Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membongkar “Borok” Pers Indonesia

31 Mei 2016   14:22 Diperbarui: 31 Mei 2016   17:02 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pers. Kompas.com

Pers sangat penting bagi negara penganut sistem demokrasi, hal ini di sebabkan karena titik kekuasaan demokrasi di pegang oleh rakyat. Sementara itu guna mengetahui situasi di negaranya, masyarakat harus melihatnya dari berbagai sumber berita. Berita adalah sebuah informasi yang di cari di olah berdasarkan fakta yang ada oleh wartawan, sehingga berita adalah salah satu produk pers.

Karena pengaruh besarnya terhadap peta perpolitikan Indonesia, pers diangkat menjadi salah satu dari empat pilar kebangsaan yang di kembangkan oleh Taufiq Kiemas dan dicetuskan pertama kali oleh Mertuanya sekaligus Presiden Pertama R.I Ir. Soekarno. Selain pers di dalam kerangka empat pilar kebangsaan terdapat eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Tetapi akhir-akhir ini Pers Indonesia mendapatkan berita yang kurang sedap menyangkut salah satu harian terbesar dan terkenal Indonesia yaitu Tempo. Tempo dituding berbalik arah menyerang Gubernur DKI Jakarta, Basuki C.P atau Ahok, padahal sebelumnya pemberitaan Tempo dinilai beberapa kalangan mengangkat citra Ahok. Banyak isu yang beredar akibat kisah yang kurang elok itu, mulai dari pendapatan Tempo kian menurun dan sebagainya.   

Melihat situasi ini, ada baiknya masyarakat lebih bisa menilai mana berita yang layak dan tidak untuk di baca, mana media yang transparan dan sebaliknya, serta bagaimana cara kita sebagai masyarakat untuk memilter semua berita agar kita tidak terhanyut dalam “setting” media. Mari simak ulasannya berikut ini.

Sebenarnya banyak sekali kecurangan yang terjadi di dalam pencarian maupun pembuatan berita. Kecurangan itu terjadi mulai dari pewarta maupun petinggi media. Mari kita mulai dengan para pewarta atau wartawan pembuat berita.

Wartawan kita klasifikasikan menjadi beberapa bagian, ada wartawan, wartawan kacangan maupun wartawan jelmaan. Wartawan jelmaan adalah orang yang datang ke sebuah forum diskusi yang mengundang wartawan untuk meliput. Mereka, (dibaca: wartawan jelmaan) bukan wartawan, mereka hanya mengaku sebagai wartawan tetapi tidak memiliki naungan atau perusahaan.

Mereka datang ke forum tersebut hanya mencari uang, biasanya mereka meminta secara paksa kepada humas atau penanggung jawab acara. Para wartawan jelmaan tahu akan ada acara biasanya dari orang yang dimintai uang oleh mereka, karena sang humas atau penanggung jawab acara telah tertipu oleh para wartawan jelmaan itu. Selain itu ada juga mantan wartawan yang tidak dipakai lagi sehingga menjadi wartawan jelmaan tadi atau biasa disebut bodrek.

Wartawan model tadi biasanya tidak mempublikasikan jalannya acara karena memang dia tidak memiliki media naungan, terkadang dia hanya menggunakan blog atau situs yang telah dia buat-buat sendiri. Sehingga masyarakat harus hati-hati jika ingin membaca berita.

Penulis juga pernah menjadi korban wartawan jenis ini, karena waktu itu ada seseorang yang menggunakan nama serta media tempat saya bernaung untuk masuk ke acara. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan karena bisa mencoreng kredibilitas.

Wartawan jenis kedua adalah wartawan kacangan, mereka memiliki media tempat bernaung tetapi tetap menerima uang hasil liputan. Menerima uang merupakan hal paling haram dalam dunia pers, hal ini bisa mempengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu dan berdampak pada tulisan yang kita buat.

Uang tersebut diberikan untuk mengangkat citra perusahaan atau seseorang di mata masyarakat. Hal ini yang paling ditakutkan oleh insan pers karena fungsi pers adalah untuk mendidik dan mengawal pemerintah tetapi beritanya bisa dipermainkan.

Wartawan terakhir adalah wartawan yang jujur, inilah wartawan sesungguhnya. Memang tidak banyak tetapi masih ada yang bisa kita percaya. Faktor utama dari wartawan jenis terakhir adalah hati nurani mereka. 

Ideologi para wartawan ini masih berkobar sama seperti ketika mereka di dunia perkuliahan. Ada pula karena faktor perusahaan, dengan ketatnya regulasi dan pengawasan dari media tempatnya bernaung para awak media menjadi takut untuk mengambil uang tadi.

Faktor lain yang membuat masih ada wartawan seperti ini berkat upah tinggi yang di berikan oleh media mereka. Untuk itu para wartawan merasa tidak terlalu memerlukan uang. 

Terakhir adalah faktor besarnya media tempat mereka bernaung, media juga memiliki citra dan sejarah panjang sehingga para wartawannya takut untuk berbuat sesuatu yang mampu mencoreng media mereka. Pendidikan selama masa orientasi menjadi salah satu peran media dalam mengontrol wartawannya di lapangan untuk tidak berbuat curang.

Lalu bagaimana dengan permainan perusahaan atau para petinggi perusahaan? Dalam Komunikasi terutama Jurnalistik terdapat teori bernama Agenda Setting, teori ini pada intinya agenda yang di buat oleh media mempengaruhi khalayak, contohnya seperti kasus perempuan tewas karena kemaluannya di tusuk oleh cangkul. Semua media memberitakannya sehingga masyarakat terhanyut dalam perkembangan kasus tersebut dan melupakan kasus-kasus yang telah lalu seperti korupsi.

Praktik kotor lainnya adalah memilih mana berita yang layak ditayangkan dan mana yang tidak. Faktor yang menyebabkan penyortiran seperti ini lebih banyak karena faktor kepentingan pemilik perusahaan. 

Kalo kita ingat berbagai macam kasus korupsi yang membelit beberapa elite politik di negeri ini pasti sebagian media yang di miliki oleh tokoh dari parpol bermasalah tadi tidak memberitakan kasus itu, sebaliknya juga lawan politiknya yang terjangkit kasus, media tadi “menghabisi” parpol lawannya dengan berita yang terus menerus dipublikasikan dengan tema sama bahkan terkadang di ulang dengan konten berita yang sama.

Penulis pernah punya pengalaman tentang hal tersebut. Penulis memiliki rekan ketika sedang meliput, dirinya selalu mengeluh soal beritanya yang sering tidak dinaikkan oleh editor. Alasannya berita yang dibuat olehnya merugikan pemilik media, pemilik medianya merupakan tokoh dari parpol yang sedang di perbincangkan. Sehingga rekan saya tadi menggambil sudut pandang berbeda agar beritanya di angkat oleh medianya. Menyedihkan bukan?

Bingkai berita atau dalam komunikasi jurnalistik di kenal sebagai framing, adalah sebuah cara wartawan untuk membuat berita, membingkai berita yang dianggap penting oleh wartawan dan tidak. Framing menggiring pembaca menuju tujuan yang di inginkan oleh para penulis berita. Contohnya seperti skripsi penulis berjudul “Konstruksi Berita Para Calon Presiden 2014”. 

Penulis mengambil salah satu majalah terkenal di Indonesia sebagai objek penelitian dengan dua edisi berbeda. Kedua edisi tersebut sama sama membicarakan capres 2014 yaitu Prabowo dan Jokowi. Tetapi dalam bingkai beritanya, media tadi berbicara mengenai Prabowo dengan masa lalu kelam tetapi saat memberitakan Jokowi, mereka hanya membicarakan kehebatannya tanpa kesalahan Jokowi.  Lebih parah lagi, media tadi secara tersirat mengungkapkan alasannya ikut berpolitik karena masa lalu yang telah media itu rasakan.

dokpri
dokpri
Lalu bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi masalah ini, padahal kita sangat membutuhkan berita sebagai informasi serta menambah wawasan kita. Penulis pernah membaca buku berjudul “Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus” karangan Jacob Oetama. 

Saya mohon izin kepada  Mbah Jacob mengutip kata-katanya yang indah “Kemerdekaan pers sebagai bagian sekaligus perangkat demokrasi tidak menghapuskan ketidaktulusan. Tetapi ketidaktulusan lebih mudah dideteksi dalam masyarakat yang terbuka. Lagi-lagi orang harus belajar hidup dan berkomunikasi dalam kondisi baru”.

Maksud dari kutipan tadi adalah pers bebas tidak menjamin insan pers mempublikasikan beritanya dengan sejujur-jujurnya, tetapi kita sebagai masyarakat yang selalu mengkonsumsi berita akan dengan mudah menilai mana yang baik dan buruk. Sehingga saran dari penulis adalah:

  1. Jangan pernah mengkonsumsi satu media, kita harus mencari informasi dari berbagai sumber media. Setelahnya kita harus menyaring berita yang arif dan tidak.
  2. Bagai mana agendanya, jika di media nasional lain memberitakan satu berita sedangkan sebagian kecil media tidak mengangkat topik tersebut bisa jadi media itu punya kepentingan.
  3. Liat juga sudut pandang yang di angkat dari berita yang dipublikasikan. Berimbang atau memberatkan pihak tertentu karena keberimbangan adalah salah satu hal penting dalam pers.
  4. Terakhir jangan mudah percaya dengan pemberitaan yang ada, bisa jadi itu hanya subjektivitas media sehingga kita harus kritis dan terus belajar dan membaca.
  5. Sebisa mungkin mengonsumsi berita dari media ternama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun