Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Daun-daun Jati Pembungkus Nasi

9 Maret 2019   06:21 Diperbarui: 9 Maret 2019   20:34 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, Na. Apakah pagi di tempatmu juga membawahadirkan lompatan-lompatan ringan dan cicit dari burung-burung kecil?

Di sini pagi berloncatan dengan banyak keriuhan

Ada suara ayam yang bersahutan
Ada suara burung puter dari garasi Pak Joko
Dan ada cicit burung-burung berkaki kecil

Juga ada suara renungan pagi dari radio dengan frekuensi manual yang tidak akurat dengan selingan lagu dan ocehan pembawa acara yang sepertinya memerintahkan setiap kalimatnya tampak gembira

Sesekali malah terdengar teriakan penanda palang pintu kereta diturunkan
Memperingatkan tentang kematian yang melintas cepat bersama dengan laju kereta-kereta pagi dari barat ke ke timur

Ah, mungkin kamu masih terlelap ya?

Sabtu pagi memang saat menyapa pinggang yang lima hari sebelumnya bekerja keras
Membiarkannya lurus di atas pemukaan, mengusir penat dan juga bosan

Pagi lebih sering membuat terkejut
Dengan banyak keriuhan, setidaknya di sini

Itulah mengapa sore, bagiku, lebih menyenangkan

Seperti menjumpai daun-daun jati yang membungkus nasi dengan ugahari

Sudah lama hari kuhitung mulai dari sore, bukan dari pagi

Bukan karena pagi selalu mengejutkan
Bukan karena aku selalu membuka mata dengan pikiran yang menari tentang mimpi yang berlarian dan bermunculan
Lalu diikuti hal-hal yang dilakukan dengan tergesa

Tetapi karena sorelah yang mengajak pikiranku berhenti

Mengirup aroma arang penjerang air yang terbakar
Membiarkan kopi menghamburkan aromanya
Lalu menjumpai daun-daun jati pembungkus nasi

Betulkan, hari memang dihitung mulai sore?

Karena sore kita dapat duduk bersama hari, untuk kemudian menanti adzan maghrib

Oh, pernahkah kuceritakan mengapa aku menyukai adzan maghrib?

Belum, sepertinya ya

Karena maghrib adalah waktumu bergegas melintasi rel kereta api lalu menyusur jalan pulang
Sementara, bagiku, maghrib adalah ketika hari sedang mulai beranjak menjadi lebih misterius

Lalu malam, waktu terlelap dalam tidur nanti, adalah ritual terpenting sebuah hari

Melewati labirin-labirin ketidaktahuan, kodrat manusia yang terus dilawan dengan akal sehat

Aku menikmati malam, karena dapat menemuimu dalam kebebasan

Sekedar melambaikan tangan, atau kalau beruntung, menemanimu berjalan jauh melewati permukaan-permukaan pantai di sisi selatan

Mengelana ke pelosok negeri bawah sadar yang membentangkan lansekap takdir yang mahaluas: lansekap ketidaktahuan

Kamu adalah ketidaktahuan terpenting yang kumiliki, saat waktu memaksaku kembali menemuimu di ujung malam

"Hai," hanya itu paragraf terbaik yang dapat kujumpai waktu itu

Lalu lansekap ketidaktahuan membawa banyak hari berlalu lebih cepat
Tetapi selalu melambat saat sore, dan nyaris berhenti saat maghrib

Saat kamu melintasi rel kereta api, dan alunan saxophone memenuhi ruangku pada sebuah sisi ketidaktahuan

Saat ketika hari baru benar-benar dimulai, dan lansekap mahaluas ketidaktahuan kembali dibentangkan

| Prambanan | 9 Maret 2019 | 04.50 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun