"Kalau bisa besok pagi datang ya ke sidang ke dua! Waktu lalu, hakim bertanya, kamu kemana, Tidak hadir di persidangan?" katanya.Â
Cih! mendengar pernyataan itu, aku merasa begitu kesal. Bagaimana tidak, waktu persidangan pertama, Danar sendirilah yang meminta agar aku tidak perlu hadir dengan alasan agar persidangan lekas selesai dan gugatannya lekas dikabulkan. Sudah tak sabar ingin berpisah.
"Baik," jawabku dengan gigi gemeretak dan tangan mengepal, kesal. Tidak heran, sejak dulu mood dan keinginannya memang mudah sekali berubah-ubah.
"Okay deh, sampai jumpa esok ya," ucapnya.
"Baik," jawabku lagi.Â
"Oh iya," Danar kembali berseru.
"Iya ada apa?" tanyaku.Â
Rasanya ingin sekali menangis, dan entahlah apa yang kurasakan saat itu. Jujur, di balik rasa kesalku aku masih ingin mempertahankan bahtera ini. Siapa juga yang ingin mejanda? Bagaimana pandangan keluarga besar jika tahu kami berpisah?Â
Namun apa daya kesadarannya pada agaman yang begitu tinggi membuatnya benar-benar harus melepaskanku.Â
Hijrahmu dan hijrahku ternyata membuahkan hasil yang berbeda.Â
"Bunda ada teman yang sudah berniqob (cadar) dan siap nikah gak?" tanyanya lagi.Â