"Pinarak mas," katanya segera ketika melihat saya dan Daniel Lintang datang. Mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah.
Hari ini saya menolak banyak tawaran makan. Meski banyak tatapan yang bersungguh menawarkan hidangan lebaran.
"Teka dhahar urape wae mas, rasah ngagem nasi," kata Mbah Pono putri menawarkan. Makan saja urapnya, tidak usah pakai nasi.
"Aku duwe buntil lho," kata Pak Kumpul, teman SD. Menawarkan masakan berbahan dasar dari daun talas.
**
Lebaran, bagi saya, selalu istimewa. Hadir dan masuk ke ruang-ruang tamu yang terasa meriah betapapun ia dapat sederhana. Banyak hati menyambut. Banyak genggaman tangan terulur.
Tidak ada peristiwa komunal seindah lebaran. Saling mendoakan dan menuangkan harapan baik. Meminta maaf kalau ada kekeliruan yang terjadi di masa lalu. Mengharapkan banyak hal berjalan lebih baik di waktu mendatang.
Merayakan lebaran di kampung dapat terasa demikian dalam. Di mana kemanusiaan bertemu dengan kemanusiaan. Lalu bersama mengerucutkan kebersamaan indah itu ke dalam penyelenggaraan Ilahi, dalam doa-doa. Providentia Dei. Dalam konteks ini, istilah "nonis" atau "non Islam" dalam takjil-war yang kemarin sempat marak disebut dapat menjadi terasa tidak dalam.
Karena, bagi saya, level tertinggi adalah ketika kemanusiaan bertemu dengan kemanusiaan. Hati yang terbuka betemu dengan hati yang terbuka. Harapan baik bertemu dengan harapan baik. Saling mendoakan, saling menawarkan kehangatan. Saling membagikan ketulusan
**
Saya menemui kedalaman relasi ketika memasuki rumah-rumah yang berpintu terbuka lebar, seperti hati yang ramah menyambut.*