Hai, Na. Apakah pagi di tempatmu juga membawahadirkan lompatan-lompatan ringan dan cicit dari burung-burung kecil?
Di sini pagi berloncatan dengan banyak keriuhan
Ada suara ayam yang bersahutan
Ada suara burung puter dari garasi Pak Joko
Dan ada cicit burung-burung berkaki kecil
Juga ada suara renungan pagi dari radio dengan frekuensi manual yang tidak akurat dengan selingan lagu dan ocehan pembawa acara yang sepertinya memerintahkan setiap kalimatnya tampak gembira
Sesekali malah terdengar teriakan penanda palang pintu kereta diturunkan
Memperingatkan tentang kematian yang melintas cepat bersama dengan laju kereta-kereta pagi dari barat ke ke timur
Ah, mungkin kamu masih terlelap ya?
Sabtu pagi memang saat menyapa pinggang yang lima hari sebelumnya bekerja keras
Membiarkannya lurus di atas pemukaan, mengusir penat dan juga bosan
Pagi lebih sering membuat terkejut
Dengan banyak keriuhan, setidaknya di sini
Itulah mengapa sore, bagiku, lebih menyenangkan
Seperti menjumpai daun-daun jati yang membungkus nasi dengan ugahari
Sudah lama hari kuhitung mulai dari sore, bukan dari pagi
Bukan karena pagi selalu mengejutkan
Bukan karena aku selalu membuka mata dengan pikiran yang menari tentang mimpi yang berlarian dan bermunculan
Lalu diikuti hal-hal yang dilakukan dengan tergesa
Tetapi karena sorelah yang mengajak pikiranku berhenti
Mengirup aroma arang penjerang air yang terbakar
Membiarkan kopi menghamburkan aromanya
Lalu menjumpai daun-daun jati pembungkus nasi
Betulkan, hari memang dihitung mulai sore?
Karena sore kita dapat duduk bersama hari, untuk kemudian menanti adzan maghrib
Oh, pernahkah kuceritakan mengapa aku menyukai adzan maghrib?
Belum, sepertinya ya
Karena maghrib adalah waktumu bergegas melintasi rel kereta api lalu menyusur jalan pulang
Sementara, bagiku, maghrib adalah ketika hari sedang mulai beranjak menjadi lebih misterius
Lalu malam, waktu terlelap dalam tidur nanti, adalah ritual terpenting sebuah hari
Melewati labirin-labirin ketidaktahuan, kodrat manusia yang terus dilawan dengan akal sehat
Aku menikmati malam, karena dapat menemuimu dalam kebebasan
Sekedar melambaikan tangan, atau kalau beruntung, menemanimu berjalan jauh melewati permukaan-permukaan pantai di sisi selatan
Mengelana ke pelosok negeri bawah sadar yang membentangkan lansekap takdir yang mahaluas: lansekap ketidaktahuan
Kamu adalah ketidaktahuan terpenting yang kumiliki, saat waktu memaksaku kembali menemuimu di ujung malam
"Hai," hanya itu paragraf terbaik yang dapat kujumpai waktu itu
Lalu lansekap ketidaktahuan membawa banyak hari berlalu lebih cepat
Tetapi selalu melambat saat sore, dan nyaris berhenti saat maghrib
Saat kamu melintasi rel kereta api, dan alunan saxophone memenuhi ruangku pada sebuah sisi ketidaktahuan
Saat ketika hari baru benar-benar dimulai, dan lansekap mahaluas ketidaktahuan kembali dibentangkan
| Prambanan | 9 Maret 2019 | 04.50 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H