**
Adzan subuh berkumandang, membangunkanku yang tidak sengaja tertidur di sofa. Semalam suntuk aku menunggu kepulangan suamiku yang tidak kunjung datang tanpa kabar mau pulang jam berapa dan sedang ada di mana.Â
Aku bergegas mencari mas Handy ke kamar dan seluruh ruangan yang ada di rumah kami yang cukup luas ini. Nihil, mas Handy tidak ada di manapun. Bahkan aku tidak menemukan aedikitpun tanda bahwa dia telah kembali ke rumah. Aku cek ponselku, barangkali mas Handy mengabari, tetapi sama saja tidak ada satupun pesan yang dikirimnya.Â
Aku menghela napas panjang. Lantas pergi mengambil air wudhu untuk melaksanakan solat subuh. Dalam sujud panjangku aku memohon kepada Allah agar senantiasa menjaga mas Handy di manapun berada. Serta memohon agar rumah tangga kami bisa tetap terjaga dengan komunikasi yang kurasa kian memudar.Â
Ya Allah, aku sangat bersyukur dengan keadaan hidupku kini. Rumah yang luas dan harta yang cukup dari suamiku. Namun mengapa rasaya aku menjadi begitu sendirian. Apakah memang nasib pernikahanku harus seperti ini?
Banyak sekali permohonan yang kupanjatkan kepada Tuhan di sela-sela tangisan. Sungguh hati kecilku menolak jika sebenarnya aku mengalami lonely marriage. Namun nyatanya aku memang sendirian. Di mana suamiku saat aku membutuhkannya? Di mana mas Handy saat aku merasa kesepian malam hari. Tanpa rasa amam, tanpa teman bicara, tanpa pelukan hangat darinya. Apa gunanya segala fasilitas yang diberikannya jika raganya tidak pernah benar-benar berada di sampingku?
Aku terus terisak di atas sajadah mengadukan semuanya. Berharap sebuah keajaiban akan datang. Mas Handy pulang lalu tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengajakku bicara lebih akrab dan hangat.Â
**
"Mas, sudah sarapan?" tanyaku pada lelaki yang menikahiku 3 tahun lalu.Â
Ia tampak lelah. Wajahnya pucat, penampilannya pun begitu kuyu.Â
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak bertanya dari mana saja dia semalaman.