Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Lebaran, Ketika Pintu-pintu (Hati) Terbuka

12 April 2024   13:29 Diperbarui: 15 April 2024   16:42 2105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mboten mas. Pokoke dhahar riyin, mangkih sek pareng kundur," kata Mbah Kotim. Tidak mas. Pokoknya makan dulu, baru boleh pulang. Mbah Kotim melarang kami pulang sebelum mecicipi hidangan lebaran yang dihidangkan di meja ruang belakang rumahnya.

**

Mbah Kotim tinggal di dusun Butuh Kulon. Tinggal di rumah menghadap ke selatan yang dibangun bertahap.

"Awalnya rumah ini dibangun berdinding anyaman bambu, lalu saya perbaiki dengan tembok setelah uang terkumpul," lanjutnya bercerita. Mbah Kotim kalau tidak keliru memiliki tiga orang anak. Satu perempuan dan dua lelaki.

"Dulu awal berdagang saya diajari Pak Niti," katanya mengingat.

Pak Niti adalah tetangga di Posong. Yang memiliki banyak sawah dengan hunian bertanah luas. Dapat mencapai 5.000 m2.

"Pak Niti berpesan supaya berdagang beras saja supaya bisa sambil momong," lanjut Mbah Kotim.

Ia bercerita dulu bekerja sambil momong si sulung perempuan. Air susunya sampai tumpah membasahi bajunya. Maka Pakde Niti, begitu saya memanggil, timbul rasa kasihan. Dan menyarankan berdagang yang secara waktu dan tenaga lebih leluasa.

Pernah berdagang beras, buah-buahan, singkong atau apa saja yang menghasilkan uang.

"Riyin saged tumbas griya sisih wetan nika mas, gendhenge 1.600," ceritanya mengenang.

Rumah yang pertama dibeli beratap genteng sebanyak 1.600 buah. Secara ukuran ia adalah rumah yang tidak terlalu besar. Tetapi ia dan suaminya senang akhirnya bisa beli rumah.

"Saya dulu bekerja keras mas, sungguh tidak mudah," katanya sambil membetulkan duduknya. Bahwa banyak proses tidak mudah yang sudah dijalani.

Rumah Mbah Kotim bertiang empat di terasnya. Gebyok masih menempel di dinding bagian dalam. Dua atau tiga set kursi memenuhi ruang tamunya. Saka guru bertiang empat menjadi ciri khas rumah Jawa pada masa itu.

Banyak cerita mengalir. Mbah Kotim seperti dengan mudah menemukan file perjalanan hidupnya. Semua tertata rapi di database alam bawah sadar.

Saya baru ingat belum menyampaikan selamat lebaran. Menyampaikan sepotong harapan baik supaya Mbah Kotim tetap sehat dan tutug momong anak-putu, puas menemani seluruh keluarganya bertumbuh.

"Maturnuwun, ya mas. Kersa rawuh. Ealah, riyin swargi simbahe lan bapake kula asring sowan. Mugi mas Tato sehat, gampil anggenipun ngupadi rejeki. Putra-putra saged kaparingan punapa ingkang dados sedyanipun," jawabnya sambil menyeka matanya yang berair. Mbak Kotim berterima-kasih atas kunjungan dan doa untuk dirinya.

**

Setelah banyak perjalanan dan waktu yang terus berjalan, ada masa ketika semua adalah masa lalu yang indah. Bukan karena tidak bermakna, tetapi karena kita semua toh (akhirnya) harus berdamai dengan situasi yang memang terus berubah.

"Aku hanya ingin jalan-jalan di pantai di waktu subuh. Bersenang-senang dan bercerita apa saja. Puisi sudah selesai," kata Joko Pinurbo, seperti dicatat Sitok Srengenge.

**

Ketika saya datang, Mbah Kotim baru melihat ayamnya di kandang. Memberi makan sambil melihat apakah ada telur yang bisa diambil.

"Pinarak mas," katanya segera ketika melihat saya dan Daniel Lintang datang. Mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah.

Hari ini saya menolak banyak tawaran makan. Meski banyak tatapan yang bersungguh menawarkan hidangan lebaran.

"Teka dhahar urape wae mas, rasah ngagem nasi," kata Mbah Pono putri menawarkan. Makan saja urapnya, tidak usah pakai nasi.

"Aku duwe buntil lho," kata Pak Kumpul, teman SD. Menawarkan masakan berbahan dasar dari daun talas.

**

Lebaran, bagi saya, selalu istimewa. Hadir dan masuk ke ruang-ruang tamu yang terasa meriah betapapun ia dapat sederhana. Banyak hati menyambut. Banyak genggaman tangan terulur.

Tidak ada peristiwa komunal seindah lebaran. Saling mendoakan dan menuangkan harapan baik. Meminta maaf kalau ada kekeliruan yang terjadi di masa lalu. Mengharapkan banyak hal berjalan lebih baik di waktu mendatang.

Merayakan lebaran di kampung dapat terasa demikian dalam. Di mana kemanusiaan bertemu dengan kemanusiaan. Lalu bersama mengerucutkan kebersamaan indah itu ke dalam penyelenggaraan Ilahi, dalam doa-doa. Providentia Dei. Dalam konteks ini, istilah "nonis" atau "non Islam" dalam takjil-war yang kemarin sempat marak disebut dapat menjadi terasa tidak dalam.

Karena, bagi saya, level tertinggi adalah ketika kemanusiaan bertemu dengan kemanusiaan. Hati yang terbuka betemu dengan hati yang terbuka. Harapan baik bertemu dengan harapan baik. Saling mendoakan, saling menawarkan kehangatan. Saling membagikan ketulusan

**

Saya menemui kedalaman relasi ketika memasuki rumah-rumah yang berpintu terbuka lebar, seperti hati yang ramah menyambut.*


| Posong | 11 April 2024 | 14.05 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun