Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suamiku Memberiku Istana tapi Dia Membiarkanku Menghuninya Sendirian Saja

27 Oktober 2024   18:50 Diperbarui: 27 Oktober 2024   19:29 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi Unsplash.com/Mehrpouya H

Suamiku adalah seorang aktivis sekaligus seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi di kota kami. Ia adalah seorang yang sangat cerdas, mudah bergaul dan memiliki kemampuan public speaking yang sangat baik. Soal meloby, jangan pernah meragukan suamiku. Negosiasi apapun nyaris selalu berhasil. Ia sangat pandai menaklukkan lawan bicara dengan cara bicaranya yang luar biasa. 

Kemampuan itulah yang nyatanya membuat aku jatuh cinta berkali-kali sejak pertama kali mengenalnya di sebuah seminar yang aku ikuti saat menjadi mahasiswa dulu. Dia adalah pembicara dalam acara tersebut. Seperti halnya orang-orang yang hadir di sana, aku pun tidak berhenti berdecak kagum karena terpukau dengan pesonanya. 

Handy, suamiku memang tidak terlalu tampan. Tubuhnya pun tidak seatletis lelaki yang sering didefinisikan sebagai lelaki ideal versi para gadis kekinian. Namun lihatlah, ketika puluhan perempuan begitu terang-terangan melakukan pendekatan kepadanya, mas Handy malah memberikan sinyal yang lebih kuat kepadaku. Aku sendiri tidak percaya, saat akhirnya ia datang langsung kepada ayahku; untuk melamarku. 

Bagaikan mimpi di siang bolong, sang pembicara seminar kini sudah menjadi suamiku. Ia begitu bijaksana dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Bagaimana tidak, ia adalah manusia yang paling cerdas dan bijak yang pernah kutemui. 

Tidak perlu menunggu waktu lama, ia kemudian menghadiahiku sebuah rumah mewah sebagai hadiah pernikahan. Ketika aku bertanya perihal dari mana uang yang dia dapatkan untuk membeli rumah sebagus ini, ia menjawab kalau aku tidak perlu tahu. 

"Biarlah ini menjadi urusan lelaki. Kalau semua aku beri tahu, nanti saat aku bersama yang lain, masa kamu juga harus tahu?" katanya disertai dengan tawa.

Deg! Kenapa jawabannya seperti itu? 

Berhari-hari aku memikirkan omongan mas Handy. Aku begitu khawatir dia bersama perempuan lain di luar sama. Terlebih ia kini semakin sering pulang larut malam ke rumah. Namun kemudian kecurigaanku terbantahlan ketika aku melihat beberapa postingan di media sosial milik mas Handy dan juga milik kampus tempatnya mengajar. Ternyata mas Handy semakin aktif di kegiatan organisasi, kegiatan kampus bahkan beberapa kali terlihat berfoto dengan para petinggi partai tertentu.

"Mas sekarang terjun ke politik?" tanyaku saat sedang makan malam. Momen langka yang sudah sangat lama tidak terjadi di rumah ini. 

"Kamu baru tahu ya?" jawabnya malah memberikan pertanyaan balik. 

"Iya. Mas gak pernah cerita sih sama aku. Akhir-akhir ini Mas pulangnya malam sekali," jawabku setengah merajuk. 

"Lah itu kamu tahu. Sudahlah simak di media sosial sama doakan saja suamimu ini. Mas begini juga buat kamu kok. Buat hidupin kamu. Mas memperlebar sayap untuk terus mencari relasi," katanya. 

"Lah, tapi aku istrimu, Mas. Apa salah kalau aku ingin mendengarnya langsung darimu?" tanyaku. 

Aku melihat mas Handy malah sibuk dengan ponselnya. Makanan di piring yang kumasak susah payah malah dibiarkannya. Tidak lama kemudian mas Handy menerima telefon. Ia melangkah jauh dari meja makan. Lebih tepatnya menjauhiku. 

"Aku pergi dulu, ada rapat dadakan di sekretariat," pamit mas Handy setelah beberapa menit menerima telefon di taman belakang. 

Sambil menyambar jasnya di kursi, ia melambaikan tangan tanpa memedulikan perasaanku. Bahkan ia pun sudah lupa untuk menghabiskan makan malamnya. 

Aku hanya terdiam bingung memberikan reaksi apa sebagai jawaban untuk sikap mas Handy itu. 

Mas Handy telah pergi dengan mobilnya secepat kilat tanpa memberikan kesempatan padaku untuk sekadar membujuknya agar tidak pergi pergi malam ini. Sudah berapa malam kami tidak tidur seranjang, pun tidak ada percakapam sudah berhari-hari kecuali baru saja. Percakapan singkat saat kami makan di meja yang sama.

Semula aku kira malam ini adalah malam yang akan memberikan kami ruang untuk menghidupkan kembali komunikasi. Aku menyangka, ketika aku memasakkan makanan kesukaannya dengam tanganku sendiri akan menumbuhkan kembali kehangatan dari dalam diri mas Handy. Nyatanya tidak demikian. Kesibukkannya di luar bahkan lebih menarik daripada mendengarkan keluh kesah aku sebagai istrinya. Jangankan mendengarkan keluh kesahku, sekadar menjawab pertanyaanku saja sepertinya dia sudah terlalu malas. 

Aku membereskan meja makan dengan enggan. Nafsu makanku pun sudah hilang bahkan sebelum aku memulainya. Mengambilkan sepiring nasi dan lauknya tadi sengaja didahulukan dan membiarkan mas Handy makan lebih dulu. Aku selalu senang kalau melihat mas Handy memakan lahap masakanku seperti saat pertama kali kami menikah. 

Malam ini adalah saat yang sangat aku rindukan. Makanya, aku memilih diam menunggu reaksi suamiku berkomentar atas masakanku. Namun apa yang aku dapatkan? Ia hanya memakannya beberapa suap saja. Lalu pergi setelah menerima telefon yang entah dari siapa. 

**

Adzan subuh berkumandang, membangunkanku yang tidak sengaja tertidur di sofa. Semalam suntuk aku menunggu kepulangan suamiku yang tidak kunjung datang tanpa kabar mau pulang jam berapa dan sedang ada di mana. 

Aku bergegas mencari mas Handy ke kamar dan seluruh ruangan yang ada di rumah kami yang cukup luas ini. Nihil, mas Handy tidak ada di manapun. Bahkan aku tidak menemukan aedikitpun tanda bahwa dia telah kembali ke rumah. Aku cek ponselku, barangkali mas Handy mengabari, tetapi sama saja tidak ada satupun pesan yang dikirimnya. 

Aku menghela napas panjang. Lantas pergi mengambil air wudhu untuk melaksanakan solat subuh. Dalam sujud panjangku aku memohon kepada Allah agar senantiasa menjaga mas Handy di manapun berada. Serta memohon agar rumah tangga kami bisa tetap terjaga dengan komunikasi yang kurasa kian memudar. 

Ya Allah, aku sangat bersyukur dengan keadaan hidupku kini. Rumah yang luas dan harta yang cukup dari suamiku. Namun mengapa rasaya aku menjadi begitu sendirian. Apakah memang nasib pernikahanku harus seperti ini?

Banyak sekali permohonan yang kupanjatkan kepada Tuhan di sela-sela tangisan. Sungguh hati kecilku menolak jika sebenarnya aku mengalami lonely marriage. Namun nyatanya aku memang sendirian. Di mana suamiku saat aku membutuhkannya? Di mana mas Handy saat aku merasa kesepian malam hari. Tanpa rasa amam, tanpa teman bicara, tanpa pelukan hangat darinya. Apa gunanya segala fasilitas yang diberikannya jika raganya tidak pernah benar-benar berada di sampingku?

Aku terus terisak di atas sajadah mengadukan semuanya. Berharap sebuah keajaiban akan datang. Mas Handy pulang lalu tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengajakku bicara lebih akrab dan hangat. 

**

"Mas, sudah sarapan?" tanyaku pada lelaki yang menikahiku 3 tahun lalu. 

Ia tampak lelah. Wajahnya pucat, penampilannya pun begitu kuyu. 

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak bertanya dari mana saja dia semalaman.

"Sudah, tadi makan bubur sama Mita," jawabnya. 

"Mita? siapa dia Mas?" tanyaku begitu antusias. Untuk pertanyaan itu tidak bisa kubendung sama sekali. 

"Teman, sesama aktivis," jawabnya singkat sambil berlalu meninggalkanku di ruang tamu.

"Mas, apakah dia pun menghabiskan malam bersamamu?" tanyaku lagi. 

"Iya, kami merencanakan acara besar. Jadi harus begadang bersama. Jangan berpikir macan-macam. Aku lelah mau mandi terus istirahat dulu," jawab mas Handy sambil bergegas menuju kamar hendak mandi. 

Aku terdiam. Lidahku begitu kelu untuk kembali mencari tahu dengan mengajukan pertanyaam lainnya yang mungkin lebih menjurus pada jawaban yang sebenarnya tidak ingin aku dengar. Sebuah kemungkinan yang terjadi jika lelaki dan perempuan bersama sepanjang malam. Sering bertemu dalam sebuah acara, sudah berapa dalam perasaan mereka masing-masing? 

Ah, kepalaku begitu penuh dengan pertanyaan. 

Oh iya, aku baru ingat, kalau ingin tahu tentang kegiatan mas Handy, aku tahu harus mencarinya di mana. 

Selepas mandi, mas Handy langsung tertidur pulas di kamar. Sementara aku segera fokus mencari tahu. Segera saja aku berselancar di mesin pencarian. Ku ketik nama lengkap suamiku, Handy Purnomo Gunawan. Di sana muncullah beberapa artikel dan foto yang terhubung pada namanya. 

Beberapa kegiatan menunjukkan bahwa mas Handy menjadi pembicara di seminar besar, beberapa lagi soal kegiatan partai yang mengusungnya untuk maju ke pilkada. 

Apa? Mas Handy nyalon? Kenapa aku tidak pernah diajaknya bicara?

Semakin penasaran lalu aku mulai membuka media sosial pribadi milik mas Handy. Beberapa unggahan memang menunjukkan kegiatannya selama ini. Satu dua foto menandai nama akun Paramitha Putri Setyadi. Aku sangat yakin bahwa nama itu yang dipaggil "Mita" oleh suamiku. Aku pun bersilaturahmi ke akunnya Mita. 

Aku sangat terkejut, ketika melihat beberapa postingan Mita yang hanya menunjukkan kedekatannya dengan suamiku. Meskipun itu adalah foto ketika bekerja, tetapi kenapa harus berdua saja? Kenapa harus diunggah khusus foto berdua? Bukankah mereka bekerja sama-sama dengan banyak orang? 

"Bersama mas Handy, partner kerja terbaik yang pernah kutemukan. Terima kasi banyak, Mas, karenamu aku menjadi lebih bersemangat menyongsong masa depan. Sukses buat projek kita berdua," tulis Mita di dalam salah satu postingannya yang menampakkan kebersamaan mereka ketika bekerja. 

Hatiku semakin dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Ada apa sebenarnya di antara mereka? Ingin rasanya membangunkan suamiku dari tidurnya dan membombardir dengan berjuta pertanyaan yang ada di kepalaku. 

**

"Jangan salah paham, aku tidak ada apa-apa dengan Mita. Dia hanya rekan kerjaku saja," jawab mas Handy ketika aku mengintrogasinya. 

"Bagaimana aku tidak berpikiran macam-macam, Mas. Dia begitu bangga memujumu di media sosial. Memamerkan kedekatan kalian saat bekerja. Memberikan keterangan pada unggahan foto kalian," ucapku yang membuat mas Handy terperangah. 

"Apa? Masa sih?" tanyanya dengan ekspresi bingung. Lalu dia meraih ponselnya. Secepat kilat ia membuka media sosial Mita. Aku hanya terdiam menunggu reaksi lelaki yang ada di hadapanku itu. Sungguh aku penasaran dan menunggu kejujuran suamiku soal hubungan apa yang terjadi anatara dia dengan perempuan cantik bersama Mita itu.

Mas Handy mendengus kesal ketika menemukan unggahan Mita yang kutemukan tadi. Lalu dia langsung menelefon Mita di hadapanku. 

"Hallo, Mita. Kenapa kamu mengunggah foto dan memberikan keterangan dengan bunyi seperti itu? Jangan macam-macam ya! Aku harap kamu menghapusnya sekarang juga!" perintah mas Handy dengan ketus kepada Mita. 

"Sayang, aku sudah meminta Mita menghapus postingan itu. Aku harap kamu percaya bahwa di antara kami tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya kebetulan beberapa kali disandingkan sebagai tim. Itu saja," ucap mas Handy. 

Melihat mas Handy menelefon langsung dan penjelasan barusan membuat hatiku yang dipenuhi prasangka menjadi luluh kembali. Aku berusaha percaya lagi kepada lelaki yang sangat aku cintai itu. 

Aku memeluk mas Handy dengan erat dan memintanya untuk sedikit meluangkan waktu untukku di sela-sela kesibukannya sebagai aktivis. Aku pun meminta dia untuk lebih terbuka tentang kegiatannya di luar hingga menghabiskan waktu begitu banyak. 

"Maafkan aku telah membuatmu merasa mengalami lonely marriage. Aku gak sengaja, aku hanya terlalu ambisius dengan pencapaianku dan kesibukan memang benar-benar menyita waktuku. Aku janji, lain kali aku akan membawamu ke tempatku bekerja. Mungkin itu bisa membuatmu jauh lebih luas mengenal dunia dan menambah wawasan tentang politik dan organisasi. Apa kamu bersedia?" tanyanya dengan tatapan teduh. Tatapan yang selalu berhasil menenangkanku.

Aku mengangguk setuju. Walaupun tidak terlalu berminat pada dunia itu, tapi jika memang suamiku sudah terlanjur terjun, apalah daya, tentu saja aku harus bersedia melibatkan diri dalam setiap agendanya. 

**

Beberapa hari berlalu. Aku mengikuti kegiatan mas Handy. Menghadiri beberapa rapat, bertemu dengan tokoh tertentu dan tentu saja Mita ada di sana. Aku bersyukur ternyata sejauh ini Mita mampu bersikap ramah kepadaku dan cukup hormat kepada istri rekan kerjanya. 

Sampai suatu ketika, saat kami makan malam bersama dalam sebuah perjamuan makan bersama tokoh politik, para istri aktivis ikut serta dalam perjamuan itu. Seorang perempuan paruh baya dengan gaya sosialita menghampiriku saat aku mengambil dessert di meja. Saat itu mas Handy sedang dipanggil ke ruangan, ada pembicaraan dengan tamu penting selepas makan.

"Maaf, Anda ini istrinya siapa ya?" tanyanya dengan ramah. 

Aku tersenyum menyambutnya dengan senyuman. Sambil mengulurkan tangan aku menjawab, "perkenalkan, Bu. Saya istrinya pak Handy."

"Pak Handy yang sekarang mencakonkan diri di kontes pilkada?" tanyanya lagi dengan ekspresi keheranan. 

Aku mengangguk sambil tetap menahan senyuman agar tetap terkembang di bibirku.

"Oh, saya tahunya istri pak Handy itu bu Mita. Secara mereka kan sering pergi liburan bersama," ucapnya sambil berlalu meninggalkanku tanpa memberikan penjelasan tambahan.

Seketika dadaku terasa sesak. Namun sekujur tubuhku terasa sesingin es. Aku membeku tanpa tahu harus berbuat apa. Tidak terasa air mataku berderai membasahi pipi yang sengaja kupoles dengan makeup secantik mungkin demi agar terlihat cantik di hadapan kolega suami.

Aku melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, kusapu setiap inci ruang mencari sosok suamiku. Tampak jelas di depanku dengan jarak sekitar lima meter di hadapanku, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan mas Handy berdiri dengan penuh wibawa sedang bersalaman dengan tamu agung malam ini.  Di sampingnya berdiri Mita yang menggunakan gaun merah maroon tampak bergantian bersalaman dengan tokoh tersebut. 

Kurang apa aku, Mas? Sampai di acara sepenting ini, seseorang yang selalu berdiri di sampingmu pun harus wanita lain? 

Kakiku terasa lemas. Seakan tulang belulangnya terlepas. Aku ambruk. Kehebohan di restoran terkenal pun tidak bisa dihindarkan lagi. 

**

Cerita ini hanya karangan belaka. Jika ada kesamaan nama atau situasi sungguh di luar unsur kesengajaan penulis cerita. Harapan saya, semoga para pembaca terhibur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun