Siang itu, aku sibuk berkutat dengan beberapa siswa ku yang akan mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan pekan depan. HP yang tergeletak di atas meja beberapa kali berbunyi. Dering telepon maupun notifikasi WA sama sekali tak mengusik konsentrasiku saat itu.Â
Sampai akhirnya, seorang rekan kerja menghampiriku dan berbisik "Mbak, sampeyan pulang sekarang ya. Bapak sampeyan meninggal," katanya. Kalimat yang ia bisikkan, tak kuanggap serius. "Uwes ah, ojo guyon, ndak lucu," sahutku. Untuk meyakinkan ucapan temanku, kuraih gawai dan kubaca pesan WA yang masuk. Dan semuanya mengabarkan bahwa Bapak memang meninggal.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku saat aku diantar pulang temanku dengan mobilnya. Rasanya langit yang cerah seketika berubah gelap, mendung, suram seakan-akan menggambarkan suasana hatiku kala itu. Di rumah, kudapati tubuh Bapak terbujur kaku, dingin, dan pucat di atas meja panjang di ruang tamu. Pengurus jenazah pun sudah siap untuk memandikan jenazah Bapak.Â
Suasana rumah pun cukup sibuk. Tenda biru sudah terpasang di depan rumah. Kursi-kursi plastik berwarna putih nampak berjajar rapi. Beberapa tikar digelar di teras, ruang tamu, dan juga ruang keluarga. Nampak 2 tong besar yang tengah diisi air, tak lupa ditaburi bunga mawar dan tetesan minyak fanbo. Hilir mudik para pelayat keluar masuk untuk mengucapkan belasungkawanya kepadaku. "Nduk sing sabar yo. Bapakmu iki wong apik. InsyaAllah khusnul khotimah," bisik salah seorang pelayat.
Masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Bapak tercinta telah berpulang. Bapak yang semasa hidupnya tak pernah merepotkan keluarga. Masih terngiang jelas ucapan Bapak, "Aku ndak pengen merepotkan anak cucu. Aku ndak usah sakit kalau mau mati. Mugo-mugo malaikat Izroil mengambil nyawaku gampang, leeessss.... tanpa perlu sakit." Dan ternyata apa yang diucapkan Bapak menjadi kenyataan. Beliau masih terlihat segar ketika pagi harinya aku ketemu Bapak. "Duh Gusti, mengapa Bapak harus pergi secepat ini? Belum cukup baktiku untuk Bapak, Banyak keinginan beliau yang belum aku penuhi," ratapku. Tak terasa buliran-buliran air mata menetes.
Menjelang sore semua prosesi perawatan jenazah selesai dilakukan. Beriring-iringan sanak saudara, pelayat, dan aku mengantarkan Bapak ke tempat istirahatnya yang terakhir. Bapak sosok yang begitu dekat denganku, Bapak yang menjadi tempatku berkeluh kesah dan Bapak yang menjadi penyokong di saat aku jatuh, kini terbaring di liang lahat berukuran 2x1 meter dan sedalam 1,8 meter.Â
Kutatap jenazah Bapak sampai akhirnya tak terlihat lagi. Aku duduk bersimpuh di samping makam Bapak. Kuelus-elus nisan yang bertuliskan "Bapak Susanto, meninggal Kamis Kliwon, 21 Oktober 2021" sambil kupanjatkan doa tulus untuk Bapak semoga Bapak mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.Â
Taburan bunga memenuhi gundukan tanah makam Bapak. Langkahku gontai ketika meninggalkan area pekuburan. Kumandang adzan Maghrib sayup-sayup terdengar. Sesekali kutengok makam Bapak hingga akhirnya tak terlihat lagi.
Hampa...itu yang kurasakan setelah kepergian Bapak. Tak dipungkiri betapa terpukulnya aku, tapi aku tidak bisa mengabaikan tugasku. Kuputuskan untuk kembali bekerja setelah 7 hari slametan Bapak digelar. Aku merupakan seorang guru di sebuah sekolah menengah yang ada di pinggir kota. Kujalani tugasku sesuai jadwal yang sudah ditentukan kurikulum. Di sela-sela istirahat, kusempatkan untuk mengaji dan berdoa untuk Bapak. Untaian doa itulah yang menjadi jembatan rinduku untuk Bapak. Sampai 40 hari kepergian Bapak, aku masih berusaha untuk menyembuhkan jiwaku yang lesu.
Ternyata Gusti Allah telah menyiapkan skenario lain untukku. Ketika pulang sekolah, kecelakaan pun terjadi. Ketika kubuka mata, kusadari bahwa aku terbaring di UGD sebuah rumah sakit swasta di kotaku. Aku mengerang pelan dan memegangi daguku yang terbungkus perban.Â
Dokter jaga memberitahuku bahwa aku harus melakukan rontgen untuk memastikan kondisi tulang kakiku. Pil pahit kembali kutelan, ketika hasilnya menyatakan bahwa tulang kering kaki kiriku patah dan harus dioperasi. Beruntun cobaan kualami. Derita karena ditinggal Bapak dan kali ini harus menanggung pedihnya sakit sendirian. Â
Darimana kudapatkan biaya untuk operasi. Sanak saudara tak mungkin aku mintai bantuan karena kutahu kondisi mereka. Sama sekali tak terlintas untuk menggunakan asuransi kesehatan. Ada prosedur yang harus aku ikuti sedangkan kondisiku yang tidak memungkinkan. Anak-anak pun masih kecil. Ya...aku seorang single parent untuk kedua putra putriku, jadi lebih tak mungkin lagi untuk mengandalkan suami.
Nekat, akhirnya kupinjam dana dari koperasi sekolah. Alhamdulillah, sekolah mempermudah semua prosesnya. Operasi pemasangan pen aku jalani. Pasca operasi, aku harus menjalani fisioterapi untuk bisa kembali berjalan. Tiga bulan pertama kulewati dengan rasa putus asa dan kecewa. Duniaku serasa berbalik. Dari aku yang moving sekarang menjadi seseorang yang tak berdaya dan tergantung pada orang lain. Benar-benar membuat mental hancur.Â
Aku bahkan sempat menghujat sang Pencipta atas semua kejadian yang menimpaku. Sampai suatu malam, si kecil merengek karena haus, "Mama, aku mau susu." "Dibuatkan ibuk ya dek," jawabku. Ibuk adalah panggilan untuk tetanggaku yang selama ini membantu merawat si kecil, "Ndak mau, aku maunya mama," sahutnya sambil menangis. Akupun tak mampu memenuhi permintaan sederhana dari anak keduaku. Untuk berjalan pun aku harus ditopang oleh sepasang kruk. Nelongso... Ya Allah, aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna.
Kejadian malam itu telah memukul kesadaranku. Aku tak bisa terus menerus seperti ini dan menyerah pada keadaan. Aku harus bangkit. Aku harus sembuh. Aku harus kuat. Aku harus tegar. Kalimat-kalimat afirmasi itulah yang berulang kali kuucapkan setiap ku buka mataku di pagi hari.Â
Aku yakin bahwa kata-kata positif ini akan dicerna oleh otakku dan mengubah sudut pandang serta pikiranku menjadi lebih baik dan positif. Ada 2 nyawa yang bergantung padaku dan harus aku perjuangkan. Kedua buah hatiku, Wulan dan Ihsan, telah menjadi penyulut api semangatku yang sempat padam.
Tak kupedulikan peluh yang membasahi daster yang kukenakan di saat ku belajar berdiri tanpa bantuan kruk. Kakiku bergetar hebat ketika aku belajar melangkah secara mandiri. Tekadku sudah bulat. Kata-kata dokter semakin meyakinkan aku.Â
Rasa sakit, nyeri, kebas, bahkan kesemutan ketika aku berjalan bukanlah dari tulangku yang patah tetapi akibat otot dan syaraf yang pasif selama berbulan-bulan tidak digerakkan. Ku minum obat, vitamin tulang, herbal dan apapun itu dengan teratur yang diklaim mampu membantu mempercepat proses penyambungan tulang kakiku.Â
Setiap hari, ku semakin giat berlatih berjalan. Lima bulan pun berlalu. Matur nuwun Gusti, progress kesembuhan kakiku semakin baik. Tinggal menunggu tulang tersambung dengan kuat dan pen bisa dilepas.
Cobaan yang kualami ini membuatku sadar bahwa apa yang terjadi merupakan garis takdir yang harus aku jalani. Inilah jalan terbaik yang diberikan sang pencipta untuk menghapus dosa-dosaku. Tuhan pasti memiliki rencana yang indah dibalik semua kepedihan dan kesedihanku. Aku menyadari betapa berdosanya aku ketika aku menyalahkan Tuhan.Â
Kuperbaiki kualitas ibadahku, kudekatkan diriku pada-Nya. Tak lupa kupanjatkan syukur karena nyawa masih melekat padaku dan berkesempatan untuk melihat senyum dan tangis anak-anak. Intensitas bersama mereka semakin bertambah. "Maafkan mama ya sayang, bila selama ini mama sering abai," ucapku pelan sambil membelai kepala mereka di saat mereka terlelap. Kedua wajah mungil itu telah membuatku bangkit dari hujan badai hidupku. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI