Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Ruang Kelas Tanpa Pintu dan Jendela

17 Juli 2016   13:30 Diperbarui: 27 Juli 2016   08:33 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayuk-Rukun Mewujudkan Competence-Consience-Compassion Leadership

Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting dan tidak dapat diambil-alih oleh orang lain maupun lembaga lain. Dalam kaitan dengan lembaga sekolah, diperlukan kesepahaman dan kerjasama antara sekolah dan rumah sehingga terwujud dukungan yang sinergis bagi perkembangan anak sebagai subyek.

Sehingga sebagai pribadi dia berkembang dengan banyak nilai (value) yang dibutuhkan,  tidak hanya mendapat nilai (score) yang tinggi. Di sisi lain, definisi ‘nilai’ dalam istilah NEM sendiri merupakan hal yang perlu dikritisi karena ia hanya mewakili ‘score’ dan bukan ‘value’.

*catatan orang-tua di tahun ajaran baru 2016/2017

Sayuk-rukun antara sekolah dan keluarga

‘Berbicara’ tentang  pendidikan anak, selalu tidak mudah untuk hanya dilakukan dalam bahasa yang pendek. Karena banyak sekali aspek terkait didalamnya.

Berbicara tentang lembaga yang terlibat saja bila disederhanakan setidaknya ada dua yaitu sekolah dan keluarga. Sekolah dan keluarga harus berada didalam ‘frekuensi  yang sama’ terkait proses pendidikan yang akan harus ditempuh. Dengan demikian anak sebagai subyek pendidikan mendapatkan dukungan yang memadai untuk dapat berkembang optimal. 

Keprihatinan yang banyak berkembang, di sekolah anak dapat menjadi obyek dari sistem pendidikan yang diselenggarakan dengan harus ‘menelan’ semua yang diberikan tanpa kecuali. Dan di rumah anak dapat menjadi obyek dari keinginan orang tua untuk ‘harus’ menjadi seseorang sesuai dengan obsesi, harapan atau keinginan orang tua.

Kesepakatan antara sekolah dan keluarga bahwa anak adalah subyek dari tujuan penyelenggaran pendidikan adalah hal yang pertama sekali harus dilakukan. Karena keluarga dengan bantuan sekolah mengembangkan pribadi anak lewat sistem penyelenggaraan pendidikan dimana dalam perjalanannya anak sungguh membutuhkan pendampingan dari sekolah dan keluarga.

Sistem NEM adalah bagian dari industrialisasi pendidikan?

Kekhawatiran terbesar sebagai orang-tua adalah ketika anak yang semestinya adalah sebuah pribadi yang dikembangkan dan didampingi berubah menjadi hanya bagian dari sistem pendidikan yang bersifat industri. Yaitu hanya dijadikan bagian dari sebuah sistem diselenggarakan dengan cara tertentu untuk menghasilkan output yang diukur dengan cara tertentu.

Sekedar menyebut salah satu contoh, Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang sampai saat ini masih dipakai. Dengan perolehan NEM dengan jumlah tertentu kemudian anak dapat masuk ke sekolah tertentu. Dengan NEM yang tinggi anak kemudian dapat masuk ke sekolah  yang biasanya berlabel ‘favorit’ yaitu sekolah yang hanya mensyaratkan NEM yang tinggi. Faktor nilai (score) menjadi satu-satunya tolok ukur. 

Sementara faktor nilai (value) kepribadian hanya sedikit mendapat perhatian.  Sejauh bersih pemakaian narkotika dan zat aditif lain yang dibuktikan melalui tes lobaratorium sudah dianggap cukup. Tidak heran banyak sekali kasus manipulatif yang dilakukan untuk hanya medapatkan score NEM yang tinggi. Definisi ‘nilai’ dalam istilah NEM sendiri merupakan hal yang perlu dikritisi karena ia hanya mewakili score dan bukan value.

Tidak ada lagi proses wawancara untuk menggali kepribadian anak untuk menyelaraskan tujuan pribadi dan sekolah, misalnya. Padahal selarasnya pribadi anak didik dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan dukungan keluarga adalah salah satu kunci keberhasilan bila tujuan pendidikan adalah pengembangan pribadi yang lebih utuh. Dimana score adalah bagian dari value dan bukan sebaliknya.

Peran Penting Pamong

Sistem Pamong dalam mendampingi perkembangan pribadi anak didik menjadi suatu yang krusial. Ada sekolah yang menempatkan pamong sebagai satu bagian yang penting. Ia melebihi dari sistem hanya Bimbingan dan Konseling (BK). Pamong memberikan pendampingan yang lebih luas. Kepamongan terdiri dari banyak unsur.

Ini adalah salah satu contoh yang dikembangkan pada suatu sekolah. Dimana kepamongan terdiri dari sub-pamong, wali kelas, campus-ministry, bimbingan dan konseling, anggota presidium dan ekstra-kurikuler.

Mengambil salah satu poin saja, ekstra-kurikuler menjadi bagian yang sangat penting dari sistem pendampingan karena disana dikembangkan minat siswa. Class-meeting yang biasanya diselenggarakan setelah ujian-ujian, seringkali dianggap tidak terlalu penting karena ‘hanya’ pertandingan oleh-raga.

Orang tua yang dari luar kota, misalnya, untuk mendapatkan tiket yang lebih murah seringkali mengorbankan sistem pendampingan melalui class-meeting dengan meninggalkan sekolah lebih awal karena sudah mendapat tiket untuk pulang kampung dengan harga murah.

Kesepahaman antara sekolah dan keluarga sejak awal dalam berkomunikasi-menyepakati sistem pendampingan bagi pengembangan anak sangat penting.

Sekolah perlu mampu menyajikan jejak-tahapan sistem pendidikan secara jelas dapat dipahami keluarga. Keluarga perlu menyediakan diri menjadi pendamping sesuai kebutuhan anak. Dengan demikian secara bersama, secara sinergis, sekolah dan keluarga sungguh mendampingi perkembangan pribadi anak. Idealnya anak kemudian menjadi the whole person, head and heart, intelect and feeling.

Spatial-Neurotic

Karena keterbatasan ruang, kabarnya masyarakat di negeri Belanda sangat optimal dalam memanfaatkan ruang. Saking demen-nya mereka dalam memanfaatkan ruang yang terbatas, kemudian berkembang isitilah spatial-neurotic.

Bila dalam permainan sepakbola, lapangan dimanfaatkan secara maksimal sedemikian rupa sehingga ketika lawan menguasai maka lapangan terkesan sempit, sementara bila tim sedang menguasai bola maka lapangan terasa sangat lebar karena setiap bagian dieksplorasi.

Di Yogyakarta ada SMA Kolese De Britto dimana ruang kelas yang dipakai didesain tanpa pintu dan jendela sehingga cukup nyaman untuk belajar. Kalau tidak keliru bangunan sekolah ini masih merupakan peninggalan Belanda. Ruang kelas mendapat penerangan yang cukup dan sirkulasi udara yang baik.

Desain yang sangat cocok dengan iklim tropis sehingga belajar dapat dilakukan dengan lebih nyaman. Mungkin ini salah satu implementasi dari spatial-neurotic sehingga desain sungguh sangat diselaraskan dengan kondisi alam. Semoga bangunan tersebut akan terus dipertahankan.

Sehebat apapun sistem pendidikan, pada akhirnya hanya bermanfaat bila dalam kehidupan nyata setelah meninggalkan bangku sekolah maka anak berhasil mengembangkan hidupnya.

Mengembangkan hidup sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sesuai dengan kondisi riil alam tempat tinggalnya. Pengetahuan yang dimiliki membumi. Karena kecerdasan intelektual saja yang dimiliki tidak akan cukup. Karena pada saat yang sama, anak perlu memiliki kesadaran pada hati nuraninya yang benar dan berbela rasa kepada sesamanya disamping memiliki kemampuan intektualitas yang baik.

Sayangnya, tidak ada sistem pendidikan yang bersifat instan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun