketatnya regulasi dan pengawasan dari media tempatnya bernaung para awak media menjadi takut untuk mengambil uang tadi.

Faktor lain yang membuat masih ada wartawan seperti ini berkat upah tinggi yang di berikan oleh media mereka. Untuk itu para wartawan merasa tidak terlalu memerlukan uang. 

Terakhir adalah faktor besarnya media tempat mereka bernaung, media juga memiliki citra dan sejarah panjang sehingga para wartawannya takut untuk berbuat sesuatu yang mampu mencoreng media mereka. Pendidikan selama masa orientasi menjadi salah satu peran media dalam mengontrol wartawannya di lapangan untuk tidak berbuat curang.

Lalu bagaimana dengan permainan perusahaan atau para petinggi perusahaan? Dalam Komunikasi terutama Jurnalistik terdapat teori bernama Agenda Setting, teori ini pada intinya agenda yang di buat oleh media mempengaruhi khalayak, contohnya seperti kasus perempuan tewas karena kemaluannya di tusuk oleh cangkul. Semua media memberitakannya sehingga masyarakat terhanyut dalam perkembangan kasus tersebut dan melupakan kasus-kasus yang telah lalu seperti korupsi.

Praktik kotor lainnya adalah memilih mana berita yang layak ditayangkan dan mana yang tidak. Faktor yang menyebabkan penyortiran seperti ini lebih banyak karena faktor kepentingan pemilik perusahaan. 

Kalo kita ingat berbagai macam kasus korupsi yang membelit beberapa elite politik di negeri ini pasti sebagian media yang di miliki oleh tokoh dari parpol bermasalah tadi tidak memberitakan kasus itu, sebaliknya juga lawan politiknya yang terjangkit kasus, media tadi “menghabisi” parpol lawannya dengan berita yang terus menerus dipublikasikan dengan tema sama bahkan terkadang di ulang dengan konten berita yang sama.

Penulis pernah punya pengalaman tentang hal tersebut. Penulis memiliki rekan ketika sedang meliput, dirinya selalu mengeluh soal beritanya yang sering tidak dinaikkan oleh editor. Alasannya berita yang dibuat olehnya merugikan pemilik media, pemilik medianya merupakan tokoh dari parpol yang sedang di perbincangkan. Sehingga rekan saya tadi menggambil sudut pandang berbeda agar beritanya di angkat oleh medianya. Menyedihkan bukan?

Bingkai berita atau dalam komunikasi jurnalistik di kenal sebagai framing, adalah sebuah cara wartawan untuk membuat berita, membingkai berita yang dianggap penting oleh wartawan dan tidak. Framing menggiring pembaca menuju tujuan yang di inginkan oleh para penulis berita. Contohnya seperti skripsi penulis berjudul “Konstruksi Berita Para Calon Presiden 2014”. 

Penulis mengambil salah satu majalah terkenal di Indonesia sebagai objek penelitian dengan dua edisi berbeda. Kedua edisi tersebut sama sama membicarakan capres 2014 yaitu Prabowo dan Jokowi. Tetapi dalam bingkai beritanya, media tadi berbicara mengenai Prabowo dengan masa lalu kelam tetapi saat memberitakan Jokowi, mereka hanya membicarakan kehebatannya tanpa kesalahan Jokowi.  Lebih parah lagi, media tadi secara tersirat mengungkapkan alasannya ikut berpolitik karena masa lalu yang telah media itu rasakan.

dokpri
dokpri
Lalu bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi masalah ini, padahal kita sangat membutuhkan berita sebagai informasi serta menambah wawasan kita. Penulis pernah membaca buku berjudul “Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus” karangan Jacob Oetama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun