Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Empat Penyembah

27 April 2016   08:29 Diperbarui: 27 April 2016   09:05 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara azan subuh dan kokok ayam membangunkan penduduk di kampung segel, sebuah kampung di pinggiran Jakarta tempat aku menghabiskan 23 tahun hidupku. Pria wanita, tua muda semuanya bangun dari peraduannya untuk menyiapkan diri menyembah pada yang kuasa. Ada pula diantara mereka yang menyiapkan bekal untuk perjalanan panjang yang melelahkan demi sejumlah uang. Bagaimana tidak, setiap pukul enam di jalanan kampung ku selalu di jejali dengan motor dan mobil yang memadati jalanan. Maklum saja jalanan kampung ku memang dikenal sebagai salah satu jalan memotong untuk mempercepat perjalanan kearah jalan raya Pasar Minggu.

Jam menunjukan pukul enam, para warga bergegas dengan sepeda motornya yang mengeluarkan asap seperti alat foging, berpacu melawan indahnya kemacetan hari Jumat. Pak Rt tak mau kalah dengan warganya, dengan kepala pelontos dan kumis tebalnya dia memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi bagai bumi akan kiamat esok hari. Mukanya yang sangar seketika berubah jadi penyanyang saat sang anak yang duduk di belakang memintanya untuk mengendarai motornya secara perlahan.

Erik tak mau ketingalan, dirinya juga bergegas untuk ke sekolah hari itu karena di hari yang menurut sebagian orang membawa berkah tersebut ada ujian matematika di kelasnya. Pria berumur 18 tahun tersebut sekolah di SMA Kelet yang terletak tak jauh dari rumahnya. Dengan baju seragam khas sekolahnya tak lupa dengan celana yang baru di belinya dari toko baju ia amat riang menyongsong pagi itu. Karena dekat dengan rumah, pria berulit putih langsat dan bermata sipit ini lebih suka berjalan kaki untuk menuju sekolahnya, tak lupa dia menyampar teman sekelasnya sekaligus teman sejak kecilnya yaitu Bokir. Karena lamanya pertemananan mereka, keduanya saling mengenal satu sama lain.

Bokir merupakan orang yang paling dekat dengan Erik mereka berdua sudah mengenal sejak masih cengeng hingga kini mampu saling hajar jika berbeda pendapat. Kediaman Bokir memang sangat dekat dengan Erik, hanya berbeda empat rumah untuk sampai ke rumah Bokir dari rumah Erik. Bokir merupakan pria yag memiliki perawakan kurus, hitam dan juga memiliki rambut yang ikal sehingga dia sering dipanggil jeger oleh teman-temannnya akibat mukanya yang cukup seram.

Setelah bertemu dengan Bokir, mereka berdua lantas melanjutkan perjalanan. Mulai dari jalanan yang mampu di lewati dengan satu mobil hingga gang sempit yang hanya mampu dilewati satu orang mulai mereka susuri. Maklum saja, walaupun terlihat di banyak sekali media massa bahwa Jakarta merupakan salah satu kota yang mewah, tetap saja banyak daerah yang kumuh mengelilinginya. Inilah sebenarnya realita yang terjadi diantara kepungan hutan beton masih saja ada kumpulan debu yang berserakan mengelilinginya. Jalan yang selalu mereka lalui menjadi saksi bisu perjalanan hidup mereka di kota Jakarta yang terbilang keras tak kenal batas. Gang demi gang di lewati, seng dan terpal sebagai atap gubuk yang dibiarkan menjorok ke gang oleh pemiliknya menjadi penghalau mentari yang malu menampakkan sinarnya. Rumah-rumah lusuh dari bilik kardus dan bambu menjadi pengantar perjalanan panjang yang tak pernah di duga oleh kedua lelaki tersebut.

 Akhirnya mereka tiba di sebuah jembatan yang terbuat dari sebilah bambu sebagai pemisah antara daerah kumuh dan peradaban kota. Dengan santainya mereka melewati jembatan tersebut sambil tertawa riang melihat tingkah bocah yang memberi tinta kepada poster politikus. Dibuatnya gigi dengan warna hitam lalu tompel di pipi sebelah kiri poster. Tidak hanya itu bocah yang berumur sekitar tujuh tahun itu juga memberikan aksen kumis di bagian bibirnya tetapi kumis itu hanya berada di sisi kanan kiri mulut foto poster calon Gubernur DKI Jakarta.

Seketika muncul seorang lelaki dengan membawa karung dan juga perkakas lainnya untuk mengambil barang-barang yang sudah usang untuk di jual kembali dari balik rumah dengan poster tadi. Laki-laki itu berteriak mengusir sang bocah, tetapi sayangnya setelah memperhatikan karya sang bocah, dia malah tertawa kegirangan. Laki-laki yang tadinya mengusir menyuruh sang bocah bersiap untuk bekerja mengikutinya malah mengambil spidol sang bocah. Dengan tangan kurusnya dia menambahkan gambar kelamin laki-laki yang ia rasa sangat pantas di gambar di muka sang pembual. Gambar itu di buat di dekat mulut manis sang calon, seperti menggabarkan bahwa si calon dari salah satu partai terkemuka di republik ini telah gagal dan lebih baik diam dari pada dia hanya memeberi senyum yang membawa luka.

Ya, memang sebenarnya wilayah tersebut akan di gusur tanpa ada konpensasi yang jelas kepada warga. Padahal dalam janji kampanye sebelumnya sang calon petahanan mengatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti jejak gubernur terdahulu dengan hobi gusur-gusur warga. Sehingga warga merasa amat sangat kesal dengan kelakuan pemimpin mereka. Bukan hanya itu, kabarnya tanah yang luas melebihi pandangan mata orang dewasa tersebut akan dijadikan mall oleh pemerintah. Pemerintah dan warga pernah berdialog dengan warga tetapi hal itu tetap tak mendapatkan titik temu karena kedua kubu saling bersikukuh untuk memperjuangkan hak mereka. Sampai satu ketika warga di berikan surat peringatan untuk meninggalkan pemukiman. Warga yang marah akhirnya memblokade jalan masuk pemukiman, bentrokan pun tek terelakan. Kabarnya ada puluhan polisi dan satpol pp yang terluka dan sepuluh diantaranya meninggal dunia akibat serangan warga yang membabi buta. Maklum saja tempat tinggal ku merupakan wilayah yang di kenal tempat tinggalnya para ahli dalam bela diri.

Setelah jembatan yang bergoyang saat di lalui itu telah dilewati, mereka berjalan lurus muju sekolah. Tak lama berselang mereka sampai ke tempat yang di tuju, mereka pun bergegas masuk. Mereka melihat jam dan ternyata jam menunjukan pukul tujuh pagi, waktunya mereka untuk bertemu dengan pria yang selalu menjejali mereka sesuatu yang bermanfaat menurut mereka. Erik dan Bokir yang satu kelas dan satu tempat duduk, berdampingan menunggu sang lelaki untuk datang.

Hujan mulai membasahi wilayah Selatan Jakarta pukul tujuh pagi. Hujan semakin deras, jalanan yang berlubang mulai dipenuhi dengan genangan air yang cukup dalam. Walau begitu para pelajar tetap bersemangat untuk menyongsong ilmu demi gapai masa depan. Tak terasa waktu menunjukan pukul 15.00, pelajar mulai keluar dari bilik pemisah antara dunia nyata dan dunia mimpi. Semua pelajar berjalan cepat dengan muka girang keluar dari gerbang, ada yang telah di tunggu oleh orang tuanya ada pula yang di tunggu oleh pasangannya untuk segera melepas rindu.

Wajah senang terpancar dari seluruh anak, termasuk Erik dan Bokir yang juga berjalan di tegah kerumunan pelajar. Setelah menempuh perejalanan selama satu jam Erik dan Bokir yang baru pulang sekolah tiba di kediaman Erik. Bokir memang kerap singgah di rumah Erik, karena disana merupakan tempat nyaman untuk bercengkrama. Terlebih lagi rumah Erik memang jarang dikunjungi oleh kedua orang tuanya yang bekerja, yang tersisa hanya tiga kaka perempuan yang menjaga rumahnya.

Dengan ponsel pintarnya Erik menghubungi Boni, seorang rekannya yang nasibnya lebih baik karena Boni telah lulus SMA dan sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di salah satu kampus swasta di Indoensia. Boni di undang untuk datang ke rumah Erik, ternyata hari itu bertempatan dengan tanggal lahir Erik sehingga ia ingin teman-teman terbaiknya datang dang berpesta bersama. Bukan hanya Boni, Kiki juga di undang datang. Kiki adalah mantan tetangga Erik yang sekarang tinggal di Tanggerang tetapi mereka sering bertemu karena tempat kerja Kiki dekat dengan kediaman Erik.

Tak lama berselang Boni datang  tetapi sayang sekali Kiki tidak bisa datang sehingga dia datang pada saat malam hari. Menyambut Boni yang datang, Erik menyuguhkan minuman bersoda kepada Boni, sedangnkan Bokir yang telah mengantuk akibat kekenyangan memakan jengkol buatan ibu Erik yang terkenal enaknya satu kampung itu telah tertidur pulas. Aku juga mengakui masakan ibu Erik, tak jarang ia juga mendapat pesanan dari tetang untuk membuat masakan dalam acara hajatan. Boni mengeluarkan bungkus rokoknya, dengan perlahan tapi pasti dia mulai mengetuk rokok di bagian atas agar tembakau yang ada di dalam rokok tersebut padat. Setelah padat Boni mengambil satu batang rokok perlahan dari dalam bungkus dengan mulutnya. Lalu api dinyalakan untuk membakar rokok itu, seketika asap mengepul di dalam ruangan. Erik memperdengarkan lagu yang berliran rock alternatf untuk menghidupkan suasana yang mendung itu. Mereka banyak bercakap dan tertawa sehingga membangunkan Bokir, Bokir yang kesal merasa terganggu malah menyalakan telephone genggamnya lalu membuat status di BBMnya, “ah sue lagi mimpi bereng britney spirs malah kebangun”.

Tak terasa hari mulai gelap dunia mereka baru di mulai untuk memulai hari. Kiki datang sekitar pukul 20.00 membawa tentengan dari warung yang tadi dikunjunginya. Ternyata di dalam kantung belanjaan itu terdapat jamu yang mampu memabukan. Mereka berempat memang memiliki kebiasaan unik saat berpesta merayakan sesuatu yaitu mereka akan minum dan mabuk hingga pagi. Minuan segera di tuangkan, batu es menjadi teman menemani minuman. Asap rokok semakin banyak mengepul, karena saat ini mereka berempat menghisap rokok secara bersamaan. Kiki tak lupa memboyong kacang serta biskuit dalam kantung belanjaannya untuk menemani minuman yang berasa kecut dan pait di dalam mulut. Minuman di tuangkan kedalam gelas dengan es batu yang sudah di letakan dalam gelas sebelumnya. Prosesi meminum pun di mulai dari orang yang memiliki hajat yaitu Eric lalu gelas itu diberikan kepada Bokir kemudian berpindah ke tangan Boni serta terakhir kepada Kiki, begitulah urutan meminum saat itu. Tak teasa gelas berisi minuman itu telah berputar sebanyak 20 putaran, tetapi minuan itu belum habis. Waktu menunjukan pukul 24.00, Erik mengeluarkan rokok yang di linting dengan asal. Rokok tersebut sangat berbeda dengan rokok pada umumnya, rokok itu lebih kecil dan lebih lusuh dari rokok kretek pada umumnya.

Ternyata rokok itu adalah ganja yang merupakan barang terlarang atau narkoba. Mereka ternyata sangat menggemari narkoba tersebut yang selalu di belinya dari seseorang bandar yang telah lama dikenalnya. Ganja tersebut lalu di bakar dan mereka menghisapnya secara bergiliran sama seperti urutan ketika mereka minum minuman yang memabukan tadi. Seketika mata mereka berubah menjadi mereah dan terlihat seperti orang mengantuk. Rokok tak putus di hisap untuk menyamarkan bau khas yang dikeluarkan oleh ganja. Minuman juga tak luput di minum oleh empat pemuda tadi. Mereka merasa sangat nikmat mengkonsumsi barang-barang tesebut, malamnya terasa indah dan tertawa menemani mereka hingga pukul 02.00.

Kamar Erik berada di lantai dua rumahnya sehingga jarang sekali orang rumahnya untuk naik melihat keadaan di atas sehingga mereka sangat leluasa melakukan apapun di kamar Erik. Itulah alasan mengapa rumah Erik selalu menjadi tempat berkumpulnya mereka melakukan pesta gilanya. Cuaca saat itu sangat sejuk akibat hujan yang terjadi sepanjang hari. Cuaca itu menambah nikmatnya barang yang mereka konsumsi. Asap ganja dan rokok saling beradu dalam ruangan, ruangan menjadi sangat pengap. Satu persatu dari mereka mulai tertidur lemas akibat efek yang di keluarkan oleh ganja. Kesadaran mereka mulai hilang, perkataan mereka mulai kacau. Maklum saja mereka telah menghabiskan 7 linting ganja dan 5 liter minuman beralkohol serta tak ter hitung berpa jumlah puntung rokok yang telah menutupi asbak.

Tiba-tiba seseorang mendobrak masuk kamar mereka, ternyata orang itu adalah polisi yang telah lama mencium gerak-gerik mereka berempat dan polisi datang di waktu yang terpat ketika mereka memang sedang mengkonsumsi dan memegang barang haram tersebut. mereka yang telah malas berbuat apapun akibat efek ganja tidak bisa berbuat apa-apa. Barang bukti ganja yang masih tersisa sebanyak 3 linting dibawa petugas. Kiki meronta-ronta akibat tidak terima dirinya dibawa paksa oleh polisi. Dinda, Ade, dan Galuh menangis melihat adik kesayangannya, Erik, harus dibawa pihak kepolisian.

Ayah Bokir yang sering berkumpul dengan bapak-bapak lainnya termasuk Pak Rt di warkop dekat rumah Erik juga meratapi anak semata wayangnya di bawa oleh polisi. Air mata tumpah dari mata Bokir yang melihat ayahnya terlihat terpukul akibat kejadian memalikan itu. Ekspresi 6 Bapak-Bapak lain yang sedang berkumpul di warkop pendaki itu juga sama, mereka kebingungan melihat cepatnya proses penangkapan. Mereka terdiam melihat generasi muda warganya ada yang tersandung kasus narkoba. Pak Mudi salah satu Bapak yang ada di warkop itu mengelus pundak Ayah bokir yang bernama Bonde untuk menenangkannya. Tetapi tetap saja air mata bercuran dari air mata Pak Bonde.

Ditengah keheningan dan suara jangkrik, Pak Rt terlihat sangat  kebingunagan. Maklum saja, oprasi tangkap tangan ini tak pernah di duga olehnya. Pak Rt yang bernama Nazar itu menoleh ke belakang, melihat keadaan sekeliling. Dengan badan gempalnya dia berjalan menjauhi kerumunan Bapak-            Bapak tadi. Naas, polisi telah melihat tingkah lelaki berumur 47 tahun itu. Polisi dengan sigap mengamankan pria berkulit sawo matang itu, Nazar hanya bisa mengikuti perintah petugas yang menodogkan senjata kearahnya untuk tengkurap. Borgol di kenakan di kedua pergelangan tangan Bapak dua anak tersebut. Dia hanya bisa meminta ampun kepada polisi yang memborgolnya.

Aku yang tinggal di seberang rumah rumah Erik melihat segala prosesi penangkapan mereka karena aku sedang di teras rumah untuk menikmati rokok dan kopi hitam yang pas menemani malam yang tenang ini. Saat rokok yang ku hisap telah tersisa setengah, datang lima mobil polisi tanpa membunyikan sirine dan menyalakan lampu dan berhenti tepat di depan rumah Erik. Aku yang aneh melihat kejadian ini, segera keluar dari rumah dan melihat ada enam polisi yang masuk secara paksa ke rumah Erik. Kaka pertama Erik bernama Dinda segera keluar rumah dan berbicara kepada polisi. Sekitar satu menit polisi masuk dan kurang dari lima menit mereka telah keluar dari dalam rumah Erik dengan membawa empat orang yang telah menyembah kepadea barang haram.

Mata ku sedikit nakal, aku melihat gelagat aneh yang di keluarkan oleh Nazar. Dia berjalan dengan sangat hati-hati dan perlahan menjauhi warkop. Tetapi ada salah seorang polisi yang tadinya berjalan ke arah ku melihat kelakuan Nazar. Polisi itu berlari dan berhasil menangkap Nazar. Nazar yang meminta ampun tanpa perlawanan. Orang yang di kenal garang sepertinya mampu menangis akibat ulahnya sendiri. Aku hanya bisa memandangi yang terjadi pagi ini, pagi yang seharusnya indah bagi Erik dan pagi yang sejuk bagi dunia.

Ternyata Nazar adalah bandar tempat Erik selalu membeli barang haram tersebut. Nazar selalu bertransaksi dengan para pembelinya jauh dari rumah untuk mengelabuh petugas, sehingga mereka berdua sering membuat janji di kebun dekat sekolah untuk melakukan pembelian. Erik dan Bokir sebelumnya telah mencoba barang yang telah di belinya Jumat pagi sehingga mereka tidak masuk sekolah. Mereka tertidur di kebun tempat mereka membeli dan mengkonsumsi ganja itu bersamaan. Nazar selalu bekerja menyalurkan ganjanya kebeberapa orang dan beberapa kurir yang ia percayai sehingga tiap pagi ia tergesa-gesa mengantarkan barang dagangannya. Untuk mengelabuhi orang-orang ia selalu membawa anaknya untuk ikut bersamanya sehingga terlihat dia ingin mengantarkan anaknya sekolah bukan untuk mengantarkan barang.

Warga yang melihat kejadian penangkapan Nazar terlihat malu akibat kelakuan pemimpin yang seharusnya memberi contoh baik kepada mereka. Nazar menangis memohon untuk dibebaskan kepada polisi. Polisi segera mengangkat tubuh gempalnya, ia pun di gelanggang ke kantor polisi. Dengan tergesa-gesa polisi menyeret tubuh Nazar yang terus meronta karena tidak mau dimasukan ke bui.  Tetapi polisi tetap memaksa tubuhnya masuk ke mobi, aku melihat sepintas tangan seorang polisi masuk ke sekitaran perut Nazar, Nazar pun diam akibat pukulan telak polisi yang tepat bersarang di dekat lambungnya. Nazar masuk ke dalam mobil polisi, seketika sirine mobil yang membawa Nazar di bunyikan, termasuk mobil yang membawa Eric, Bokir, Boni, dan Kiki. Aku melepas kepergian keempat teman sepermainan ku dengan rasa sedih, aku terus memandangi iring-iringan polisi yang semakin lama terlihat semakin kecil dan akhirnya menghilang dalam kegelapan sambil merasa pedih akibat ayahku juga digelangang oleh mobil-mobil itu bersamaan dalam gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun