Rumah yang pertama dibeli beratap genteng sebanyak 1.600 buah. Secara ukuran ia adalah rumah yang tidak terlalu besar. Tetapi ia dan suaminya senang akhirnya bisa beli rumah.
"Saya dulu bekerja keras mas, sungguh tidak mudah," katanya sambil membetulkan duduknya. Bahwa banyak proses tidak mudah yang sudah dijalani.
Rumah Mbah Kotim bertiang empat di terasnya. Gebyok masih menempel di dinding bagian dalam. Dua atau tiga set kursi memenuhi ruang tamunya. Saka guru bertiang empat menjadi ciri khas rumah Jawa pada masa itu.
Banyak cerita mengalir. Mbah Kotim seperti dengan mudah menemukan file perjalanan hidupnya. Semua tertata rapi di database alam bawah sadar.
Saya baru ingat belum menyampaikan selamat lebaran. Menyampaikan sepotong harapan baik supaya Mbah Kotim tetap sehat dan tutug momong anak-putu, puas menemani seluruh keluarganya bertumbuh.
"Maturnuwun, ya mas. Kersa rawuh. Ealah, riyin swargi simbahe lan bapake kula asring sowan. Mugi mas Tato sehat, gampil anggenipun ngupadi rejeki. Putra-putra saged kaparingan punapa ingkang dados sedyanipun," jawabnya sambil menyeka matanya yang berair. Mbak Kotim berterima-kasih atas kunjungan dan doa untuk dirinya.
**
Setelah banyak perjalanan dan waktu yang terus berjalan, ada masa ketika semua adalah masa lalu yang indah. Bukan karena tidak bermakna, tetapi karena kita semua toh (akhirnya) harus berdamai dengan situasi yang memang terus berubah.
"Aku hanya ingin jalan-jalan di pantai di waktu subuh. Bersenang-senang dan bercerita apa saja. Puisi sudah selesai," kata Joko Pinurbo, seperti dicatat Sitok Srengenge.
**
Ketika saya datang, Mbah Kotim baru melihat ayamnya di kandang. Memberi makan sambil melihat apakah ada telur yang bisa diambil.