Mohon tunggu...
Dian Tri Riska Ekawati
Dian Tri Riska Ekawati Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMK Negeri 1 Bakung Kab. Blitar

Menjadi guru sejak tahun 2015. Penulis mulai menulis setelah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Baginya menulis ini menjadi sarana untuk mencurahkan isi hatinya. Di waktu senggang, penulis juga suka menonton film atau traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Hujan Reda

19 September 2024   13:45 Diperbarui: 19 September 2024   13:52 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pinterest.com/nur7295/

Dokter jaga memberitahuku bahwa aku harus melakukan rontgen untuk memastikan kondisi tulang kakiku. Pil pahit kembali kutelan, ketika hasilnya menyatakan bahwa tulang kering kaki kiriku patah dan harus dioperasi. Beruntun cobaan kualami. Derita karena ditinggal Bapak dan kali ini harus menanggung pedihnya sakit sendirian.  

Darimana kudapatkan biaya untuk operasi. Sanak saudara tak mungkin aku mintai bantuan karena kutahu kondisi mereka. Sama sekali tak terlintas untuk menggunakan asuransi kesehatan. Ada prosedur yang harus aku ikuti sedangkan kondisiku yang tidak memungkinkan. Anak-anak pun masih kecil. Ya...aku seorang single parent untuk kedua putra putriku, jadi lebih tak mungkin lagi untuk mengandalkan suami.

Nekat, akhirnya kupinjam dana dari koperasi sekolah. Alhamdulillah, sekolah mempermudah semua prosesnya. Operasi pemasangan pen aku jalani. Pasca operasi, aku harus menjalani fisioterapi untuk bisa kembali berjalan. Tiga bulan pertama kulewati dengan rasa putus asa dan kecewa. Duniaku serasa berbalik. Dari aku yang moving sekarang menjadi seseorang yang tak berdaya dan tergantung pada orang lain. Benar-benar membuat mental hancur. 

Aku bahkan sempat menghujat sang Pencipta atas semua kejadian yang menimpaku. Sampai suatu malam, si kecil merengek karena haus, "Mama, aku mau susu." "Dibuatkan ibuk ya dek," jawabku. Ibuk adalah panggilan untuk tetanggaku yang selama ini membantu merawat si kecil, "Ndak mau, aku maunya mama," sahutnya sambil menangis. Akupun tak mampu memenuhi permintaan sederhana dari anak keduaku. Untuk berjalan pun aku harus ditopang oleh sepasang kruk. Nelongso... Ya Allah, aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna.

Kejadian malam itu telah memukul kesadaranku. Aku tak bisa terus menerus seperti ini dan menyerah pada keadaan. Aku harus bangkit. Aku harus sembuh. Aku harus kuat. Aku harus tegar. Kalimat-kalimat afirmasi itulah yang berulang kali kuucapkan setiap ku buka mataku di pagi hari. 

Aku yakin bahwa kata-kata positif ini akan dicerna oleh otakku dan mengubah sudut pandang serta pikiranku menjadi lebih baik dan positif. Ada 2 nyawa yang bergantung padaku dan harus aku perjuangkan. Kedua buah hatiku, Wulan dan Ihsan, telah menjadi penyulut api semangatku yang sempat padam.

sumber: Pngtree 58pic 
sumber: Pngtree 58pic 

Tak kupedulikan peluh yang membasahi daster yang kukenakan di saat ku belajar berdiri tanpa bantuan kruk. Kakiku bergetar hebat ketika aku belajar melangkah secara mandiri. Tekadku sudah bulat. Kata-kata dokter semakin meyakinkan aku. 

Rasa sakit, nyeri, kebas, bahkan kesemutan ketika aku berjalan bukanlah dari tulangku yang patah tetapi akibat otot dan syaraf yang pasif selama berbulan-bulan tidak digerakkan. Ku minum obat, vitamin tulang, herbal dan apapun itu dengan teratur yang diklaim mampu membantu mempercepat proses penyambungan tulang kakiku. 

Setiap hari, ku semakin giat berlatih berjalan. Lima bulan pun berlalu. Matur nuwun Gusti, progress kesembuhan kakiku semakin baik. Tinggal menunggu tulang tersambung dengan kuat dan pen bisa dilepas.

Cobaan yang kualami ini membuatku sadar bahwa apa yang terjadi merupakan garis takdir yang harus aku jalani. Inilah jalan terbaik yang diberikan sang pencipta untuk menghapus dosa-dosaku. Tuhan pasti memiliki rencana yang indah dibalik semua kepedihan dan kesedihanku. Aku menyadari betapa berdosanya aku ketika aku menyalahkan Tuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun