Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misi Terakhir Azazil (7)

25 November 2014   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14169038671472559523

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (6)

12

Pertemuan pertama yang penuh bencana. Tidak ada yang bisa diperbincangkan lagi lebih lama. Agustian merasa lelah dengan arogansi para penyidik dari kepolisian ini. Namun sedikit banyak ia sudah  menyadari bahwa situasi seperti ini bakal ia hadapi.

Ia cuma seseorang dari negeri antah berantah, yang kebetulan punya kenalan seorang Komisaris Jendral Polisi,kemudian ia melihat bagian dari masa lalunya tengah bangkit mengejarnya.

Sekarang ia dituntut menjelaskan itu semua pada dua orang perwira Polisi yang menyambut kedatangannya dengan kecurigaan dan tanpa niat mau bekerjasama sedikit pun.

Bagaimana mungkin ?

Kedua Polisi itu bahkan kini hendak menangkap dan menginterogasinya. Ipda Gunawan, yang pistolnya telah ia bedah itu mulai berteriak memanggil bantuan. Agustian sadar bahwa dirinya terlalu sembrono telah mempermalukan seorang polisi di markas komandonya, bagai menantang serigala ditengah kawanannya. Namun saat itu ia tidak punya banyak pilihan.

Maka dengan gerakan cepat ia pun berlari keluar ruangan itu. Baru saja pintu ditutup olehnya, Ipda Gunawan telah keluar dari ambang pintu sambil menunjuk kearahnya sambil berteriak kalap, “Tangkap orang itu !”

Situasi menjadi rumit. Beberapa polisi berpangkat tamtama tampak mulai mengejarnya. Agustian pun terpaksa berlari menuju pintu keluar, namun tentu saja tindakan itu mengundang reaksi banyak pihak.Beberapa orang polisi telah menghadangnya di pintu keluar. Wajah mereka tampak keras.

Tidak ada pilihan, Agustian pun berhenti dari larinya. Aku telah mengambil keputusan yang salah, pikirnya. Ternyata kata-kata Komjen Harun Ar Rasyid tidaklah sesakti yang ia bayangkan. Alih-alih disambut sebagai narasumber, malah kini ia terancam akan dibui.

Para Polisi berhasil mengejarnya dan kini telah membelenggu kedua tanganya. Ipda Gunawan tampak mendekat.  Ekspresinya hanya menyiratkan satu hal, pembalasan.

Ditatapnya Agustian dengan pandangan mendelik. Sesaat kemudian tangannya terayun menghantam ulu hati Agustian dengan telak.

Agustian mengeluh pendek, tubuhnya tertekuk ditopang oleh para polisi yang memegangi tangannya. Ulu hatinya terasa meledak saat pukulan penuh dendam Ipda Gunawan mendarat dengan telak.

Ipda Gunawan sudah menyiapkan pukulan yang kedua ketika Iptu Ajisaka berlari keluar dari ruangan sembari berteriak, “Cukup, cukup !”

Direngkuhnya kedua lengan Ipda Gunawan, kemudian diputarnya tubuh mitranya itu. “Cukup, Jangan konyol !” desisnya tajam. Setajam matanya yang memandang Ipda Gunawan.

Ipda Gunawan mendengus-dengus menahan emosi. Wajahnya merah bara. Diperhatikannya mata Iptu Ajisaka yang melirik kekiri, memberi isyarat. Ia pun melirik kekanan, tampak beberapa wartawan tengah memotret kejadian yang baru saja terjadi.

Ipda Gunawan menghembuskan napas panjang, kemudian memberi isyarat pada Iptu Ajisaka untuk melepaskan dirinya. Mendadak ia menoleh kearah wartawan dengan wajah beringas, “Kamu potret-potret apa, hah !!??! Pergi kamu, pergi !!”

Beberapa orang polisi berteriak-teriak pada para wartawan itu, memintanya untuk menyerahkan kamera. Wartawan-wartawan itu mundur sambil berusaha melindungi kameranya, sementara para polisi mendekat sambil membentak-bentak menyuruh mereka menyerahkan kamera.

“Sudah, sudah ! Biar saja !” Terdengar kembali suara Ipda Gunawan. Ia sadar, merampas kamera wartawan dapat mengundang masalah bagi korps Kepolisian. Diluar sana, banyak pihak yang menanti berita pemukulan wartawan oleh Polisi bagaikan burung nazar mengintai mangsa. Sekali terekspos, ia dan satuanya akan menghadapi situasi yang jauh lebih rumit.

Iptu Ajisaka memandangi Agustian yang terkunci oleh cengkraman para tamtama. Ia menyesali kejadian kali ini. Ini adalah sesuatu yang tidak perlu, keruwetan yang dibuat sendiri oleh pihaknya. Dirinya, Ipda Gunawan dan para Polisi yang lain sudah terlanjur dilatih untuk mengedepankan kewaspadaan dalam melakukan kontak dengan pihak lain. Kewaspadaan yang sering kali berubah jadi kecurigaan dan terkadang dapat menimbulkan masalah. Seperti sekarang ini.

"Bawa dia ke ruang komando," ujarnya pendek pada tamtama yang mengunci tangan Agustian. Agustian pun digiring menuju ruangan tempat ia tadi keluar.

13

Pukul empat sore.

Hujan deras lagi.

Hujan-hujan begini memang lebih enak duduk sambil ngopi di cafe. Ia memandang jauh kearah jendela sementara dihadapannya tersuguh machiato yang masih mengepulkan asap tipis. Seperti sambil lalu diarahkannya teropong monocular mungilnya keseberang jalan sana. Teropong mungil dengan kemampuan zoom 7x dan field range 1 kilometer itu menangkap objek sebuah rumah besar berwarna putih berpagar besi hitam bermotif tombak. Beberapa orang memakai jas tampak berdiri di teras besar itu, menunggu giliran diantarkan dengan payung menuju mobil masing-masing.

Seorang pria berusia setengah abad memakai jas hitam dan dasi merah tua tertangkap oleh teropongnya. Ia tampak sedang dipayungi menuju sebuah mobil Mercedes Benz E250 warna hitam.

Seulas senyum mengembang dari bibirnya yang dipulas lipstik warna natural. Halo, bapak. Akhirnya kita bertemu juga.

teropong ia masukan kedalam tas kecilnya, kemudian dirinya beranjak keluar dari cafe tersebut. Machiato nya masih tersisa setengah. Asap tipis masih terlihat mengepul dari cangkir itu.

Lebih dari lima orang pria yang berteduh memalingkan wajah kearahnya saat ia keluar dari cafe. Seseorang bahkan bersiul menggoda ketika dirinya yang mengenakan overcoat cokelat muda diatas blouse putih dengan celana pantalon hitam lewat sambil berpayung. Diliriknya pria yang bersiul itu sambil tersenyum simpul. Rambutnya yang ditata model short piecey bob cut bergerak-gerak mengikuti ayunan langkahnya.

Hujan masihlah deras.

14

"Kau sudah hubungi Bambang Jatmika ?" Tanya Iptu Ajisaka pada Ipda Gunawan.

Yang ditanya menggeleng, "Sudah tersambung tapi tidak diangkat.".

Ipda Gunawan menatap pistolnya yang baru terakit separo. Terdengar gerutu pelan dari bibirnya, "Ini gimana masangnya ?"

Iptu Ajisaka melirik sekilas kearah pistol Ipda Gunawan yang masih belum berbentuk pistol sempurna. Senyum samar tampak dari bibirnya, "Sudahlah, kau berikan saja itu pada bagian logistik, suruh mereka rakit lagi."

"Berarti aku akan tidak punya pistol untuk beberapa lama ?"

"Paling cuma satu hari." Jawab Iptu Ajisaka acuh.

Ipda Gunawan keluar ruangan sambil membawa baki yang berisi bagian pistolnya yang belum terakit sempurna. Gerutuan lagi-lagi terdengar dari mulutnya.

Satu jam sudah sejak keributan kecil dengan orang bernama Agustian tadi. Kini dia sedang duduk sendirian diruangan lain. Iptu Ajisaka tidak langsung mengurusnya, ia mesti menggunakan waktunya untuk menghubungi Bambang jatmika, salah seorang wakil ketua komisi I yang dikenal dekat dengan Ridwan Suhendra. Namun hingga kini ia belum mendapat respon.

Mungkin ia masih dirumah duka, pikirnya. Kegiatan anggota dewan memang tidak terlalu banyak, tapi tidak bisa diprediksi.

Iptu Ajisaka mulai memikirkan pendekatan lain. Pistol Glock 19 gen4 yang digunakan pelaku adalah senjata api tipe mutakhir. Ia tahu bahwa densus 88 menggunakan pistol Glock 17 generasi ketiga sebagai standar pistol mereka. Mungkinkah ada jenis Glock 19 yang terselip di gudang senjata khusus milik mereka ? Jika benar maka ada sebuah kasus baru dihadapannya ; penyelundupan dan pencurian senjata api.

Butuh beberapa menit baginya untuk menghubungi bagian gudang senjata direktori khusus. Dibagian dimana hanya disimpan senjata khusus bukan organik Polri ia mesti menunggu beberapa menit saat petugas mencocokkan tipe pistol yang ia tanya dengan data base senjata.

Hasilnya seperti yang ia tebak, "Maaf, pak. Sesuai dengan data kami semua senjata pistol yang digunakan anggota Densus 88 adalah Glock tipe 17 generasi ketiga, bukan Glock 19. Selain itu sesuai data registrasi kami semua Glock 17 yang ada dilapangan dalam kondisi tersedia, tidak ada yang hilang." Demikian suara petugas bagian persenjataan melaporkan.

jalan buntu.

Informasi dari Bambang Jatmika rasanya hanya bersifat umum, mungkin aku memang mesti menggunakan orang bernama Agustian itu, Dalam hati ia mengeluh. Ada perasaan terhina dihatinya jika harus dibantu oleh orang sipil, seolah-olah Polisi saja tidak kapabel untuk itu.

Pintu terbuka. Ipda Gunawan tampak masuk, raut wajahnya terlihat agak keruh, "Ada tamu." Serunya pendek.

"Siapa ?" tanyanya sambil berdiri.

Seseorang melewati Ipda Gunawan masuk, "Aku yang datang."

Iptu Ajisaka kenal baik dengan orang yang baru masuk tadi. Dia adalah mentornya dalam menyidik dan dosennya sewaktu di PTIK. Dia juga orang yang merekomendasikan Agustian untuk membantu penyelidikan kasus Ridwan Suhendra.

Orang itu Komisaris Jendral Harun Ar Rasyid.
(Bersambung)
Sumber gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun